Belum lama ini saya mengunjungi ibu yang tinggal sendirian di sebuah rumah, di kota kecamatan, di Pasuruan.
Beliau sudah usia 69 tahun. Terakhir sebelum saya berkunjung, kami bertemu setahun lalu menjelang natal. Kali ini saya menengok ibu di awal Desember karena natal nanti saya tidak bisa mengunjunginya karena ada acara lain bersama keluarga istri.
Satu hal menarik yang saya refleksikan buah pertemuan dengan ibu adalah bahwa di usianya yang sudah 69 itu ibu masih rela bangun pagi-pagi, jam 4 untuk menyiapkan nasi bungkus yang dijualnya di toko di salah satu perumahan tempatnya tinggal. “Aku cuma membuat 10 bungkus nasi rames setiap hari dan di hari sabtu membuat 15 bungkus nasi kuning. Untung 15 ribu tiap hari nggak papa, supaya aku tetap bekerja,”katanya padaku.
Sebagai seorang anak yang tentu saja bisa memberi ibu uang, dulu saya merasa kasihan. Tapi lalu saya sadar bahwa apa yang dilakukan ibu justru yang membuat api hidupnya terus menyala. “Ibu itu semangat, lho,” kata salah satu kenalannya di perumahan tersebut. Jadi, ini bukan persoalan beliau mengejar atau mencari uang melainkan persoalan tetap menjaga nyala dan semangat hidup. Memasak adalah passion ibu. Maka tak heran saya pun juga gemar masak.
Ibuku, sama seperti simbok-simbok yang kerap saya lihat di desa di wilayah Yogya, Solo di usianya yang sudah tidak muda lagi masih tetap berjualan adalah para pekerja keras. Mereka menyadarkanku akan energi hidup yang membara di dalam diri mereka. Energi siapa lagi kalau bukan energi Tuhan Sang Maha Hidup.
Yang membuat aku agak kaget, ibuku tidak libur jualannya. Hari Minggu pun dia masih masak dan berjualan. Situasi ini tadinya membuat aku trenyuh dan agak kasihan. Namun lama kelamaan ini seperti Tuhan hendak menunjukkan padaku, Tuhan hendak berkomunikasi denganku dan mengatakan sesuatu. Pandanganku justru berubah dan aku malah dikuatkan. Aku diyakinkan bahwa di dalam diri ibuku juga simbok-simbok yang lain karya Tuhan tetap berjalan terus. Tuhan tidak pernah libur sama seperti ibuku dan para simbok serta para pekerja yang lain.
Ibu, para simbok dan orang-orang yang mungkin membuat kita ingat pada Penyelenggaraan Tuhan ini adalah Elia-elia yang selalu mengingatkan kita bahwa hidup ini bukanlah persoalan mencari uang, mencari prestasi, dan menguasai satu hal.
Saya belajar dari ibu saya dan juga para sesepuh di mana pun mereka berada bahwa cinta yang diletakkan di dalam karya dan pengabdian yang kelihatannya kecil itulah yang harus dipelihara, dijaga dan dihidupi terus-menerus.
Sama seperti Tuhan yang kelahiranNya kita rayakan dengan persiapan advent selama empat minggu ini sebenarnya bukanlah perayaan yang harus kita selebrasi setiap tahun melainkan setiap hari. Tuhan selalu hadir, Tuhan lahir setiap hari, dan masih berkarya hingga kini. Sekali lagi, Tuhan tidak pernah libur.
Maka, marilah kita mohon rahmat Tuhan agar hidup kita yang senantiasa dimodali dengan berlimpah rahmat semangat untuk berjuang, semangat untuk berkarya, keberanian untuk menantang zaman dan mengarungi samudera hidup ini dapat kita abdikan seturut kehendak Tuhan yang telah lebih dulu mencintai kita. Amin. Tuhan memberkati.