Awal yang mengesankan
Saya resmi bergabung dengan komunitas Sesawi pada tahun 2009, setelah menikah dengan Mathias Hariyadi aka Mas Har. Namun, sesungguhnya benih keakraban dengan komunitas ini sudah mulai tumbuh setahun sebelumnya. Pada Januari 2008, saya diajak Mas Har mengikuti acara liburan Natal bersama para anggota Sesawi. Momen itu menjadi pintu masuk saya ke dalam sebuah komunitas yang hangat, unik, dan penuh warna.
Kenangan yang paling membekas dari perjumpaan pertama itu adalah keramahan Ci Bernadeth. Ia menyambut saya, seorang pendatang baru, dengan ketulusan yang original. Sikap hangat dan penuh perhatian ini membuat saya merasa diterima dan dihargai, meskipun belum mengenal siapa-siapa. Dalam suasana santai dan penuh tawa, saya menyaksikan interaksi para anggota yang asyik.
Lingkungan pertemanan seperti inilah yang membuat saya merasa nyaman dan yakin, bahwa jika ini adalah komunitas Mas Har baik dan positif, maka saya ingin “berjalan bersama” di dalamnya.
Sebagai seseorang yang tidak berasal dari keluarga Katolik dan juga belum pernah mengenal para Jesuit sebelumnya – karena tidak ada Jesuit pernah berkarya di Pontianak – keterlibatan dalam Sesawi menjadi pengalaman baru yang membuka banyak wawasan.
Melalui komunitas ini, saya berjumpa dengan para Jesuit aktif maupun mantan Jesuit yang memiliki latar belakang pendidikan dan spiritualitas yang khas. Interaksi ini bukan hanya memperkaya pemahaman saya tentang iman Katolik dan spiritualitas Ignasian, tetapi juga memberi warna baru dalam cara saya memandang kehidupan, relasi, dan pelayanan.
Komunitas yang memeluk keluarga
Salah satu hal utama yang saya kagumi dari Sesawi adalah cara komunitas ini memandang dan melibatkan keluarga secara utuh.
Sesawi bukanlah komunitas eksklusif untuk para bapak-bapak mantan Jesuit saja, melainkan sebuah ruang yang terbuka dan inklusif, di mana isteri dan anak-anak pun dirangkul sebagai anggota komunitas. Dalam setiap kegiatan besar seperti Liburan Natalan, Paskahan, atau retret, selalu tersedia ruang yang layak untuk anggota keluarga.
Arisan ibu-ibu Sesawi, misalnya, menjadi ruang yang sangat berarti bagi kami, para isteri. Tidak hanya sebagai ajang reuni dan silaturahmi, tetapi juga sebagai ruang berbagi, menyemangati, dan saling mendukung. Kami menyadari bahwa suami-suami kami—yang berlatar belakang seminari dan pernah menapaki jalan hidup religius—sering kali memiliki karakteristik yang ‘unik’ dibandingkan dengan pria kebanyakan. Mereka cenderung berpikir sangat sistematis, punya kecenderungan perfeksionis, dan memiliki semangat “magis” untuk selalu unggul dan optimal.
Bisa jadi, hal ini merupakan buah dari kurikulum pendidikan Jesuit yang intens dan fokus membentuk pribadi imam yang siap berkarya dalam semangat Ignasian. Ini membawa banyak dampak positif, tetapi tidak jarang pula menimbulkan tantangan dalam kehidupan rumahtangga. Karenanya, pertemuan ibu-ibu menjadi ruang yang aman untuk berbagi pengalaman, tawa, bahkan ‘curhat’ tentang dinamika kehidupan bersama para mantan Jesuit.
Wawasan dan pelayanan yang terbuka
Kegiatan-kegiatan dalam Komunitas Sesawi tidak hanya berhenti pada kebersamaan informal. Seiring perjalanan waktu, Sesawi tumbuh menjadi komunitas yang semakin terorganisir dan berdampak. Dari sebuah komunitas relasional, kini Sesawi berkembang menjadi paguyuban atau yayasan yang memiliki arah pelayanan yang lebih luas. Di dalam struktur ini, para isteri juga diberi ruang untuk ikut berkontribusi dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan kegiatan.
Kegiatan yang ditawarkan pun sangat beragam dan membuka banyak ruang belajar. Misa Jumat Pertama, seminar spiritualitas Ignasian, dan berbagai kursus serta diskusi yang diadakan secara berkala menjadi sarana bagi para anggota untuk terus bertumbuh. Beberapa anggota pun berbagi pengetahuan dan keahlian mereka, contohnya antara lain: Mas Yayang dengan dunia kopi, Mbak Esti dengan ecoprint, Mbak Lindy dengan tata busana, Mbak Lusi Harsono dengan sharing pengabdiannya di Kementerian Keuangan, serta Mas Josie yang memberi update seputar dinamika sosial dan politik terkini.
Kegiatan diskusi dan JumPer memperlihatkan betapa komunitas ini tak kehilangan semangat reflektifnya. Bagi saya pribadi, hal ini sangat berarti. Komunitas ini bukan hanya tempat berkumpul, tetapi juga menjadi ruang aktualisasi dan perjumpaan dengan berbagai perspektif hidup, iman, dan pelayanan.
Retret: mengisi dan menghidupkan relasi
Salah satu pengalaman paling bermakna dalam komunitas ini adalah ketika kami mengikuti retret bersama. Retret menjadi momen khusus untuk jeda, merefleksikan perjalanan hidup, dan memperdalam relasi—baik antar anggota maupun dalam keluarga. Dalam suasana tenang dan penuh keakraban, kami belajar saling mendengar dan menyapa satu sama lain secara lebih mendalam.
Salah satu sesi yang paling berkesan bagi saya adalah retret bersama Romo Mardiatmadja SJ. Dalam retret tersebut, beliau mengajak kami merenungkan dua pertanyaan penting yang kemudian menjadi bahan diskusi kelompok:
- Menurut Anda, gambaran Yesus seperti apa yang dibutuhkan pada zaman sekarang?
- Apa bentuk kegiatan Sesawi yang bisa mewujudkan gambaran Yesus tersebut?
Diskusi ini membuka ruang yang sangat luas untuk menggali misi dan arah gerak Sesawi ke depan. Sesawi diajak untuk tidak hanya berkutat pada nostalgia masa lalu atau kenyamanan pertemanan, tetapi sungguh memikirkan bagaimana Sesawi bisa relevan dan berdampak di tengah tantangan zaman.
Retret atau rekoleksi lain yang pernah saya ikuti semua mengesankan juga. Romo Irwan selalu mengajak para keluarga Sesawi untuk mempererat relasi yang baik, misalnya dengan pembaharuan janji perkawinan tiap pasangan.
Retret TriDuum dengan Romo Sardi SJ yang ahli Spiritualitas Ignasian juga sangat menarik buat saya yang belum pernah mendalami spiritualitas terkenal tersebut. Saya merasa bangga dengan alasan yang sebenarnya konyol dan tak layak disombongkan: tanggal lahir saya kebetulan bersamaan dengan Hari Santo Ignatius Loyola, Sang Pendiri Jesuit dan pembuat Spiritualitas Ignatian.
Melangkah bersama ke masa depan
Kini, di usia ke-25, Sesawi telah menapaki perjalanan yang tidak pendek. Komunitas ini telah mengalami banyak dinamika dan pertumbuhan. Namun, tantangan ke depan masih terbentang luas, terutama dalam menjembatani generasi muda sesawi agar dapat terus berjalan bersama. Keluarga-keluarga muda sesawi perlu didampingi dan diberi ruang untuk mengembangkan diri sesuai zaman, tanpa kehilangan semangat awal komunitas ini.
Para sesawi senior pun diharapkan terus memberi dukungan, menjadi teladan dalam semangat AMDG (Ad Maiorem Dei Gloriam), dan membuka jalan bagi ‘regenerasi’ yang sehat. Seperti telah dialami mereka secara langsung segala pengalaman yang menyenangkan dan tidak, membahagiakan maupun yang menyengsarakan – tergantung cara pandang – kemudahan atau kesulitan; transisi dari dunia religius ke dunia awam yang dijalani para mantan seminaris seringkali penuh tantangan—dan di sinilah komunitas sesawi bisa hadir sebagai ruang pemulihan, adaptasi, dan pertumbuhan.
Seperti kita lihat di film-film spionase di mana seorang agen butuh rumah-rumah aman untuk singgah dalam perjalanan misinya, Sesawi bisa menjadi ‘rumah aman’ bagi jeblinger yang terpaksa keluar baik atas niat sendiri atau pun diniati pimpinannya.
Maka Sesawi, bukan hanya komunitas nostalgia para mantan Jesuit. Ini adalah “keluarga kedua”. Sebuah ruang tumbuh, berbagi, dan berjalan bersama. Dalam keterbatasan dan keunikannya, komunitas ini bisa terus menghidupi harapan, iman, dan cinta—dengan caranya yang khas.
Selamat ulang tahun ke-25 Sesawi.