Dalam setiap rumah tangga, ada cerita yang tak selalu terucapkan. Di balik senyum yang ditampilkan ke dunia, para ibu menyimpan lautan pengalaman—ada harapan, perjuangan, dan tentu saja, cinta yang tak kenal lelah. Inilah sepotong kisah dari mereka yang berjalan bersama para mantan Yesuit, dalam payung kebersamaan yang mereka sebut: SESAWI.
Bagi sebagian dari mereka, awal pernikahan adalah langkah berani ke dalam sesuatu yang belum sepenuhnya mereka pahami. Ada yang mengatakan menikah dengan mantan Jesuit seperti membeli “kucing dalam karung”—berbekal keyakinan akan nilai-nilai seminari, tanpa tahu sepenuhnya siapa yang akan mereka dampingi seumur hidup. Namun justru dari sanalah, benih iman yang paling kuat mulai tumbuh.
Ada yang semula merasa asing, bahkan seolah menikah dengan pribadi yang penuh aturan, terlalu saklek dan tak mudah memahami emosi. Namun perlahan, seiring waktu dan melalui pertemuan-pertemuan penuh tawa dan air mata, para ibu ini mulai menyadari satu hal yang menyentuh: “ternyata bukan hanya suamiku yang begini.” Sebuah kalimat sederhana yang memantik kelegaan sekaligus keakraban mendalam antar sesama ibu.
Komunitas SESAWI bukan sekadar paguyuban. Ia menjelma menjadi rumah ke dua, tempat kembali, tempat saling memahami, dan ruang berbagi tanpa takut dihakimi. Ada yang berkata, “di SESAWI, saya merasa tidak menjadi minoritas.” Di tengah banyaknya perbedaan—entah latar belakang, kota domisili, atau usia pernikahan—rasa diterima tanpa sekat itulah yang membuat mereka merasa seperti keluarga.
Lewat arisan dua bulanan, misa Jumat pertama, atau sekadar pertemuan makan dan ngobrol santai—yang mereka sebut “melok”, singkatan dari mangan lan omong kosong—terjadi keajaiban-keajaiban kecil. Ada cerita tentang anak yang semakin dekat pada ayah, tentang pasangan yang mulai saling mendengar, hingga gagasan untuk membuka kelas rajut, ecoprint, atau sekadar berbagi skill mandiri yang memberdayakan para ibu.
Namun, cerita mereka bukan semata manis. Banyak pula kisah getir. Tentang perasaan sendiri di awal pernikahan. Tentang perbedaan cara mendidik anak. Tentang luka yang tidak bisa disampaikan ke luar karena merasa tak akan dimengerti. Tapi lewat kebersamaan yang tumbuh, para ibu ini tidak hanya saling curhat, tapi juga saling menyembuhkan.
Dalam forum-forum kecil itulah, mereka belajar bahwa menerima pasangan bukanlah soal mengubahnya, melainkan menyesuaikan diri dengan cinta yang terus berkembang. Seorang ibu berbagi, “Aku tetap masak meski sedang marah, tapi makannya aku kasih tulisan: selamat menikmati, sambil pasang masker di muka. Eh, suamiku malah ketawa.” Dari celah-celah kecil semacam itu, cinta menemukan jalannya—dengan humor, sabar, dan segenggam harapan.
Biji Sesawi
Bukan hanya untuk para ibu, SESAWI juga membentuk generasi berikutnya. Anak-anak tumbuh dalam atmosfer iman dan cinta. Mereka belajar bagaimana ayah dan ibu mereka saling menghargai, saling mendukung, meski tak sempurna. Ada yang menyebut anak-anak ini “biji sesawi”—kecil tapi penuh potensi untuk bertumbuh menjadi pohon yang meneduhkan.
Dan tentu, tidak semua mulus. Ada yang pernah merasa tidak diterima ketika baru masuk komunitas. Tapi waktu membuktikan bahwa seiring niat untuk bertumbuh bersama, tembok-tembok akan runtuh dengan sendirinya. Sebab, yang membuat SESAWI kuat bukan karena keseragaman, melainkan keberanian untuk jujur dan saling menopang.
Kini, setelah puluhan tahun berjalan, komunitas ini berdiri dengan kokoh. Ada yang sudah menikah 30, bahkan 49 tahun, tetap setia menjadi pelita dalam rumah tangga mereka. Dan semua sepakat: kebersamaan ini harus diwariskan. Kepada generasi baru, kepada pasangan muda, kepada siapa pun yang ingin merawat keluarga dalam terang nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas Ignasian.
Karena di balik para pria penuh prinsip, ada para perempuan hebat yang memilih untuk tetap tinggal, bertahan, dan tumbuh bersama. Mereka bukan hanya istri. Mereka adalah penjaga nyala, penguat langkah, dan penyemai kasih dalam keluarga kecil yang bernama SESAWI. Dan seperti biji sesawi yang kecil, kisah-kisah mereka akan tumbuh menjulang menjadi pohon yang memberi teduh, tidak hanya bagi keluarganya sendiri, tapi juga bagi dunia yang lebih luas.