Pagi itu, dalam suasana akrab dan reflektif di sebuah beranda tempat peristirahatan bernama Sinewente, sekelompok pria berbagi kisah perjalanan mereka bersama komunitas SESAWI. Yang muncul bukan sekadar nostalgia, melainkan peta batin yang kaya warna: dari keterlibatan aktif hingga jeda yang panjang, dari spiritualitas Ignatian ke semesta kesadaran yang lebih luas. Mereka tidak hanya menceritakan tentang komunitas, tetapi juga tentang pergulatan personal, pencarian makna, dan pendamaian batin.
Salah satu peserta memulai dengan membongkar mitos: “Saya dibilang sakit hati, makanya menghilang. Itu nggak benar. Saya cuma suka tidur, dan Sabtu-Minggu saya pilih untuk keluarga atau istirahat.” Ia menegaskan bahwa ketidakhadirannya bukan karena luka, tapi pilihan hidup. Komitmen waktu adalah tantangan besar baginya. Ia tak ingin hadir tanpa benar-benar memberi diri. “Kalau ikut komunitas, saya harus invest waktu dan tenaga. Saya bukan tipe yang hanya duduk-duduk.” Ia memilih aktif di tempat yang ia sukai—seperti badminton—dan menjauh dari komunitas manapun, bukan hanya SESAWI.
Namun begitu, relasinya dengan teman-teman tetap hangat. Ia tak pernah benar-benar putus dari tali persaudaraan. Bahkan ketika mencari jalan spiritual, ia melangkah dengan caranya sendiri. Ia tertarik pada teosofi, fisika spiritual, dan semesta kesadaran. Menurutnya, spiritualitas Ignatian hanya salah satu dari banyak jalan. Ia merasa makin dekat dengan Yesus—bukan sebagai Tuhan tunggal dalam pengertian Katolik, tapi sebagai figur spiritual yang ia kenal dan kagumi. “Bagi saya, Yesus bukan satu-satunya the Almighty God. Masih banyak tokoh seperti dia di dunia ini. Tapi saya senang bersama-Nya.”
Iman Sebagai Perjalanan yang Tak Pernah Usai
Refleksi lain datang dari anggota yang sejak awal terlibat dalam SESAWI. Ia mengingat bagaimana energi dan spirit komunitas ini begitu hidup saat pertemuan-pertemuan awal. Beberapa nama membekas dalam kenangannya. Baginya, SESAWI bukan sekadar komunitas eks-novis, tapi sebuah gerakan spiritual awam yang sungguh berakar. “Romo Nano SJ bilang, ini bukan soal legalitas, ini soal misi. Kita ini tetap bagian dari perutusan, meski tak lagi ditahbiskan.”
Ia merasa dipanggil untuk tetap berjalan bersama. “Rasa itu, ya batin, ya spiritual. Saya tidur pun bisa sampai jam 3 pagi, karena saat itu saya justru menemukan ketenangan rohani.” Ia menyebut tentang communio sanctorum—persatuan para kudus—yang menurutnya tak pernah mati. Bahkan dalam keheningan malam, ia merasa tersambung dengan energi semesta: air, api, tanah, angin, samudera, bintang-bintang. Semua ia sebut sahabat, semua ia doakan. “Yesus bagi saya adalah Raja Semesta Alam, tapi bukan dalam gelar kekuasaan. Dia adalah pribadi yang hadir dalam harmoni itu semua.”
Menariknya, ia menyatakan bahwa sejak pensiun, ia tak pernah lagi ke rumah sakit. “Mungkin karena saya hidup selaras dengan alam. Saya tanam, saya ternak, saya berkebun. Itu jadi doa saya.” Hidup baginya tak lagi terikat waktu. “Tidak ada jam, tidak ada target, hanya proses terus-menerus dalam dimensi kekal.” Ia bahkan menolak konsep “kematian” sebagai finalitas. “Kematian itu hanya perpindahan frekuensi. Kita hanya pindah dimensi, bukan menghilang.”
Di tengah semua pencarian personal itu, SESAWI tetap hadir sebagai rumah. Para anggota menyebut SESAWI sebagai tempat tanpa sekat, tempat di mana siapa pun diterima, dihargai, dan tidak dinilai dari sejarah atau keyakinannya sekarang. “Saya kagum dengan teman-teman. Tidak ada yang sama, tapi semua berhati samudera,” kata seorang peserta. Ia mengakui, meski kadang tidak bisa terlibat karena keterbatasan finansial dan waktu, ia tetap merasa menjadi bagian.
Luka? Tidak banyak yang merasa pernah luka. Kalau pun ada, itu lebih soal beda cara pandang, atau merasa tidak punya waktu, atau bosan lihat isi WA grup. Tapi semuanya diterima apa adanya. Bahkan mereka yang tidak bisa hadir secara rutin tetap punya tempat di hati komunitas.
Dari Spirit Ignatius ke Cahaya Semesta
Banyak dari mereka yang sekarang menjalani spiritualitas di luar kerangka Katolik konvensional. Tapi mereka tak merasa berkonflik. “Saya hidup dengan rasa. Intuisi saya yang memandu.” Ia menyebut bahwa Tuhan bukanlah sosok yang menuntut sembah-sembah harian. “Kalau Tuhan harus dipuji tiap hari, dimintai rejeki dan kesehatan, itu bukan Tuhan buat saya. Tuhan itu ya hidup dalam saya. Inside-out. Bukan outside-in.”
Ia bahkan membandingkan perjalanan rohaninya dengan telur: “Kalau dipecah dari luar, isinya mati. Tapi kalau pecah dari dalam, dia hidup.” Begitu pula spiritualitas. Harus tumbuh dari dalam, dari pengalaman personal. Ia mengkritisi spiritualitas yang terlalu dogmatis dan menekankan bahwa yang penting adalah menemukan Tuhan dalam diri. “Kalau sudah begitu, tak ada lagi ketakutan, tak ada luka, tak ada kekhawatiran masa depan.”
Akhirnya, SESAWI bukan hanya tentang masa lalu. Ini adalah ruang hidup yang terus berdenyut. “Bagi saya, perjalanan iman itu seperti biji sesawi. Tidak pernah selesai. Mungkin tidak akan pernah sampai, tapi kita terus tumbuh.” Dan dalam pertumbuhan itu, setiap orang diundang untuk ikut merawat, ikut hadir di arena kehidupan bersama. Tidak harus sempurna. Tidak harus intens. Tapi tetap terkoneksi.
Dalam cermin pengalaman para pria ini, SESAWI tampak bukan hanya sebagai komunitas nostalgia. Ia adalah arena spiritual tempat orang-orang bertumbuh sesuai ritmenya masing-masing. Dari Ignatius ke semesta. Dari komunitas ke kesadaran. Dan dari dogma ke pengalaman.