(Paus Fransiskus, Dialog Antaragama, dan Arti Penting Inklusivitas dalam Kepemimpinan)
Di tengah dunia yang penuh ketegangan, polarisasi, dan prasangka yang kian menajam, kepemimpinan menjadi sangat menentukan arah masa depan umat manusia. Menjadi pemimpin bukan lagi semata soal kuasa, jabatan, atau kendali, melainkan soal keberanian menghadirkan harapan, menyatukan yang tercerai-berai, serta merangkul mereka yang selama ini disisihkan. Dalam konteks ini, Paus Fransiskus muncul sebagai sosok yang menunjukkan wajah kepemimpinan yang inklusif—pemimpin yang membangun jembatan, bukan tembok.
Ketika Jorge Mario Bergoglio terpilih sebagai Paus pada 13 Maret 2013 dan memilih nama “Fransiskus”, ia secara sadar mengangkat teladan Santo Fransiskus dari Asisi sebagai panduan pastoralnya: damai, kesederhanaan, dan persaudaraan universal. Semangat itu tidak berhenti pada simbol atau kata-kata, melainkan ia wujudkan dalam tindakan nyata—mencium kaki para migran, mengunjungi penjara, berbicara lantang tentang ketidakadilan, dan mendekap mereka yang tertolak oleh masyarakat. Bagi Paus, Gereja bukan menara gading yang menjauh dari dunia, melainkan “rumah sakit lapangan”—tempat yang pertama datang saat luka manusia paling dalam butuh disembuhkan.
Dalam Evangelii Gaudium, ia menyatakan dengan tegas:
“Saya lebih suka Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar ke jalanan, daripada Gereja yang sakit karena tertutup dan terikat pada kenyamanan sendiri” (EG 49).
Di hadapan umat manusia yang kerap terbagi karena perbedaan iman, suku, atau pandangan politik, Paus Fransiskus mengusulkan jalan dialog—bukan debat yang menyudutkan, tetapi perjumpaan yang jujur dan penuh hormat. Ia percaya bahwa dialog antaragama bukan sekadar formalitas diplomatik, melainkan jalan konkret menuju persaudaraan sejati. Salah satu contoh nyatanya adalah penandatanganan Dokumen tentang Persaudaraan Manusia bersama Imam Besar Al-Azhar di Abu Dhabi pada 2019. Dalam dokumen itu ditegaskan bahwa iman seharusnya membawa kita untuk melihat orang lain sebagai saudara dan saudari yang harus dicintai, bukan dicurigai.
Langkah ini diperkuat dalam ensiklik Fratelli Tutti yang diterbitkan pada 2020, di mana ia menulis:
“Agama-agama yang berbeda, berdasarkan penghormatan terhadap martabat manusia, dapat memberikan kontribusi penting untuk membangun persaudaraan dan membela keadilan dalam masyarakat” (FT 271).
Inklusivitas dalam kepemimpinan Paus Fransiskus bukan sekadar pendekatan sosial, melainkan spiritualitas yang lahir dari Injil. Ia mengajak Gereja dan seluruh umat manusia untuk keluar dari tembok kenyamanan dan berjalan bersama mereka yang tertinggal. Dalam Fratelli Tutti, ia menegaskan:
“Kita diciptakan untuk menjadi komunitas, bukan individu yang terisolasi” (FT 106).
Tak jarang Paus menyentuh isu-isu sensitif: dari penerimaan terhadap umat LGBT, pasangan bercerai, hingga kaum muda yang merasa jauh dari iman. Ia tidak memilih jalan menghakimi, melainkan jalan menyertai dengan kelembutan dan belas kasih. Di tengah dunia yang gemar membelah antara “kami” dan “mereka”, Paus justru membangun narasi “kita”—sebuah keluarga manusia universal.
Kepemimpinan seperti ini terasa sangat relevan di tengah masyarakat yang dirundung kebencian di media sosial, politik identitas yang memecah belah, serta kegelisahan akan masa depan. Dalam Fratelli Tutti, Paus menulis:
“Dialog sosial yang sejati melibatkan kemampuan untuk menghormati sudut pandang orang lain, menerima bahwa mereka memiliki legitimasi sebagai ekspresi pengalaman pribadi atau kolektif” (FT 203).
Ia memperingatkan bahwa keinginan untuk menjadi “kelompok kecil yang tertutup” adalah godaan berbahaya, karena sikap itu menjauhkan kita dari misi mencintai sesama.
Dunia tidak akan berubah hanya oleh satu pemimpin yang berbicara lantang, tetapi oleh jutaan orang yang dengan rendah hati meneladani kepemimpinan itu dalam hidup sehari-hari. Kepemimpinan inklusif tidak membuat seseorang kehilangan jati diri, justru memperluas cakrawala cinta. Paus Fransiskus membuktikan bahwa memimpin adalah soal keberanian untuk mencintai tanpa batas, membela yang lemah, dan membangun ruang perjumpaan di atas reruntuhan prasangka.
Kini, pertanyaannya berpindah kepada kita semua: Apakah kita bersedia menjadi jembatan dalam dunia yang terpecah ini? Apakah kita siap menghadirkan wajah kasih di tengah kebisingan kebencian?
Semoga kita menjawabnya, bukan dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata.
Refleksi Pribadi: Dipanggil Menjadi Jembatan
Merenungkan kepemimpinan Paus Fransiskus membuat saya bertanya: Apakah saya sendiri sudah menjadi jembatan bagi orang lain? Ataukah saya justru masih menutup diri dari mereka yang berbeda pendapat, berbeda iman, atau berbeda cara hidup?
Dalam pidatonya di Irak tahun 2021, Paus berkata:
“Kita tidak dapat diam ketika terorisme menyalahgunakan agama; kita tidak dapat tinggal diam ketika saudara-saudari kita menderita karena perbedaan iman. Kita semua adalah saudara.”
Kalimat itu menggugah hati saya. Kepemimpinan sejati bukan dimulai dari posisi atau kekuasaan, tapi dari hati yang mampu mencintai tanpa syarat. Dunia mungkin memaksa kita memilih “aku” atau “dia”, “kami” atau “mereka”—namun Paus mengajak kita memilih “kita”, sebagai satu umat manusia.
Itulah panggilan kita hari ini: menjadi jembatan, bukan tembok. Menjadi cahaya kecil di tengah gelapnya malam. Menjadi bukti bahwa cinta tetap lebih kuat daripada perpecahan.
Zulfi A. Banurea
Referensi
- Paus Fransiskus & Imam Besar Al-Azhar Ahmad Al-Tayyeb. (2019). Dokumen tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama. Abu Dhabi: Vatikan & Al-Azhar.
- Paus Fransiskus. (2013). Evangelii Gaudium (Sukacita Injil). Vatikan: Libreria Editrice Vaticana.
- Paus Fransiskus. (2016). Amoris Laetitia (Sukacita Cinta). Vatikan: Libreria Editrice Vaticana.
- Paus Fransiskus. (2020). Fratelli Tutti (Semua Bersaudara). Vatikan: Libreria Editrice Vaticana.
- Paus Fransiskus. (2021). Pidato dalam Pertemuan Antaragama di Ur, Irak. Vatikan.