Di antara canda dan tawa, di akhir pekan, juga nyaris akhir di Bulan Juni 2025 terselip kisah-kisah mendalam dalam sebuah percakapan yang menandai perjalanan panjang sebuah komunitas yang dibentuk bukan semata oleh sejarah bersama di Serikat Jesus, tetapi oleh ikatan batin yang tumbuh dalam pengalaman, spiritualitas, dan solidaritas.
Bagi banyak anggota, Sesawi bukan hanya komunitas—ia adalah berkat. Salah satu anggota mengenang pertemuan pertamanya dengan Sesawi saat sedang dalam keadaan tidak memiliki pekerjaan. Di saat sulit itu, anak-anaknya mendapat bantuan pendidikan. Ketika kecelakaan menimpanya dan harus menjalani operasi besar, Sesawi kembali hadir menjadi penopang.
Yang lain bercerita, dirinya terlibat sejak awal dalam membangun komunitas ini. Meski kepengurusan berganti-ganti, ia setia menjadi bendahara bertahun-tahun. “Ibarat otak dengkul tetapi memikirkan yayasan,” katanya sambil tertawa kecil. Tapi justru dari kolegialitaslah semua bisa berjalan. Ia merasa bahagia menjadi saluran berkat—baik melalui beasiswa, program Dupang, maupun Berkat St. Yusup. Jaringan yang terjalin di Sesawi meluas: Palingsah, BKSY, dan lainnya, memberinya kembali kesempatan bekerja. Semua ini, menurutnya, adalah berkat.
Yang lain lagi bahkan masih ingat perjumpaan pertama di Pakem, meskipun dirinya mengaku “seperti anak domba yang hilang atau menghilang.” Namun setiap kali menengok teman-teman lama seperti Mas Wahono dan Pujo, selalu muncul bara semangat yang berasal dari api Sesawi.
Pengalaman lain pun mencuat. Ada yang mengenal Sesawi lewat sosok-sosok seperti Mas Asmi dan Mas Irwan—yang ternyata dulunya juga pernah bertemu di rumahnya bersama Rm. Banar dan Rm. Andang. Ia mengenang pesan emas dari Rm. Haryoto: “Jangan sampai ada anak-anak mantan novis yang tidak bisa kuliah sampai S1.” Kalimat ini menjadi semacam semangat kolektif yang terus dijaga dan diwujudkan di Sesawi.
Namun tak semua pengalaman manis. Seseorang pernah tertipu oleh orang yang mengaku mantan murid Loyola—sebuah penipuan dalam bentuk pembelian produk. Ia bahkan sempat terjerat rentenir. Tapi, lagi-lagi, Sesawi hadir memberi bantuan dan ketenangan. Ia sangat bersyukur karena berkat Sesawi pula anak-anaknya berhasil menyelesaikan S2, bahkan satu masih terus berjuang. Kini ia merawat ayam di rumah dan menjadi katekis, melanjutkan karya leluhurnya, mbah buyut.
Seorang senior lain lagi bercerita bahwa yang lebih aktif di Sesawi justru sang istri. Tahun 2024 menjadi tahun penuh cobaan: istrinya divonis kanker dan harus menjalani operasi besar. Saat itu pula ia dipanggil oleh KPK sebagai saksi atas kasus korupsi lama dari tempat kerjanya dulu. Tekanan luar biasa. Namun di tengah itu semua, ketika ia menikahkan anak, keluarga Sesawi—terutama Mas Asmi—hadir sepenuh hati. Bahkan saksi nikah anaknya adalah anggota Sesawi. “Sesawi adalah keluarga kami,” katanya dengan penuh haru.
Kisah lain datang dari seseorang yang “ditemukan” Sesawi oleh Mas Irwan, seperti para murid yang dipanggil. Ia masih bekerja saat itu, sekitar tahun 2005—sepuluh tahun setelah keluar dari SJ. Ia pertama kali membantu PERNAS di Megamendung. Pertemuan dengan teman-teman menjadi berkah bagi hidup dan keluarganya. Ia bahkan belajar manajemen keuangan dari Mas Irwan. Dari situ pula anaknya bisa studi ke Tiongkok, semua berkat bimbingan dan jejaring Sesawi.
Ia menyebut Mertoyudan sebagai “Sokrates” yang telah melahirkan begitu banyak bakat. Perjalanan hidupnya bersama istri juga sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Sesawi. Yang membuatnya senang, di komunitas ini tidak ada sekat antar angkatan—nilai spiritualitas menyatukan dan menguatkan.
Romo Iwan juga turut berbagi: di Sesawi, semua bisa ikut tanpa dihakimi. Yang ada justru kegembiraan mendalam. Ia merasa memiliki keluarga dan sahabat yang menyediakan ruang refleksi, berdasarkan spiritualitas awam Ignatian. Ia menekankan bahwa latihan rohani Ignatius bermula dari pengalaman seorang awam, bukan rohaniwan. Pengalaman positif di Sesawi ini bahkan ia bagikan juga ke rekan-rekan di Keuskupan Bandung.
Pengalaman Terluka
Namun seperti komunitas mana pun, luka juga hadir di tengah kebersamaan. Seseorang merasa kurang nyaman ketika ada yang menyindir: “kalau dibantu terus, yang lain gimana?” Meski demikian, hampir semua mengakui bahwa berkah dan kegembiraan jauh lebih mendominasi.
Ada juga pengalaman mengajak teman-teman mantan Jesuit untuk bergabung, namun ditolak. “Yo wis, berjalan saja bersama yang mau diajak,” katanya. Yang lain mengaku tak pernah terluka, bahkan merasa proses keluar dari Serikat dulu sangat baik, dibantu oleh Br. Budi dan Rm. Hendra.
Perbedaan pendapat dan kebijakan memang pernah terjadi. Ada yang merasa sedikit jenuh membaca isi grup WhatsApp. Tapi toh, semua bisa disikapi dengan bijak dan diterima sebagai bagian dari dinamika komunitas.
Apakah Sesawi masih sesuai dengan tujuan awalnya? Pertanyaan ini mengemuka dalam refleksi 25 tahun. Beberapa menyarankan agar fokus diperkuat di “nucleus” seperti Semarang dan Yogyakarta. Sesawi harus terus menjadi berkat, tetapi juga terbuka bagi mereka di luar komunitas. Misalnya, bagi anak-anak seminari dan program BKSY—yang kini juga sudah terlibat.
Karena Sesawi adalah organisasi yang longgar, keluar masuk adalah hal biasa. Namun tetap harus ada semangat untuk terus menghidupkan nilai-nilai spiritualitas Ignasian. “Itu kekhasan Sesawi, jangan bosan menggemakannya terus,” tegas salah satu anggota. Doa juga dimohonkan agar buku refleksi tentang Sesawi bisa segera selesai tepat waktu. Buku itu bukan hanya arsip, tetapi warisan narasi iman dan kebersamaan.
Dari setiap potong kisah yang dibagikan dalam perayaan ini, satu hal tampak nyata: Sesawi bukan sekadar komunitas pasca-SJ. Ia telah tumbuh menjadi sebuah keluarga yang saling menopang, saling menguatkan, dan terus menyalurkan semangat Ignasian dalam kehidupan awam sehari-hari. Seperempat abad telah dilalui. Luka ada, tapi tidak membuat gentar. Berkat melimpah, tapi tidak membuat jumawa. Sesawi terus melangkah—dengan doa, dengan semangat, dengan cinta.