Dalam suasana yang penuh kehangatan dan keakraban, sebuah sesi berbagi pengalaman mengalir seperti sungai yang menelusuri waktu dan ruang batin para pesertanya. Refleksi ini bukan sekadar mengenang masa lalu, melainkan ziarah spiritual yang menunjukkan bagaimana sebuah komunitas bernama SESAWI telah menjadi rumah pulang, tempat belajar, dan ruang penyembuhan bagi banyak jiwa yang pernah menapaki jalan panggilan religius.
Banyak yang memulai cerita dari perjumpaan pertama yang nyaris tak disengaja. Ada yang masuk SESAWI karena undangan teman, sekadar menemani pasangan, atau karena ajakan spontan dalam grup pesan singkat. Namun tanpa disadari, perjumpaan kecil itu membuka kembali pintu yang pernah tertutup—pintu menuju spiritualitas Ignasian yang pernah dihirup dalam masa novisiat, seminari, atau formasi awal. Dalam berbagai cara, SESAWI mempertemukan kembali orang-orang yang dulu pernah satu jalan, atau yang terhubung dalam semangat yang sama: mencari dan menemukan Tuhan dalam segala hal.
Refleksi mengalir dari pengalaman-pengalaman yang konkret. Tentang rasa syukur karena menemukan komunitas yang memelihara semangat Ignasian dalam wujud nyata: dalam keluarga, dalam pekerjaan, dalam relasi, dan dalam pergulatan hidup sehari-hari. Di tengah realitas dunia kerja yang penuh godaan dan kompromi, nilai-nilai seperti magis, disernmen, dan indiferensia menjadi lentera. Spiritualitas ini bukan sekadar wacana, tetapi menjadi daya dorong dalam mengambil keputusan, bersikap adil, dan menjaga integritas. Ada yang berhasil menolak suap, menahan diri untuk tidak bermain dalam zona abu-abu, atau memilih jalan yang lebih panjang demi kebaikan bersama.
Banyak juga yang bersaksi bahwa spiritualitas Ignasian justru berkembang subur di dalam keluarga. Relasi suami-istri yang awalnya sulit terbangun karena perbedaan usia, latar pendidikan, atau cara pandang, pelan-pelan menemukan titik temu ketika semangat Ignasian diterapkan sebagai jalan bersama. Anak-anak pun dibesarkan dalam nilai-nilai reflektif: diajak membaca realitas, belajar dari perbedaan, dan tetap rendah hati dalam keberhasilan. Bahkan ada yang mengalami transformasi dalam keluarga karena semangat SESAWI menular begitu kuat hingga pasangan hidup dan anak-anak ikut tersentuh.
Namun di balik semua rasa syukur itu, terselip juga luka. Luka-luka kecil yang kadang terpendam, kadang mencuat dalam bentuk kekecewaan. Ada yang merasa terasing karena latar belakang formasi yang berbeda—hanya sampai novisiat atau bahkan tidak menyelesaikan formasi awal—merasa kurang percaya diri di tengah teman-teman yang lebih senior secara akademik atau rohani. Ada pula yang merasakan ketidaknyamanan karena dinamika grup yang cenderung homogen atau terbatas pada lingkaran tertentu. Bahkan di antara yang pernah menjadi pengurus, tak sedikit yang mengaku pernah merasa lelah, frustrasi, atau tidak direspons ketika menawarkan ide dan inisiatif.
Namun yang menarik, luka-luka ini tidak berhenti sebagai keluhan. Justru menjadi bahan refleksi yang mendalam, yang membawa pada kesadaran baru: bahwa luka adalah bagian dari pembelajaran rohani. Bahwa menjadi bagian dari komunitas bukan berarti tidak ada konflik, tetapi justru membuka ruang untuk mengampuni, untuk rendah hati, dan untuk menyesuaikan ekspektasi. Dalam semangat Ignasian, luka diproses, diolah, dan akhirnya menjadi berkah.
Rasa memiliki terhadap SESAWI tumbuh pelan-pelan. Seperti seseorang yang awalnya hanya mampir, lalu merasa nyaman, lalu menganggapnya rumah. Rumah yang tidak sempurna, tapi cukup hangat untuk ditinggali. Rumah yang tidak selalu ramai, tapi selalu terbuka. Rumah tempat kita boleh pergi jauh, namun tetap disambut ketika kembali. Dalam rumah ini, sapaan menjadi penting. Banyak yang menandai momen awal keterlibatan mereka bukan dari acara besar, tapi dari satu sapaan kecil yang tulus—sapaan yang membuat seseorang merasa diakui, diingat, dan disayangi.
Kekayaan terbesar dari komunitas ini tampaknya bukan terletak pada struktur atau kegiatan-kegiatan formal, tetapi pada ikatan emosional dan spiritual yang terbentuk dari interaksi yang sederhana: berbagi cerita, saling mendoakan, berbagi link WA, memberi info, menemani dalam duka, menertawakan hal kecil. Bahkan sebagian besar yang merasa diberkati oleh SESAWI bukan karena program yang megah, tapi karena ketulusan dan keterbukaan yang mereka alami dari orang-orang di dalamnya.
Harapan ke depan pun muncul dengan realistis tapi hangat. Bahwa SESAWI tetap menjadi rumah bersama—tempat lintas usia, lintas angkatan, lintas formasi bisa saling mengisi. Komunitas ini diharapkan tidak dikotak-kotakkan hanya berdasarkan minat atau aliran, tapi dibiarkan mengalir cair seperti air yang menyesuaikan wadahnya. Tidak perlu terlalu diatur, tapi tetap dijaga agar tidak kehilangan arah. Dibiarkan beragam, tapi dengan semangat yang sama: menyemai spiritualitas Ignasian dalam hidup sebagai awam.
Ada harapan agar kelompok ini tetap memelihara rasa sebagai keluarga besar, entah melalui pertemuan fisik, grup daring, atau lewat penerbitan dan retret. Beberapa mengusulkan model retret tiga hari ala Sangkal Putung yang bisa memperdalam rasa kebersamaan. Ada pula yang ingin agar ruang-ruang komunikasi lebih inklusif—baik bagi yang suka berdiskusi, yang sekadar membaca, maupun yang hanya diam tapi mendengarkan.
Pada akhirnya, SESAWI dilihat sebagai novisiat yang tidak pernah selesai. Tempat orang kembali mereguk semangat yang pernah menghidupi mereka: semangat untuk menjadi pelayan, untuk terus belajar, dan untuk menjadi pribadi yang semakin menyala dalam terang Tuhan. Seperti rumah Ignasius yang selalu menunggu para sahabatnya kembali, komunitas ini juga menjadi tempat bagi siapa pun yang ingin pulang.
Karena dalam dunia yang terus bergerak cepat dan penuh kebisingan, kita tetap butuh rumah: tempat kita disapa, diingat, dan didoakan.