Renungan Harian – Rabu Pekan Suci
Bacaan: Yes 50:4-9a; Mzm 69:8-10.21bcd-22.31.33-34; Mat 26:14-25
Dalam keheningan yang kian mendekatkan kita pada misteri salib, bacaan hari ini mengetuk batin untuk menatap dua sisi dunia yang terus bergulir: kesetiaan dan pengkhianatan. Dalam nubuat Yesaya tentang Hamba Tuhan, kita menjumpai sosok yang setia mendengarkan suara Allah dan taat hingga menghadapi penderitaan tanpa perlawanan. “Tuhan Allah telah membuka telingaku dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang.” (Yes 50:5). Inilah potret dari Kristus sendiri, yang dengan penuh kesadaran menerima jalan salib sebagai wujud kesetiaan-Nya pada kehendak Bapa dan kasih-Nya pada manusia.
Mazmur hari ini menggema sebagai jeritan batin mereka yang tertindas, yang disalahmengerti, yang dilukai oleh orang-orang terdekat. “Aku telah menjadi orang asing bagi saudara-saudaraku, orang luar bagi anak-anak ibuku.” (Mzm 69:9). Betapa sering dalam kehidupan nyata, kita juga mengalami bahwa yang paling menyakitkan bukanlah pengkhianatan dari musuh, tetapi dari mereka yang kita percaya dan kasihi. Doa sang pemazmur menjadi jembatan bagi kita untuk tetap berharap meskipun dunia tampak sepi dan tidak adil. Mazmur ini menjadi pelipur lara bagi semua orang yang sedang menanggung beban yang tak terlihat oleh dunia.
Lalu kita sampai pada bagian paling memilukan dari Injil: kisah Yudas. Ia bukan orang asing bagi Yesus. Ia seorang murid. Ia duduk bersama dalam meja perjamuan terakhir. Tetapi justru di saat perjamuan kasih itulah ia memilih jalan yang berbeda: “Apa yang hendak kaulakukan, lakukanlah dengan segera.” (Mat 26:25). Yudas adalah simbol dari kegagalan manusia untuk bertahan dalam kesetiaan, sebuah gambaran tentang bagaimana cinta bisa dikalahkan oleh keinginan pribadi, ambisi, bahkan kekecewaan yang tak terucapkan.
Di zaman sekarang, kita melihat begitu banyak wajah Yudas dalam berbagai bentuk: dalam pengkhianatan terhadap sesama demi keuntungan pribadi, dalam korupsi yang mengkhianati kepercayaan rakyat, dalam kekerasan domestik yang menghancurkan rasa aman dalam rumah, dalam ujaran kebencian yang menyamar sebagai kebenaran. Namun jangan buru-buru mengarahkan telunjuk. Dalam kejujuran batin, kita mungkin akan menemukan bahwa Yudas juga bisa ada dalam diri kita sendiri: ketika kita tidak setia pada hati nurani, ketika kita menjual idealisme untuk kenyamanan, ketika kita berpaling dari kasih demi rasa aman.
Namun ada secercah harapan dalam semua ini. Yesaya menyebut, “Tuhan Allah menolong aku, sebab itu aku tidak mendapat noda.” Kesetiaan bukanlah soal tak pernah jatuh, melainkan keberanian untuk tetap berjalan dalam terang meski dunia menolak cahaya itu. Dalam Yesus, kita diberi teladan dan kekuatan untuk memilih cinta dan pengampunan di atas luka dan kebencian.
Pekan Suci ini mengundang kita untuk masuk lebih dalam ke dalam misteri kasih yang tak bersyarat. Apakah kita akan tetap tinggal di meja perjamuan kasih? Ataukah kita diam-diam bersiap untuk menjual Tuhan dalam keputusan-keputusan kecil kita? Tuhan tidak pernah berhenti memanggil, mengasihi, dan menanti. Dan di tengah dunia yang penuh pengkhianatan ini, suara-Nya tetap lembut, tak pernah lelah berkata: “Kembali dan tinggallah bersama-Ku.”
Daftar Pustaka
- Brown, Raymond E. The Death of the Messiah: From Gethsemane to the Grave. Yale University Press, 1994.
- Brueggemann, Walter. Isaiah 40–66. Westminster John Knox Press, 1998.
- Wright, N.T. The Day the Revolution Began: Reconsidering the Meaning of Jesus’s Crucifixion. HarperOne, 2016.
- Levine, Amy-Jill. Entering the Passion of Jesus: A Beginner’s Guide to Holy Week. Abingdon Press, 2018.