Sejujurnya, saya tidak begitu ingat kapan pertama kali bergabung dengan Komunitas Paguyuban Sesawi. Mungkin karena saat itu saya belum mencatat atau belum terlalu aktif, ditambah tidak ada peristiwa luar biasa yang benar-benar membekas di awal keikutsertaan saya. Kalau mencoba mengingat-ingat kembali, kemungkinan besar saya pertama kali mengikuti Misa Kudus yang diselenggarakan oleh Paguyuban Sesawi. Entah itu di salah satu ruangan lantai 4 Gedung Kanisius, Menteng, Jakarta Pusat, atau di rumah Bapak Winoto Doriat di kawasan Fatmawati atau Cipete, Jakarta Selatan. Saya datang sendiri dengan naik bus, dan jujur saya pun lupa siapa yang pertama kali mengundang saya. Barangkali Yayang atau Bernardus Agus Rukiyanto, S.J., Dosen Universitas Sanata Dharma (USD teman seangkatan saya waktu itu.
Yang membuat saya terus ikut dan merasa betah dalam kegiatan Paguyuban Sesawi adalah suasana misa yang meneguhkan, terutama lewat homili yang sering kali mengangkat kembali semangat spiritualitas Ignatian. Ditambah lagi adanya sesi sharing dari para anggota dan sambutan yang hangat serta penuh keramahan dari sesama anggota. Tanpa paksaan, saya merasa diterima sebagai saudara. Lingkungan komunitas ini terasa menyenangkan dan membuat saya nyaman.
Salah satu pengalaman yang sangat membekas adalah ketika tempat tinggal kami terbakar. Mas Irwan, Ketua Paguyuban Sesawi saat itu, menunjukkan perhatian yang begitu besar. Ia menanyakan kondisi anak dan istri saya, lalu turut membantu dengan memberikan dana untuk pembangunan kembali rumah kami. Peristiwa itu sungguh menyentuh hati saya.
Saya juga pernah terlibat dalam upaya membentuk koperasi simpan pinjam bersama beberapa anggota Sesawi. Saya dan Yayang dipercaya menjadi bendahara. Sayangnya, setelah beberapa bulan berjalan, respons dari anggota tidak terlalu positif. Akhirnya kami sepakat untuk menghentikan koperasi tersebut.
Setiap kali menghadiri Misa Kudus Bersama, saya selalu merasakan sukacita. Apalagi ketika misa disertai dengan Adorasi Sakramen Mahakudus, lalu sharing yang saling meneguhkan, dan ditutup dengan makan bersama yang disiapkan penuh kasih oleh para ibu-ibu anggota Sesawi. Pulangnya pun sering ada anggota yang menawarkan tebengan pulang. Kebaikan-kebaikan sederhana seperti ini sangat berarti bagi saya.
Ada satu kerinduan yang masih saya simpan, yaitu bisa mengajak istri atau anak untuk turut serta dalam pertemuan atau kegiatan komunitas. Tapi kenyataannya tidak mudah. Istri saya lebih senang berada di rumah atau berkumpul dengan teman-temannya sendiri. Sedangkan anak saya, yang kini sudah dewasa dan memiliki kesibukannya sendiri, sudah enggan ikut ke acara-acara seperti ini. Biasanya mereka hanya mau ikut kalau acaranya adalah pernikahan, dukacita, atau kunjungan kepada anggota yang sudah mereka kenal.
Yang paling saya syukuri dari keterlibatan saya di komunitas ini adalah, walau saya tidak rutin hadir setiap bulan, saya tidak pernah merasa dihakimi atau dinilai negatif. Justru saya selalu merasa diterima dengan hangat. Tidak pernah sekalipun saya merasa seperti orang asing, meski usia dan latar belakang saya berbeda dengan beberapa anggota.
Saya pun sangat menghargai mereka yang masih menyempatkan diri mengurus dan mengkoordinir berbagai kegiatan Paguyuban Sesawi. Saya paham betul, itu bukan hal yang mudah. Yang lebih mengesankan lagi, sharing yang dibagikan selalu disampaikan dengan kejujuran dan ketulusan.
Dari pengalaman-pengalaman ini, saya merasa semakin diteguhkan untuk menjalani hidup sebagai seorang Kristiani, khususnya dalam konteks kehidupan keluarga yang seringkali tidak mudah. Saya percaya, Tuhan menyertai saya dan keluarga melalui kehadiran anggota-anggota Paguyuban Sesawi. Saya juga bersyukur bisa mengenal sesama anggota dari berbagai latar belakang dan usia. Tuhan benar-benar menambahkan pengalaman dan persaudaraan lewat komunitas ini.
Kini, di usia saya yang telah melewati 60 tahun—yang mungkin dianggap sudah memasuki masa lansia atau pensiun—saya masih merasakan dorongan untuk tetap hadir dalam pertemuan atau kegiatan komunitas. Tentu saja, semua itu tergantung pada situasi dan kondisi saya yang sudah lebih terbatas. Tapi semangat untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang memperkuat iman, harapan, dan kasih tetap ada.
Saya sangat mendukung adanya komunitas doa yang secara khusus mendoakan anggota Sesawi dan berbagai hal penting yang perlu didoakan bersama, seperti yang digagas Mas Abdi. Saya juga mendorong agar Misa Sesawi tetap diselenggarakan secara offline, meskipun tidak harus selalu di hari Jumat pertama. Alangkah baiknya jika misa tersebut juga dilengkapi dengan Adorasi dan sesi sharing.
Untuk kegiatan arisan atau pertemuan di rumah salah satu anggota, saya mendukung sepenuhnya meski saya mohon maaf karena mungkin tidak selalu bisa hadir. Lain halnya jika ada anggota Sesawi yang sedang mengalami kedukaan atau sakit, saya akan berusaha hadir dan ikut mendoakan, baik secara langsung maupun lewat Ekaristi. Bila ada anggota yang sedang berbahagia, saya pun akan turut bersyukur dan mendoakan agar kebahagiaan itu semakin lengkap.
Saya juga akan mendorong teman-teman Sesawi yang memiliki pengalaman atau pengetahuan yang bermanfaat—misalnya tentang kesehatan, kedamaian batin, atau kesejahteraan hidup—untuk membagikannya kepada anggota lain, tentu tanpa memaksakan agar orang lain harus mengikuti apa yang mereka lakukan.
Begitulah kisah dan refleksi saya sebagai bagian dari Paguyuban Sesawi—sebuah komunitas yang telah menjadi ruang tumbuh iman, harapan, dan kasih yang nyata dalam hidup saya.