Penulis : Grace Funny Situmorang, Mahasiswi STP Bonaventura, Keuskupan Agung Medan
Di tengah dunia yang terus berubah dan penuh gejolak, muncul satu pertanyaan yang kian relevan: mampukah perempuan menjadi pemimpin yang kuat, bijak, dan berdampak? Jawabannya tak hanya bisa ditemukan dalam teori modern atau diskusi akademis, tetapi juga dalam keteladanan nyata yang telah hidup dan menyinari dunia—seperti yang ditunjukkan oleh Ratu Elizabeth II. Lebih dari tujuh dekade, ia menjalankan peran sebagai ratu bukan hanya sebagai simbol negara, melainkan sebagai sosok pemimpin yang penuh dedikasi, pengabdian, dan integritas. Kepemimpinannya menyampaikan pesan kuat bahwa menjadi pemimpin bukan sekadar soal posisi atau kekuasaan, melainkan soal karakter, iman, dan panggilan hidup.
Di zaman ini, kita menyaksikan semakin banyak perempuan tampil sebagai pemimpin di berbagai bidang. Data dari McKinsey & Company tahun 2022 menunjukkan bahwa perusahaan yang melibatkan lebih banyak perempuan di posisi kepemimpinan justru mengalami peningkatan performa, inovasi, dan inklusivitas. Namun, jalan menuju kepemimpinan bagi perempuan belum sepenuhnya lapang. Stereotip, bias budaya, dan apa yang sering disebut “glass ceiling” masih menjadi tantangan besar. Meski demikian, tokoh seperti Ratu Elizabeth II membuktikan bahwa kualitas kepemimpinan tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh kemampuan untuk memimpin dengan hati, keteguhan, dan visi yang melayani.
Perkembangan terkini di berbagai belahan dunia menunjukkan angin perubahan. Di Indonesia, Pilkada Serentak 2024 mencatat lonjakan signifikan dalam partisipasi perempuan—306 calon perempuan maju sebagai kepala daerah, dan 49 di antaranya berhasil terpilih. Di panggung global, tahun 2024 menyaksikan terpilihnya Claudia Sheinbaum sebagai Presiden Meksiko dan Gordana Siljanovska-Davkova sebagai Presiden Makedonia Utara. Di dunia bisnis, sosok seperti Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, masuk dalam daftar perempuan paling berpengaruh versi Fortune. Forum-forum seperti Indonesia Women Leaders Forum dan Women Leadership Conference juga menunjukkan betapa pentingnya ruang reflektif dan kolaboratif bagi para pemimpin perempuan masa kini.
Dalam terang iman Kristiani, kepemimpinan sejati bukanlah soal menguasai, melainkan soal melayani. Hal ini sejalan dengan ajaran Yesus dalam Matius 20:26, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” Gagasan tentang servant leadership yang diperkenalkan oleh Robert K. Greenleaf semakin menegaskan bahwa pemimpin yang paling efektif adalah mereka yang bersedia mendengarkan, memahami, dan melayani orang lain terlebih dahulu.
Janji Ratu Elizabeth II di usia 21 tahun—”my whole life whether it be long or short shall be devoted to your service”—bukanlah sekadar retorika. Ia menepati janji itu sepanjang hidupnya, menjadikan setiap kunjungan, pidato, dan kebijakan sebagai bentuk pengabdian. Ia bukan pemimpin yang memerintah dari atas, melainkan yang hadir di tengah-tengah, sebagai pelayan dan penghubung. Keteladanannya dalam menjaga netralitas politik, menghindari skandal, hidup sederhana, dan menjaga komitmen terhadap tugas dan keluarga, menjadikannya sosok pemimpin yang dipercaya di tengah dunia yang semakin skeptis terhadap figur publik.
Tak banyak yang membahas secara mendalam tentang kehidupan iman Ratu Elizabeth II, padahal itu merupakan fondasi penting dalam kepemimpinannya. Ia tidak pernah ragu menyebutkan imannya secara terbuka, bahkan dalam pidato Natal tahun 2014, ia berkata: “The life of Jesus Christ, the Prince of Peace, is an inspiration and an anchor in my life.” Di saat banyak pemimpin dunia menjauh dari ekspresi keagamaan, Elizabeth justru menunjukkan bahwa iman bukanlah sesuatu yang harus disembunyikan, melainkan ditampilkan melalui ketekunan, kerendahan hati, dan cinta kasih dalam tindakan.
Ia mempromosikan nilai-nilai Kristen dalam banyak kesempatan: perdamaian, toleransi lintas agama, pentingnya refleksi dan doa, serta tanggung jawab moral dalam setiap keputusan. Kepemimpinannya juga tercermin dalam diplomasi yang elegan, kebijaksanaan dalam menghadapi krisis, serta ketahanan emosional yang luar biasa. Dalam berbagai pertemuan kenegaraan, Elizabeth menunjukkan bahwa kepemimpinan yang empatik dan reflektif lebih efektif daripada gaya memimpin yang kaku atau otoriter. Studi dari Harvard Business Review bahkan menunjukkan bahwa perempuan cenderung unggul dalam kecerdasan emosional dan kemampuan membangun relasi jangka panjang—dua kualitas yang sangat dibutuhkan di era kepemimpinan masa kini.
Dari sosok Ratu Elizabeth II, kita belajar bahwa menjadi pemimpin bukan berarti menjadi keras atau kehilangan kelembutan. Sebaliknya, justru dari kelembutan yang dipadukan dengan keberanian dan komitmenlah muncul kekuatan sejati. Kepemimpinannya membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi simbol stabilitas, harapan, dan keteguhan dalam menghadapi zaman yang tidak pasti.
Sebagai perempuan Kristen, kita juga dipanggil untuk menjadi pemimpin yang memancarkan terang Kristus di mana pun kita berada—di rumah, di gereja, di tempat kerja, maupun di ruang publik. Yesus berkata dalam Matius 5:14-16, “Kamu adalah terang dunia… hendaklah terangmu bercahaya di depan orang.” Dan terang itu bisa diwujudkan melalui tindakan nyata yang membawa kasih, keadilan, dan kebenaran ke tengah masyarakat.
Ratu Elizabeth II telah menjadi contoh terang itu. Ia bukan hanya seorang ratu yang berkuasa, tapi seorang pemimpin yang beriman. Seorang perempuan yang menjalankan kepemimpinannya dengan karakter, pelayanan, dan pengabdian yang utuh. Kini, tugas kita adalah melanjutkan warisan itu—menjadi pemimpin yang tidak hanya pandai berkata, tetapi sungguh-sungguh hidup dalam iman dan integritas.
Dunia sedang menanti lebih banyak pemimpin seperti itu. Dan mungkin, pemimpin itu adalah kita.
Referensi:
- Greenleaf, R. K. (1977). Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness.
- Harvard Business Review (2020). “Research: Women Score Higher Than Men in Most Leadership Skills.”
- McKinsey & Company (2022). Women in the Workplace Report.
- The Church of England. Faith Reflections on Queen Elizabeth II.
- Alkitab: Matius 20:26, 1 Timotius 3:1–13, Matius 5:14–16.
- Kompas.id, Idntimes.com, Kutipan.co, Menpan.go.id, UI.ac.id, MetroTVnews.com (2024).