JUMAT, 25 APRIL 2025
Pagi itu, embun belum benar-benar sirna dari pucuk-pucuk ilalang ketika para rasul masih dibayangi kekelaman malam yang membekas dalam ingatan mereka. Di dalam Kisah Para Rasul 4:1-12, kita menyaksikan Petrus dan Yohanes berdiri di hadapan Mahkamah Agama, sebuah ruang yang berulang kali menjadi saksi atas ketegangan antara hukum dan belas kasih, antara kekuasaan dan kebenaran. Sang penulis, Lukas, bukan sekadar mencatat peristiwa, melainkan menenun kisah keberanian seorang nelayan Galilea yang kini bersuara atas nama Dia yang oleh dunia disalibkan.
Di hadapan imam-imam kepala dan para tua-tua, Petrus yang dahulu pengecut di pelataran Kayafas kini bersaksi dengan keberanian yang tak wajar. Baginya, kebangkitan Kristus bukan sekadar peristiwa teologis, tetapi realitas yang menggetarkan nadi kehidupan. “Keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia,” seru Petrus (Kis. 4:12). Ayat ini, menurut N.T. Wright dalam Acts for Everyone, Part 1 (2008), bukanlah pernyataan eksklusivisme agama semata, melainkan sebuah deklarasi tentang pusat realitas baru di mana kekuasaan, penderitaan, dan keselamatan berpadu dalam Pribadi Yesus yang bangkit.
Di sisi lain, Mazmur 118:1-2, 4, 22-24, 25-27a mengalunkan madah yang barangkali pernah dilagukan Yesus bersama para murid-Nya sebelum menuju Getsemani. “Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru,” demikian nyanyian sang pemazmur. Di dalam tradisi Yahudi, ungkapan ini merujuk kepada bangsa Israel yang kerap terpinggirkan. Namun dalam terang Paskah, makna itu bergeser pada Kristus sendiri — sang Mesias yang ditolak, disalibkan, tetapi justru menjadi dasar dari bangunan keselamatan baru. Seperti ditafsirkan oleh Walter Brueggemann dalam The Message of the Psalms (1984), mazmur ini bukan sekadar seruan syukur, melainkan manifestasi iman akan Allah yang membalikkan nasib, menebus kehancuran, dan menciptakan hari baru di mana kita diundang bersukacita.
Dan sungguh, bagaimana kisah ini menemukan tubuh dan nadinya dalam Injil Yohanes 21:1-14. Di tepi danau Tiberias, sehabis malam yang hampa tangkapan, para murid kembali ke keseharian mereka. Kehampaan itu bukan soal perut kosong belaka, melainkan jiwa yang nyaris kehilangan arah setelah salib dan makam. Tetapi di sanalah, dalam kerapuhan manusiawi mereka, Yesus menampakkan diri — bukan di istana, bukan di sinagoga, melainkan di atas pasir basah yang menyambut kaki lelah para nelayan.
Yesus yang membakar bara dan memanggang ikan itu bukan hanya mengisi perut lapar, tetapi menyalakan kembali nyala kasih yang sempat redup. Dalam momen pembagian roti dan ikan itu, tersirat sebuah perjamuan yang jauh lebih dalam maknanya: sebuah undangan untuk kembali kepada misi, kepada cinta yang mengatasi kematian. Raymond E. Brown dalam The Gospel According to John XIII-XXI (1970) menafsirkan perjamuan itu sebagai tindakan sakramental yang membangkitkan kenangan akan Ekaristi, perjamuan terakhir di mana roti dipecah bukan hanya untuk dimakan, tetapi untuk menghidupkan.
Refleksi ini menggiring kita pada kenyataan iman bahwa Kristus kerap hadir dalam keseharian yang paling banal — dalam kepenatan, kegagalan, bahkan di tengah bara api kecil dan roti sederhana. Kebangkitan bukan semata peristiwa agung dalam lembaran Kitab Suci, tetapi sebuah ritus harian di mana setiap luka, penolakan, dan kehampaan dapat diubah menjadi tempat perjumpaan.
Seperti batu yang dibuang, kita pun kerap merasa tak layak, tersingkirkan, atau gagal. Namun Paskah mengajarkan bahwa dari reruntuhan luka manusiawi, Allah membangun ruang kudus pertemuan. Dari dapur sederhana di tepi danau hingga ruang hati yang sepi, Tuhan hadir membawa bara, roti, dan firman yang membebaskan.
Dan pada akhirnya, kita semua adalah batu-batu itu — terkadang dibuang, terkadang tak dihiraukan — namun dalam tangan Sang Penjuru, tiap keping hidup kita dapat dijadikan fondasi rumah persekutuan. Paskah bukan sekadar tentang kekosongan makam, tetapi tentang Kristus yang mengisi kekosongan hati kita, mengundang kita bersantap dalam kasih, dan menyematkan kembali panggilan hidup di tengah rutinitas dunia yang sering mengabaikan hal-hal sakral.
Daftar Pustaka:
- Brueggemann, W. (1984). The Message of the Psalms: A Theological Commentary. Augsburg Publishing House.
- Brown, R. E. (1970). The Gospel According to John XIII-XXI. Yale University Press.
- Wright, N.T. (2008). Acts for Everyone, Part 1. SPCK.