RABU, 30 APRIL 2025
Dalam keheningan malam yang basah oleh embun Yerusalem, para rasul yang telah dipenjara karena memberitakan Yesus Kristus duduk di balik jeruji. Hati mereka tak digelayuti ketakutan, melainkan disinari oleh keyakinan bahwa kasih Allah lebih kuat daripada segala tembok yang membelenggu tubuh. Dalam Kisah Para Rasul 5:17–26, kita melihat bagaimana tangan Allah bertindak bukan hanya dalam keajaiban yang spektakuler—seperti malaikat membuka pintu penjara—tetapi juga dalam keberanian manusia biasa yang memilih tetap setia dalam terang.
Mazmur 34 mengalun seperti nyanyian jiwa dari seorang yang telah mencicipi kebaikan Tuhan. “Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya Tuhan!” seru pemazmur, seakan mengundang setiap jiwa yang hancur, takut, dan tertindas untuk mengalami kasih yang mengangkat dan membebaskan. Seruan ini tidak lahir dari teologi sistematis, melainkan dari perjumpaan langsung dengan Allah yang menyelamatkan, yang membungkuk mendengar jeritan hati dan membebaskan dari segala kecemasan.
Bacaan Injil dari Yohanes 3:16–21 menancapkan pusat spiritualitas Kristen: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal.” Kalimat ini bukan hanya doktrin, tetapi sebuah pengakuan cinta yang radikal. Ini adalah sebuah wahyu bahwa Allah tidak menjauh dari dunia yang gelap, melainkan masuk ke dalamnya, menyelamatkan, bukan menghukum. Namun dalam terang kasih ini juga ada penghakiman: bahwa manusia lebih memilih gelap daripada terang. Terang bukan netral; ia menelanjangi. Dan kegelapan bukan hanya ketidaktahuan, melainkan sering kali pilihan sadar untuk menolak diubah.
Teolog seperti Raymond E. Brown dalam The Gospel According to John (1971) menekankan bagaimana Injil Yohanes bukan hanya menyampaikan narasi tentang Yesus, tetapi membangun spiritualitas terang dan kegelapan yang mengajak setiap pembaca untuk memilih di mana ia berdiri. Demikian pula, N.T. Wright dalam Surprised by Hope (2007) menggarisbawahi bahwa kebangkitan dan kasih Allah bukan hanya tentang kehidupan setelah mati, tetapi tentang bagaimana kita hidup di dunia ini, dalam terang yang mengubah segalanya.
Refleksi dari kisah para rasul yang dibebaskan bukan hanya tentang mukjizat, tetapi tentang identitas: bahwa mereka adalah pembawa terang di tengah dunia yang menolak diterangi. Ini mengajak kita untuk bertanya: Di mana aku berdiri ketika terang datang? Apakah aku menyambut atau menyipitkan mata dan berbalik?
Kehidupan para rasul yang terus berkarya, meski terancam, bersanding dengan Mazmur yang menyanyikan kebebasan dan Injil yang menawarkan kasih yang menyelamatkan. Ketiganya membentuk harmoni spiritual yang dalam, mengundang kita bukan hanya untuk percaya, tetapi untuk hidup dalam terang—meskipun itu berarti dikejar, dibungkam, bahkan disalibkan oleh dunia yang takut pada kebenaran.
Dalam dunia kini yang juga tak jarang memilih gelap—korupsi, manipulasi, ketidakadilan, kebencian yang dibungkus retorika manis—refleksi ini mengajak kita menjadi terang. Bukan terang yang menyilaukan, tetapi terang yang menghangatkan, menyembuhkan, dan mengundang. Seperti para rasul yang berjalan kembali ke Bait Allah untuk mengajar, walau baru saja dilepaskan dari penjara, kita pun diundang untuk berjalan dalam iman dan keberanian, dengan satu keyakinan: bahwa kasih telah lebih dahulu memilih kita, menerangi jalan di depan, meski dunia tak menyambutnya.
Daftar Pustaka:
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John I-XII. Anchor Bible Series, 1971.
- Wright, N.T. Surprised by Hope: Rethinking Heaven, the Resurrection, and the Mission of the Church. HarperOne, 2007.
- Keener, Craig S. Acts: An Exegetical Commentary, Vol. 1. Baker Academic, 2012.
- Brueggemann, Walter. The Message of the Psalms. Augsburg Publishing, 1984.
- Moltmann, Jürgen. The Crucified God. SCM Press, 1974.