“Dalam Diam, Ia Menghidupi Sabda”
Di tengah riuhnya dunia yang mendewakan suara keras, keberanian diukur dari siapa yang paling nyaring bersuara. Namun di dalam kisah para rasul dan dalam sosok Santo Yusuf Pekerja, kita diajak masuk ke dalam keberanian yang sunyi: keberanian untuk taat, meski tak selalu dimengerti; keberanian untuk percaya, meski tak selalu dijelaskan; keberanian untuk berdiri teguh di bawah terang yang berasal dari atas.
Kisah Para Rasul 5:27-33 memperlihatkan benturan antara ketaatan pada manusia dan ketaatan pada Allah. Petrus dan para rasul berdiri di hadapan Mahkamah Agama—bukan dengan amarah, tapi dengan kepastian: “Kami harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia.” Ini bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan ungkapan cinta yang radikal pada kebenaran. Cinta yang lahir dari pengalaman akan Kristus yang bangkit, yang telah mereka lihat, dengar, dan sentuh. Mereka bersaksi bukan karena berani, melainkan karena sudah tak bisa tidak untuk bersaksi.
Dalam Yohanes 3:31-36, kita diingatkan bahwa Kristus datang dari atas, dan karena itu Ia berbicara tentang hal-hal yang berasal dari atas. Dunia, yang terlalu terpaku pada hal-hal bawah, sering tidak mampu menerima kesaksian itu. Namun, kepada mereka yang mau membuka diri, yang menerima-Nya, diberikanlah Roh-Nya tanpa batas. Santo Agustinus, dalam In Johannis Evangelium Tractatus (ca. 416), menulis: “Kristus tidak hanya datang untuk mengajar manusia, tetapi untuk memberi Roh agar manusia mampu mengerti pengajaran itu.” Maka, mendengarkan sabda-Nya bukan hanya soal pengetahuan, tetapi soal disposisi hati.
Dan pada hari ini, Gereja memperingati Santo Yusuf Pekerja. Ia tidak berbicara satu patah kata pun di seluruh Kitab Suci, tetapi seluruh hidupnya adalah sabda yang dihidupi. Dalam dirinya, kita melihat inkarnasi dari kesetiaan sehari-hari: bekerja, melindungi, mendampingi. Josef Pieper dalam bukunya Faith, Hope, Love (1986) menulis bahwa “kerja manusia menemukan nilai penuhnya ketika dilakukan sebagai bentuk partisipasi dalam karya penyelamatan.” Yusuf bekerja tidak hanya demi roti, tetapi demi Firman yang menjadi daging di tengah rumah tangganya.
Yusuf, Petrus, para rasul—mereka tidak hidup dalam kemudahan. Namun justru dalam tekanan, mereka memperlihatkan siapa yang sungguh mereka taati. Dalam kata-kata Karl Rahner (The Practice of Faith, 1983): “Kekudusan itu bukan soal mengerti seluruh kehendak Allah, tapi tentang berjalan terus ketika hanya satu langkah berikutnya yang tampak.”
Hari ini kita diajak bukan hanya untuk mengenang. Kita diajak untuk meneladani: menjadi saksi yang berani dalam kasih; menjadi pekerja dalam kesetiaan yang hening; menjadi orang-orang yang tahu kepada siapa harus taat, bahkan ketika dunia tidak mengerti.
Daftar Pustaka:
- Agustinus dari Hippo. In Johannis Evangelium Tractatus. ca. 416.
- Rahner, Karl. The Practice of Faith. Crossroad Publishing, 1983.
- Pieper, Josef. Faith, Hope, Love. Ignatius Press, 1986.
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John I–XII. Yale Anchor Bible, 1966.
- Fitzmyer, Joseph A. Acts of the Apostles (Anchor Bible). Yale University Press, 1998.