Aku tak pernah membayangkan bahwa menyusun proposal skripsi bisa menjadi perjalanan yang begitu melelahkan—bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional dan spiritual. Saat pertama kali memulai, semangatku membara. Aku sudah memiliki gambaran yang jelas tentang topik yang ingin kuteliti, dan referensi yang kukumpulkan terasa cukup untuk menopang langkahku. Dalam benakku, semuanya akan berjalan lancar—aku hanya perlu menulis, menyerahkan, melakukan sedikit revisi, lalu melangkah ke tahap berikutnya.
Namun, kenyataan berkata lain.
Ketika draft pertamaku kembali dengan banyak revisi, aku masih mencoba berpikir positif. “Baiklah, ini bagian dari proses,” batinku. Tapi seiring berjalannya waktu, setiap perbaikan yang kulakukan selalu saja menemukan celah baru. Semakin aku berusaha, semakin aku merasa tak cukup baik. Perlahan, semangat yang dulu berkobar mulai meredup. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri, “Apakah aku benar-benar mampu menyelesaikan ini?”
Ada saat di mana aku ingin menyerah. Aku sudah mengerahkan segala daya, tetapi tetap saja rasanya tak cukup. Setiap malam, pikiranku dihantui kecemasan: Bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku harus mengulang dari awal? Bagaimana jika aku memang tak cukup pintar?
Air Mata di Gua Maria
Di tengah kelelahan itu, tanpa sadar kakiku membawaku ke Gua Maria di dekat kampus. Aku tak tahu mengapa, tetapi setiap kali aku merasa tersesat, tempat itu selalu menjadi tujuanku. Aku duduk di bangku kayu yang terasa dingin di bawah rindangnya pepohonan, menatap patung Bunda Maria yang berdiri dengan kelembutan abadi. Dan saat itu, air mataku jatuh tanpa bisa kutahan.
Aku menangis. Aku mengadu. Aku berbisik dalam hati, “Tuhan, aku sudah mencoba. Aku sudah berusaha. Tapi aku benar-benar lelah. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.”
Di hadapan patung yang diam itu, aku merasakan betapa kecil dan tak berdayanya diriku. Tak ada lagi yang bisa kuandalkan selain Tuhan. Dalam kepasrahan itu, tiba-tiba aku teringat akan Yesus di Taman Getsemani.
Mengikuti Jejak Yesus di Getsemani
Malam sebelum penyaliban-Nya, Yesus pergi ke Taman Getsemani untuk berdoa. Lukas 22:41-44 menceritakan bagaimana Ia mengalami penderitaan yang begitu mendalam. Ia tahu bahwa salib telah menanti, bahwa penderitaan besar akan segera Ia alami. Dalam ketakutan dan kesedihan yang luar biasa, Yesus berdoa:
“Ya Bapa-Ku, jika sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Matius 26:39)
Betapa dalam doa ini. Yesus, Anak Allah, pun mengalami ketakutan dan pergumulan yang berat. Ia menangis dalam kesendirian, berdoa hingga keringat-Nya menjadi seperti tetesan darah. Namun, di tengah penderitaan itu, Ia tetap memilih untuk berserah kepada Bapa.
Aku pun menyadari bahwa aku sedang berada di “Getsemani”-ku sendiri. Aku berada di titik di mana aku merasa tak sanggup lagi, ingin menyerah, ingin melepaskan semua. Tetapi Yesus telah menunjukkan jalan: berjuang, menangis, namun tetap percaya pada rencana Bapa.
Di hadapan patung Bunda Maria, aku berbisik: “Tuhan, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Jika memang ini jalan yang harus aku tempuh, berilah aku kekuatan.”
Tak ada suara dari langit. Tak ada jawaban instan. Namun, ada sesuatu yang berubah di dalam hatiku. Beban yang kupikul terasa sedikit lebih ringan. Aku pulang dengan perasaan yang lebih tenang, meski masalahku belum terselesaikan.
Proses yang Menguatkanku
Hari-hari berikutnya masih penuh tantangan. Revisi masih datang, perasaan tidak cukup baik masih sesekali menyergap. Tetapi aku mulai melihatnya bukan sebagai kegagalan, melainkan sebagai proses. Aku belajar menerima kritik bukan sebagai tanda ketidakmampuan, tetapi sebagai kesempatan untuk bertumbuh.
Doaku pun berubah. Jika sebelumnya aku meminta agar Tuhan mengangkat semua kesulitanku, kini aku meminta kekuatan untuk melewatinya. Aku mulai percaya bahwa Tuhan tidak selalu menghapus rintangan, tetapi Ia selalu memberi daya untuk menghadapinya.
Dan akhirnya, setelah perjalanan panjang yang penuh air mata, aku mendengar kata-kata yang begitu kunantikan: “Proposalmu diterima. Kamu bisa lanjut ke tahap berikutnya.”
Aku terdiam. Setelah semua kegelisahan, semua lelah, semua doa yang kupanjatkan, akhirnya aku sampai di titik ini. Dan aku menyadari satu hal: Tuhan selalu menyertaiku, meski terkadang aku merasa sendiri.
Pelajaran dari Getsemani
Kisah Yesus di Getsemani mengajarkanku bahwa dalam hidup, kita semua akan menghadapi momen di mana kita merasa ingin menyerah. Akan ada situasi yang begitu berat, begitu melelahkan, hingga kita merasa tak sanggup melangkah lagi. Namun, di saat-saat itu, kita diajak untuk berdoa, untuk berjuang, dan akhirnya, untuk berserah kepada Tuhan.
Jika saat ini kamu merasa berada dalam “Taman Getsemani”-mu sendiri, ingatlah bahwa kamu tidak sendirian. Yesus sudah lebih dulu melalui jalan ini. Ia tahu ketakutan kita, melihat air mata kita, dan tak pernah meninggalkan kita.
Lukas 22:43 mencatat bahwa ketika Yesus dalam kesedihan mendalam,
“Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya.”
Demikian pula dalam hidup kita. Tuhan tidak akan membiarkan kita berjuang sendirian. Ia akan mengirimkan “malaikat-malaikat”-Nya dalam berbagai bentuk: lewat teman yang setia mendukung, keluarga yang tak henti berdoa, atau bahkan sekadar ketenangan hati yang tiba-tiba hadir di tengah pergumulan.
Maka, jangan berhenti berdoa. Jangan berhenti berjuang. Jangan menyerah hanya karena jalan terasa sukar. Karena pada akhirnya, setiap air mata yang jatuh, setiap doa yang dipanjatkan, tidak pernah sia-sia.
Tuhan mendengar. Tuhan melihat. Dan Tuhan selalu menyertai langkah kita.
Penulis : Rikha Emyya Gurusinga, Mahasiswi Sekolah Tinggi Santo Bonaventura Keuskupan Agung Medan