Medan — Ada sukacita yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan di kedalaman hati. Itulah yang dialami oleh seorang pewarta saat pertama kali melayani di Stasi St. Theresia Janji Matogu, sebuah komunitas kecil di wilayah Keuskupan Agung Medan. Di sanalah, panggilan itu tumbuh dalam kesederhanaan, khususnya bersama anak-anak Bina Iman Anak (BIA).
Pelayanan ini bukan tanpa pergulatan. Di awal perjalanan, keraguan sempat menghampiri. “Bisakah aku mendampingi mereka? Layakkah aku menjadi bagian dari perjalanan iman anak-anak ini?” Namun, di tengah tanya itu, sang pewarta memilih untuk tetap melangkah. Ia belajar bahwa panggilan bukan soal seberapa siap seseorang, melainkan soal seberapa taat dan bersedia hadir di tengah umat.
Setiap Minggu, anak-anak itu menyambut dengan senyum polos dan tatapan penuh rasa ingin tahu. Ada semangat yang murni, ada sukacita yang tulus tanpa dibuat-buat. Dari merekalah, pewarta ini menemukan Injil yang hidup — bukan sekadar bacaan atau pelajaran, tetapi nyata hadir dalam ketulusan dan kebersahajaan.
Pertemuan terakhir pada 21 Januari 2024 menjadi momen penuh haru. Berat rasanya harus berpisah. Namun di hati, ada keyakinan bahwa pelayanan ini bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan baru yang Tuhan persiapkan.
Anak-Anak: Pewarta Kerajaan Allah Masa Kini
Pengalaman itu membangkitkan sebuah refleksi teologis. Dalam Injil Lukas 18:16, Yesus berkata, “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku dan jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.”
Ayat ini bukan sekadar ajakan untuk memperhatikan anak-anak. Lebih dari itu, ini adalah pernyataan teologis yang kuat. Anak-anak bukan hanya pewarta masa depan, tetapi pewarta masa kini. Mereka adalah wajah Kerajaan Allah yang hadir dengan murni, percaya tanpa syarat, dan penuh kasih.
Lewat senyum mereka, pewarta ini merasakan doa yang tak terucap. Sapaan polos mereka menjadi pujian sederhana yang menyentuh hati. Ketulusan mereka menjadi cerminan iman yang paling jujur. Dari anak-anak itu, ia justru lebih banyak menerima daripada memberi.
Belajar Menjadi Seperti Anak-Anak
Pelayanan ini pun menjadi undangan pribadi untuk terus bertumbuh dalam panggilan. Belajar menjadi seperti anak-anak: penuh pengharapan, rendah hati, dan percaya tanpa ragu pada penyelenggaraan Allah. Bukan soal kemampuan atau kehebatan, melainkan tentang kesetiaan kecil yang dilakukan dengan cinta besar.
Jejak langkah di Stasi St. Theresia Janji Matogu adalah bagian dari kisah panjang panggilan yang akan terus berlanjut. Jika di sana telah ditanamkan benih-benih kasih, biarlah Tuhan yang memelihara dan memetik buahnya di waktu-Nya.
Karena dalam senyum anak-anak itu, pewarta ini seakan mendengar bisikan Injil yang paling tulus:
“Tuhan hadir, dan Ia sedang tersenyum bersamaku.”