Asap putih mengepul dari cerobong Kapel Sistina menandai berakhirnya konklaf dan terpilihnya pemimpin baru umat Katolik sedunia. Kardinal Dominique, Kardinal Prodiakon, muncul dari balkon Basilika Santo Petrus dan mengumumkan, “Habemus Papam!” — kita memiliki Paus. Sosok yang ditunjuk sebagai Paus ke-267 adalah Kardinal Robert F. Prevost, 69 tahun, asal Amerika Serikat.
Momen bersejarah ini disiarkan langsung oleh Vatikan News dan disambut haru oleh jutaan umat Katolik di seluruh dunia. Suara lonceng, sorak sukacita, dan doa bersama mewarnai alun-alun Santo Petrus malam itu.
Tradisi Berabad-abad yang Tetap Hidup
Konklaf atau sidang tertutup para kardinal merupakan tradisi sakral Gereja Katolik yang telah berlangsung selama berabad-abad. Seruan Habemus Papam pertama kali dipakai secara resmi pada abad ke-15 saat terpilihnya Paus Martinus V, sebagai penanda berakhirnya perpecahan Gereja dan dimulainya era rekonsiliasi.
Setiap kali pemimpin baru Gereja dipilih, prosesi ini tidak hanya menjadi simbol kontinuitas institusi Gereja, tetapi juga momentum emosional dan spiritual yang memperkuat rasa persatuan umat.
Tantangan Gereja di Era Digital
Paus Robert F. Prevost kini memimpin Gereja di tengah tantangan zaman: dari krisis moral, ketimpangan sosial, hingga pergeseran budaya akibat digitalisasi. Kaum muda semakin terbiasa menemukan pesan-pesan iman lewat media sosial seperti Instagram dan TikTok, bukan dari mimbar.
Situasi ini menuntut pemimpin Gereja untuk mampu menjembatani dunia rohani dengan dunia digital, tanpa kehilangan akar ajaran Injil. Paus bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga dituntut menjadi komunikator yang efektif di ruang digital.
Harapan Umat bagi Paus Baru
Menurut laporan National Catholic Reporter edisi Mei 2025, umat Katolik—terutama kalangan muda—menaruh harapan besar terhadap kepemimpinan Paus Prevost. Mereka mendambakan Gereja yang lebih terbuka, komunikatif, serta mampu menjangkau realitas kehidupan sehari-hari, baik secara luring maupun daring.
Banyak yang berharap Paus baru ini membawa Gereja lebih dekat pada umat, tidak hanya dengan kebijaksanaan pastoral, tetapi juga kepekaan terhadap dinamika zaman.
Cahaya yang Tak Pernah Padam
Habemus Papam bukanlah akhir dari suatu proses, melainkan awal dari perjalanan bersama umat beriman. Di tengah dunia yang penuh kegelisahan, Gereja tetap diharapkan menjadi mercusuar harapan dan kedamaian.
Sebagaimana asap putih yang membelah langit Vatikan, semangat iman tetap hidup—bergerak melintasi batas geografis dan digital. Dan selama Gereja setia pada Injil, harapan itu tidak akan pernah padam.
Penulis: Febriola Sitinjak, Menulis untuk merawat iman dan menjalani studi di Sekolah Tinggi Pastoral Santo Bonaventura Keuskupan Agung Medan.