By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Inigo WayInigo WayInigo Way
Notification Show More
Font ResizerAa
  • Home
  • IGNASIANA
    IGNASIANA
    Segala hal tentang spiritualitas ignasia
    Show More
    Top News
    Jangan Bosan, Ya. Paus Sudah Pulang, Tapi Spektrum Tuhan Masih Terus Broadcast
    1 year ago
    Melihat Ibuku Seperti Memandang Tuhan yang Tak Pernah Libur
    11 months ago
    Kita Adalah Para Pemancar Tuhan
    1 year ago
    Latest News
    Jangan Bosan, Ya. Paus Sudah Pulang, Tapi Spektrum Tuhan Masih Terus Broadcast
    1 year ago
    Melihat Ibuku Seperti Memandang Tuhan yang Tak Pernah Libur
    11 months ago
    Kita Adalah Para Pemancar Tuhan
    1 year ago
    Paus Tiba di Indonesia dalam Suasana Sederhana
    1 year ago
  • IDEA
    IDEAShow More
    Demi Apakah Kita Mengasihi Allah?
    2 months ago
    Antara Unta, Lubang Jarum, Orang Kaya dan Kerajaan Surga
    2 months ago
    Jangan Berdoa untuk Uang, Ini Alasannya
    2 months ago
    Hidup Kekal Bukan Sekadar ‘Hadiah’ Setelah Mati
    2 months ago
    Yesaya 53: Hamba yang Menderita dan Rahasia Pendamaian
    2 months ago
  • GEREJA SEMESTA
    GEREJA SEMESTAShow More
    Ringkasan Dokumen dan Panduan Studi Ensiklik Dilexit Nos
    2 weeks ago
    Paus Leo XIV: Yesus Menunjukkan Bahwa Teriakan Bukan Kelemahan, Melainkan Tindakan Harapan
    3 weeks ago
    Carlo Acutis dan Orang Kudus yang Sedarah Dengannya
    1 month ago
    Carlo Acutis, Dijuluki “God’s Influencer”, Menjadi Santo “Millenial” Pertama
    1 month ago
    Paus Leo XIV Tutup Kongres Maria Internasional ke-26: Maria Membuka Jalan bagi Perdamaian dalam Keberagaman
    1 month ago
  • KOMUNITAS
    • The Jesuits
    • Paguyuban Sesawi
    • SBS
    KOMUNITAS
    Show More
    Top News
    Refleksi 22 Tahun Menjalani Hidup Bersama Seorang Mantan Jesuit
    3 months ago
    Pertemuan Bapa Suci dengan Anggota Serikat Yesus, Hangat dan Menggembirakan
    5 months ago
    Di Gunung Ungaran, Saya Menemukan Tuhan
    5 months ago
    Latest News
    Carlo Acutis dan Orang Kudus yang Sedarah Dengannya
    1 month ago
    Menjalin Identitas Global Alumni Yesuit, Jalan Menuju WUJA 2026 di Yogyakarta
    1 month ago
    Sesawi (Bisa) Menjadi “Keluarga Kedua” bagi Anggotanya
    2 months ago
    Keluarga Rohani Bernama Paguyuban Sesawi
    3 months ago
  • Yayasan Sesawi
  • STP Bonaventura
  • KOLOM PENDIDIKAN
    KOLOM PENDIDIKAN
    Show More
    Top News
    Kehadiran dan Kemurahan Hati
    5 months ago
    Menggali Kepemimpinan Perempuan dalam Cahaya Iman: Inspirasi dari Ratu Elizabeth II
    4 months ago
    Latest News
    Menggali Kepemimpinan Perempuan dalam Cahaya Iman: Inspirasi dari Ratu Elizabeth II
    4 months ago
    Kehadiran dan Kemurahan Hati
    5 months ago
Reading: Pemetaan Tantangan dan Peluang
Share
Font ResizerAa
Inigo WayInigo Way
  • IGNASIANA
  • IDEA
  • GEREJA SEMESTA
  • YAYASAN SESAWI
  • STP BONAVENTURA
  • KOLOM PENDIDIKAN
Search
  • Home
  • GEREJA SEMESTA
    • Ajaran Gereja
    • Paus
    • Sejarah Gereja
    • Tradisi Gereja
  • IDEA
    • Homili
    • Refleksi
    • Renungan
    • Syair
  • IGNASIANA
    • Latihan Rohani
    • Riwayat Ignatius
    • Sahabat Ignatius
    • Surat-surat Ignatius
  • KOMUNITAS
    • The Jesuits
    • Paguyuban Sesawi
  • Yayasan Sesawi
  • STP Bonaventura
Have an existing account? Sign In
Follow US
  • Advertise
© 2024 Inigo Way Network. Sesawi Foundation. All Rights Reserved.
Inigo Way > Petrus Faber > KOMUNITAS > Paguyuban Sesawi > Pemetaan Tantangan dan Peluang
IDEAKOMUNITASPaguyuban SesawiRenungan

Pemetaan Tantangan dan Peluang

inigoway
Last updated: June 26, 2025 6:12 am
By inigoway 3 months ago
Share
13 Min Read
SHARE

Pengantar
Suatu malam telepon berdering di kamar saya. Ketika saya angkat saya agak terkejut mendengar sebuah suara yang dalam menyebut nama saya. Saya berusaha untuk mengenalinya tetapi tidak berhasil. Dia kemudian menyebutkan namanya: Romo Haryoto! Saya semakin terkesima. Saya sama sekali tidak menyangka bahwa suaranya sedemikian berubah. Sudah lebih dari sepuluh tahun saya tidak berjumpa dengannya meskipun satu dua kali sempat kontak melalui e-mail. Dia kemudian menyampaikan permintaannya untuk mewakili dia membuka pertemuan ini dan menyampaikan gagasan-gagasannya di hadapan saudara-saudara yang hadir di sini.

Terus terang pada saat itu saya mengatakan bahwa saya tidak bisa karena dua minggu ini kami sedang dalam proses penerimaan mahasiswa baru. Dia meminta saya untuk memikirkannya lagi dan mencoba mengusahakan untuk menyesuaikan jadwal saya. Keesokan harinya saya mencoba mengatur kembali jadwal rapat dan pertemuan saya dan ternyata memang sulit diubah karena banyak menyangkut jadwal orang lain. Kemudian saya menelponnya lagi untuk mengkonfirmasi kesulitan saya. Di dalam pembicaraan telpon yang singkat itu sempat terlontar ucapannya yang membuat saya kemudian tidak bisa tenang. Dia mengatakan: “Hanya satu malam saja saya meminta kamu. Apakah sungguh tidak bisa?” Ada sesuatu di dalam nada bicaranya yang membangkitkan kembali seluruh pengalaman di novisiat, sesuatu yang mendorong saya untuk mencari kemungkinan lain. Akhirnya saya menemukan bahwa saya bisa kembali sebelum hari Jumat sore dengan pesawat. Saya memutuskan untuk memenuhi permintaannya.

Hari-hari berikutnya saya mencoba untuk bertanya pada diri saya sendiri: apa sebenarnya yang membuat saya merubah keputusan saya? Apakah “sesuatu” itu yang saya tangkap dari nada suaranya? Saya kira “sesuatu” yang saya tangkap itu adalah kepercayaannya pada saya, his trust, his confidence. Kalau kita mengenang kembali pengalaman di novisiat, suka atau tidak suka kita akan mengakui bahwa yang membuat kita tumbuh adalah kepercayaannya pada kita. Orang bisa mengatakan bahwa gaya pendidikan romo Haryoto adalah gaya yang kaku dan keras, akan tetapi di balik itu ada sebuah TRUST yang diberikan, bahwa kita mampu tumbuh meskipun dengan kesakitan, bahwa kita bisa menghasilkan sesuatu, to overcome the impossible. Kalau tidak ada kepercayaan ini, tidak mungkin dia mengajak kita untuk meratakan lapangan, mengangkat batu dan mengukir granit.

Pada sore hari ini kesadaran itulah yang ingin saya munculkan. Saya berani memastikan bahwa kepercayaan yang sama diberikan oleh romo Haryoto pada anda sekalian, tidak hanya untuk bernostalgia, tetapi untuk meletakkan sebuah batu penjuru yang mengawali sebuah perubahan dan pertumbuhan bersama. Semoga… kepercayaannya tidak sia-sia.

Sekarang saya mengajak Anda sekalian untuk melihat konteks situasi kita dengan mengadakan pemetaan tantangan yang kita hadapi bersama di tingkat dunia dan masyarakat Indonesia. Setelah itu baru kita akan berbicara tentang peluang atau kemungkinan-kemungkinan yang bisa kita lihat bersama.

TANTANGAN IMAN DI “MILLENIUM KETIGA”

Fokus kita di sini adalah perhatian pada kerinduan manusia di abad ini akan suatu perubahan besar di dalam sejarah umat manusia. Kata “Millenium ketiga” menjadi suatu simbol yang sarat dengan sejuta harapan, tetapi juga kecemasan, penuh dengan terbukanya kemungkinan-kemungkinan baru di dunia teknologi, tetapi sekaligus juga melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang batas-batas perkembangan umat manusia.

Tantangan utama dalam pewartaan iman pada jaman ini adalah bagaimana membuat iman itu bermakna. Seluruh ajaran teologi kita saya kira bisa diringkaskan sebagai berikut: bahwa Kristus adalah jawaban untuk manusia yang mencari makna dalam hidupnya dan keinginannya untuk memperoleh suatu perspektif yang mampu membuat kerinduan hatinya “makes sense”.

Makna dari penghayatan iman dewasa ini semakin disadari bahwa harus memiliki dimensi-dimensi:

  1. Personal sekaligus komunal,
  2. Konkret untuk manusia sekarang ini, bukan besok, atau masa depan
  3. Harus mempunyai dampak dalam hidup sehari-hari,
  4. Keagamaan yang praktek-praktek liturginya mampu merubah hidup seseorang sehingga orang melihat bahwa memang ada bedanya antara percaya dan tidak percaya pada Tuhan. (Thus, it makes difference to believe in God)

Saya melihat tiga hal pokok yang kita hadapi bersama: Pertama, Atheisme Baru, Sikap kritis terhadap kemajuan umat manusia (Human Progress in Question), dan Kecemasan orang modern akan masa depan (Modern Anxiety of the Future)

  1. Atheisme Baru:
    Masalah utama atheisme menurut GS # 19 adalah keterasingan manusia dari dirinya yang sejati, yang akhirnya membawa dia pada penolakan akan “his intimate and vital bond of man to God”. Konsili Vatikan II tidak hanya berbicara tentang systematic atheism, yang didasarkan pada keinginan manusia akan otonomi, menolak segala ketergantungan pada Tuhan sama sekali, tetapi terlebih atheisme dalam diri orang beriman sendiri yang dimanifestasikan lewat praktek hidup sehari-hari. Di dalam konteks ini atheisme berarti ketidakmampuan mewujudkan iman kepada Allah di dalam hidup moral dan sosial. Perwujudannya bisa juga tampak misalnya lewat sikap bahwa pembebasan manusia hanya bisa dicapai melalui agenda politik dan sosial. Termasuk dalam pemahaman ini adalah segala keterasingan manusia dari dirinya sendiri (intrapersonal), dari sesama (interpersonal) dan dari dunia sekitar (alam ciptaan).
  2. Batas-batas kemajuan umat manusia:
    Kalau mengikuti perkembangan dunia modern kita akan langsung merasa bahwa kemajuan yang dicapai tampaknya semakin jauh dari tuntutan objektif akan tata moral, dari tuntutan akan keadilan, dan terlebih lagi dari cinta kasih (cf. Redemptor Hominis, p. 31). Penting kiranya untuk menyadari bahwa perkembangan masyarakat modern yang sangat ditentukan oleh perkembangan teknologi ini menuntut perkembangan yang proporsional dalam moral dan etika.
  3. Kecemasan manusia modern akan hari depan:
    Siapakah yang bisa memberi jaminan bahwa masa depan dunia kita ini akan berjalan dengan damai dan bukan kehancuran? Ini adalah pertanyaan lama, tetapi dalam situasi sekarang ini menjadi pertanyaan yang amat mendesak karena melihat kenyataan sosial, agama, dan situasi dunia dewasa ini. Sejarah amat sering membuktikan bagaimana hal-hal yang kecil dan sepele bisa membuahkan akibat-akibat yang besar di dalam sejarah umat manusia. Itulah sebabnya mengapa pembinaan manusia menjadi sesuatu yang amat vital dan penting, sebab di sanalah hubungan antara iman dan kehidupan sehari-hari menjadi kelihatan nyata.

Ketiga tantangan besar itu bukanlah hal yang abstrak dan seolah-olah jauh dari kehidupan pribadi orang beriman. Atheisme adalah godaan yang konkret kita hadapi di dalam diri kita sendiri. Di dalam diri kita ada kekuatan luar biasa yang mampu menggoyahkan sendi-sendi utama iman kita, “the oppressive power of unbelief in the midst of his own will to believe” (cf. Ratzinger, Introduction to Christianity, p. 47). Kekuatan keraguan ini selalu menghantui dan kadang menusuk dengan tajam. Keraguan ini memaksa kita mengakui betapa ringkihnya segala sesuatu yang diasumsikan kita pegang sebagai kejelasan. Di dalam diri kita juga selalu ada godaan untuk menarik diri dari keterlibatan pada hidup orang-orang yang kita layani, dari tanggung jawab untuk melestarikan alam ciptaan.

Sebagai anak jaman ini kita tanpa bertanya selalu menelan bulat-bulat hasil teknologi dan membiarkan mentalitas teknologis mempengaruhi pola-pola pengambilan keputusan kita. Misalnya, salah satu mentalitas teknologi yang menurut saya perlu dicurigai adalah prinsip bahwa bila sesuatu bisa berjalan berarti benar (if it works, it’s true). Ukuran kebenaran menjadi sempit dan pendek. Ini membuat orang tidak bisa melihat jauh ke depan. Perencanaan dengan jenjang waktu sepuluh atau dua puluh tahun dianggap tidak serius dan tidak realistis.

Godaan ketiga adalah untuk menjadi penonton sejarah daripada pelaku sejarah. Karena tidak berdaya menghadapi gelombang arus perubahan, orang lalu meninggalkan peran aktif berdiri di pinggir panggung peristiwa, merasa bahwa yang terjadi di benua lain dirasa tidak ada pengaruhnya. Orang membaca berita kelaparan di Sudan, di Korea Utara, pembantaian di Kosovo, kerusuhan di Ambon hanya seperti membaca resep dapur; tidak ada gemanya di hati.

INDONESIA YANG PORAK PORANDA

Amat menyedihkan melihat kenyataan bahwa kita adalah satu-satunya negara di Asia yang belum pulih akibat hantaman krisis ekonomi tahun 1997/1998. Krisis berkepanjangan ini memporak-porandakan tidak hanya ekonomi dan politik tetapi juga sosial budaya kita. Sebagai sebuah bangsa kita kehilangan kebanggaan diri. Nilai-nilai kemasyarakatan yang dulu kita agung-agungkan sekarang hilang artinya. Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa kita ini bangsa yang ramah tamah kalau ternyata masyarakat di segala lapisan saling bunuh, saling terkam dan saling bakar membakar?

Memang tidak ada gunanya kalau kita hanya mengumpat dan menyesali keadaan kita. Akan tetapi kita bisa mencoba belajar dari krisis ini untuk menemukan kelemahan mendasar yang ada pada bangsa kita sehingga tidak mampu bertahan menghadapi hantaman globalisasi yang tak terelakkan. Dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia ini bisa dikatakan bahwa SDM kita adalah yang paling buruk, baik dalam hal kemampuan maupun kesadaran etika moralnya. Apa artinya gembar-gembor bahwa bangsa kita adalah bangsa yang religius kalau pada kenyataannya kita termasuk negara paling korup di dunia?

Kesimpulan yang bisa kita tarik dari pemetaan tantangan ini adalah bahwa kita merasakan adanya kerinduan untuk membuat penghayatan iman kita itu bermakna tidak hanya bagi diri kita sendiri tetapi juga bagi komunitas kita, terutama dan pertama-tama bagi keluarga kita. Perubahan-perubahan cepat yang terjadi di dunia dewasa ini di satu sisi menggoda kita untuk “mengasingkan diri” dan tidak mau terlibat. Istilahnya romo Haryoto: tidak mau berkiprah. Di lain sisi perubahan-perubahan cepat itu juga mendorong kita untuk konsolidasi ke dalam ke tengah-tengah keluarga kita masing-masing dengan menyiapkan putra-putri kita sebagai SDM yang unggul supaya siap menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks.

MODAL DASAR: MANUSIA LATIHAN ROHANI

Romo Haryoto mengingatkan kembali akan pengalaman latihan rohani. Dalam hal ini, Latihan Rohani tidak berhenti hanya sebagai pegangan meditasi atau semata-mata sebagai suatu praktek devosional, akan tetapi harus menjadi tuntutan pengalaman rohani. Karisma manusia Latihan Rohani terpancar dari daya intuisi rohani yang diperoleh dari pengalaman obyek-obyek batin yang diperoleh dari kekonsentrasian, keheningan, keakraban dan perenungan, di mana pengenalan itu dicapai melalui diskresi.

Intuisi itu dalam penghayatan Latihan Rohani akan melahirkan suatu visi kehidupan yang akan membentuk orientasi hidup seseorang, seakan-akan menentukan arah kehidupannya. Dan kekhasan dari visi hidup Ignatian adalah bahwa visi hidup itu dibangun atas pengalaman akan Allah.

Pengalaman latihan rohani ini menjadi dasar ikatan untuk membangun visi bersama. Maka penting bagi kita untuk menyadari bahwa harus ada kemungkinan bagi masing-masing untuk terus menerus memperdalam daya intuisi rohaninya, melalui diskresi, berhadapan dengan realitas kongkret kehidupan di masyarakat. Salah satu bentuk yang mungkin adalah CLC.

MODEL GEREJA PERDANA

Romo Haryoto juga menyebut gereja perdana sebagai model sebuah komunitas yang saling mendukung dan berbagi kelebihan masing-masing untuk mewujudkan visi bersama. Di mana dengan berpedoman pada semangat DIY (do it yourself), gereja perdana membangun wadah kebersamaan. Dalam rangka kebutuhan akan SDM unggul di masa depan. Untuk mewujudkan hal itu diperlukan pendidikan yang baik bagi anak-anak kita. Apakah kita bisa membuat semacam wadah beasiswa bagi mereka yang kurang mampu?

CISARUA 13 – 15 July 2000
B.B. Triatmoko SJ

You Might Also Like

Merasai Kesedihan Bunda Maria di Rumah Singgah Maria, Melung Purwokerto

Makna di Balik Nama yang Dipilih Bapa Suci Leo XIV

Christus Vivit dan Jalan Kekudusan Kaum Muda: Carlo Acutis Ikon Iman Milenial

Dari Kardinal ke Takhta Petrus: Refleksi atas Terpilihnya Paus Leo XIV

Menggali Kepemimpinan Perempuan dalam Cahaya Iman: Inspirasi dari Ratu Elizabeth II

TAGGED:atheisme barudiskresi rohaniGereja perdanaharapan masa depanheadlinehidup bermaknaIndonesiakecemasan manusia modernkemajuan umat manusiakoinoniakomunitas kristianikrisis kepercayaankrisis nilailatihan rohanimakna imanmanusia modernmillenium ketigamoralitasobjektifikasi manusiaPemetaan tantangan dan peluangpendidikan imanperkembangan teknologiperspektif multidimensionalperubahan sosialporak porandarefleksi imanRomo Haryoto SJsolidaritas sosialspiritualitastantangan imanteknologi dan etikatransformasi masyarakatTRSvisi kehidupan
Share This Article
Facebook Twitter Email Print
Share
Previous Article Dari Istana ke Jalanan: Kepemimpinan Paus Fransiskus yang Mengakar di Hati Kaum Kecil
Next Article Hati Mahakudus Yesus Bukan Monumen Nostalgia
Leave a comment

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Posts

  • Ringkasan Dokumen dan Panduan Studi Ensiklik Dilexit Nos
  • Dipanggil, Diutus, dan Belajar Percaya
  • Refleksi Pengalaman Micro Teaching: Panggilan yang Meneguhkan Hati
  • Paus Leo XIV: Yesus Menunjukkan Bahwa Teriakan Bukan Kelemahan, Melainkan Tindakan Harapan
  • Carlo Acutis dan Orang Kudus yang Sedarah Dengannya

Recent Comments

  1. Heti Maharani on Carlo Acutis, Dijuluki “God’s Influencer”, Menjadi Santo “Millenial” Pertama
  2. Sukaryanto on Jangan Berdoa untuk Uang, Ini Alasannya
  3. Mamiek S. on Refleksi 22 Tahun Menjalani Hidup Bersama Seorang Mantan Jesuit
  4. Eugenius Laluur on Refleksi 22 Tahun Menjalani Hidup Bersama Seorang Mantan Jesuit
  5. Berkah on Refleksi 22 Tahun Menjalani Hidup Bersama Seorang Mantan Jesuit
Inigo WayInigo Way
Follow US
© 2024 Inigo Way Network. Member of Yayasan Sesawi and Paguyuban Sesawi. All Rights Reserved.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?