Terus terang saya tidak pernah benar-benar merencanakan untuk bergabung dengan komunitas Sesawi. Bahkan bisa dibilang, saya terlalu soliter atau barangkali introvert, sehingga cenderung enggan terlibat dalam komunitas ataupun organisasi apapun, apalagi sampai menjadi pengurus. Namun hidup seringkali berjalan bukan seperti yang kita mau.
Dan dalam kasus saya, itu termasuk ketika akhirnya saya ikut kecemplung—dan kemudian malah dipercaya menjadi ketua paguyuban Sesawi menggantikan kepengurusan mas Julius kawan seangkatan.
Kalau ditanya kapan pertama kali bergabung, saya lupa-lupa ingat: saat Sesawi mengadakan acara di Bandungan. Waktu itu, Igo barangkali masih TK, masih suka panjat- panjat apapun. Dia sangat menikmati acara itu, terutama karena bertemu banyak teman baru yang sebaya, bermain bersama, dan leluasa berlari kesana-kemari juga diperbolehkan memanjat pohon. Saya sendiri datang tanpa ekspektasi, tapi melihat kegembiraan Inigo dan keguyuban suasana saat itu, saya merasa seperti pulang ke rumah yang sudah lama saya tinggalkan.
Sebetulnya, tentang paguyuban Sesawi ini saya sudah tahu sejak lama. Namanya memang mengisyaratkan kumpulan para mantan novis SJ—teman-teman seperjalanan dalam formasi panjang yang pernah kami jalani bersama di novisiat Santo Stanislaus Girisonta.
Oleh beberapa ‘saudara’, sudah seringkali pula saya diajak bergabung, tapi waktu itu entah kenapa selalu saja ada alasan untuk menolak. Dan sangat mungkin saat itu di acara Sesawi ke Bandungan, saya sudah kehabisan alasan untuk menolak. Dan tanpa disadari blessing in disguise , langkah kecil itu menjadi pintu masuk menuju penggalan perjalanan hidup yang mewarnai makna.
Yang paling saya syukuri dari keterlibatan di Sesawi adalah kesempatan menemukan kembali teman-teman seperjalanan. Selain mas Julius, sekedar menyebut, ada romo Iwan Projo Bandung, mantan bruder Sodiman, koh Yayang juragan kopi, mas Sutadi yang direjen dan solis, dan mungkin paling akhir bergabung mas Jacob Suwar. Kami pernah bersama- sama dibentuk oleh semangat Ignatius Loyola. Kami pernah sama-sama belajar tentang Examen Conscientiae, Intentio Recta, Asas dan Dasar, Magis, Lepas Bebas (Indiferentia), Tantum Ǫuantum dan apalagi, entahlah. Meski akhirnya kami semua menjalani kehidupan masing-masing—ada yang tetap bersetia dalam serikat, ada yang jadi dosen, pengusaha, profesional, romo di tarekat lain, atau bapak rumah tangga—tapi ternyata semangat itu tetap menyala, dalam bentuk yang berbeda-beda.
Saya terkesan, karena banyak dari kami ternyata masih setia menjalani hidup dengan cara ignatian. Bukan hanya dalam bentuk yang ideal dan formal saja, tapi juga dalam keseharian yang nyata: dalam keluarga, pekerjaan, bahkan dalam komunitas-komunitas kecil di lingkungan masing-masing untuk saling mewarnai. Di tengah dunia yang semakin individualis, sibuk dan bising, menemukan orang-orang yang tetap berusaha hidup reflektif dan penuh kesadaran batin, rasanya seperti menemukan mata air segar.
Lalu datanglah momen yang jujur saja saya hindari: ketika saya didaulat menjadi ketua paguyuban. Satu hal yang selalu saya hindari sejak dulu adalah jabatan dalam komunitas atau organisasi apapun. Bahkan di IKJ (Institut Kesenian Jakarta), saya sudah cukup bahagia dengan hanya dan selalu berusaha untuk hanya mengajar saja, tanpa perlu merangkap jabatan fungsional yang lain atau bahkan struktural. Tapi nyatanya, hidup lagi-lagi tidak selalu hanya menuruti keinginan kita. Di sana-sini entah nasib saja atau karena dianggap punya kapasitas tertentu tidak pernah luput untuk didapuk sebagai ‘pelayan’.
Mungkin sudah menjadi gestur pribadi, atau barangkali sisa dari residu formasio dalam
Serikat Jesus—ketika akhirnya dipercaya, saya tidak bisa menolak. Sendiko dawuh, kawula taat. Saya anggap itu sebagai mandat bahkan perintah, bukan kepercayaan apalagi kehormatan. Dan yang membuat saya semakin tergerak adalah karena komunitas ini bukan sembarang komunitas. Bayangkan mengetuai segerombolan orang-orang yang pintar, kritis, dan tentu saja tidak jauh dari karakter yang keras kepala—sifat khas yang entah bagaimana terbentuk sejak masa novisiat. Tapi justru di situlah justru letak keindahannya: karena mungkin sisa residu formation, sekalipun keras kepala, tidak ada yang mudah tersinggung apalagi tersulut, semua apa adanya, tapi tetap saling menjaga dan menghargai menyelesaikan segala sesuatu dengan diskusi deliberatio, menemukan kehendak roh.
Bagi saya pribadi, keterlibatan di Sesawi tidak pernah hanya tentang diri saya pribadi. Ini juga tentang keluarga saya—Ina dan juga Igo (Inigo Banyu Segara). Sedikit banyak, kami merayakan hidup bersama dengan semangat yang (meski berbeda jalur) punya akar yang sama: iman kristiani.
Ketika saya aktif di paguyuban ini, keluarga saya pun ikut merasakan manfaatnya. Kami tidak merasa sendiri. Kami tahu ada banyak keluarga lain yang menjalani hidup dengan nilai dan cara yang serupa—tentu saja dalam kadar dan bentuk yang sesuai dengan situasi masing-masing keluarga. Tentu ini bukan soal menyamakan langkah, tapi tentang berbagi peran. Dan itu sangat menguatkan, saling meneguhkan.
Kalau ditanya apakah ada dorongan tertentu setelah semua ini, saya bisa bilang: iya, ada. Dorongan itu bukan sesuatu yang spektakuler. Bukan ingin membuat gerakan besar- besaran atau merancang program revolusioner. Dorongan itu lebih-lebih malah kelewat sederhana tapi semakin intens: sadar tidak sadar, untuk tetap bertindak dengan cara ignatian, dan kalau bisa, selalu berusaha menularkannya kepada yang lain—lewat tindakan kecil, lewat ruang kelas, lewat perjumpaan, lewat cara hidup kita.
Saya percaya bahwa cara hidup kita tidak pernah ketinggalan zaman. Justru di era yang serba cepat dan instan ini, orang-orang semakin butuh arah, refleksi, dan kesadaran batin. Dan kalau saya bisa berkontribusi dengan terus menjalani nilai-nilai ini secara otentik, saya pikir itu sudah cukup. Bahkan mungkin itu yang paling dibutuhkan.
Tahun ini, saya dan Ina akan merayakan 30 tahun pernikahan. Igo akan menyelesaikan studinya di STF Driyarkara. Saya sendiri, novis SJ tahun 1987, tahun ini akan menginjak usia 60 tahun. Saya masih akan menjadi dosen tetap 5 tahun kedepan di IKJ, masih menikmati proses belajar-mengajar, berinteraksi dengan banyak anak muda zaman now. Masih banyak kesempatan untuk menularkan tipis-tipis semangat Ignasian.
Kalau saya melihat ke belakang, saya bisa bilang: semua ini adalah rahmat. Bergabung dengan Sesawi mungkin awalnya bukan pilihan sadar, tapi ternyata menjadi jalan yang memperkaya hidup saya, baik secara pribadi, maupun sebagai suami dan ayah.
Sesawi bukan sekadar komunitas nostalgia. Ia adalah ruang aktualisasi nilai, tempat pulang, dan sekaligus sumur oase mereguk kembali semangat Ignasian. Dan terlebih seperti saya pribadi selalu meyakini: Sesawi adalah novisiatku yang tidak pernah selesai— tempatku bersama dengan saudara-sadara yang lain, terus menerus menempa diri untuk selalu belajar rendah hati mohon rahmat kebebasan batin menemukan Tuhan dalam segala.
Terima kasih, Sesawi, untuk segala perjumpaan dan perjalanan ini. amdg Amrih Mulya Dalem Gusti