Berkomunikasi dengan ramah tampaknya menjadi satu hal penting yang sedang kita upayakan terjadi di berbagai platform media sosial (medsos). Kita pernah merasakan betapa berkomunikasi menjadi sesuatu yang tidak mudah kita lakukan. Di suatu masa (2014-2019) di negeri kita pernah terjadi gejolak sosial dan politik akibat perilaku pengguna medsos yang tidak mampu dan tidak mau berkomunikasi dengan ramah. Penyebaran berita palsu/ hoaks dan ujaran kebencian (hate speech) melaju kencang. Situasi masyarakat semakin panas saat dinamika politik Indonesia menghangat pada Pilpres 2014, Pilgub DKI Jakarta 2017, dan Pilpres 2019.
Akibatnya, masyarakat mengalami polarisasi dan terpecah akibat perilaku membahayakan ini (penyebaran informasi bohong dan ujaran kebencian). Dua hal ini sangat bertolak belakang dengan konsep komunikasi yang ramah. Para pemainnya tidak hanya mereka yang secara individu gemar bermedia sosial, melainkan terutama para pengguna medsos yang disebut dengan buzzer (pasukan siber dunia).
Seperti dikutip dari Viva (https://www.viva.co.id/digital/digilife/851895-polisi-nilai-buzzer-bertanggung-jawab-sebar-berita-hoax), para buzzer inilah yang justru kerap menjadi penyebar berita dan informasi palsu (berita hoaks), juga ujaran kebencian. Peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Klara Esti seperti dikutip dari Kompas.com (https://nasional.kompas.com/read/2019/10/11/16331501/peneliti-pilkada-dki-2012-momentum-berkembangnya-buzzer) mengatakan, fenomena buzzer politik sudah dimulai pada Pilkada DKI Jakarta 2012.
Kalau sebelumnya lingkup pekerjaan mereka hanya untuk perusahaan utamanya meningkatkan citra korporasi atau produk tertentu. Saat itu hingga kini, gerakan mereka tidak lagi terbatas pada hal itu, tetapi juga masuk ke ranah politik. Mereka membantu partai politik dan politikus menyampaikan gagasan sekaligus membentuk citra di hadapan publik.
Dua ilmuwan dari Universitas Oxford, Inggris, Samantha Bradshaw dan Philip N Howard yang meneliti fenomena buzzer di Indonesia bahkan menemukan, penggunaan pasukan siber dunia maya (cyber troop) ini kebanyakan untuk mempengaruhi opini masyarakat dan lawan politik.
Dalam laporan bertajuk ‘The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation’, disebutkan bahwa buzzer politik di Indonesia dibayar dengan menggunakan empat platform media sosial, yakni Twitter, Facebook, WhatsApp dan Instagram. Sasarannya, anak-anak muda yang sedang euphoria menghidupi dunia baru, dunia media sosial.
Hoaks Meningkat
Untuk menghalau arus deras para buzzer yang cenderung merusak ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berupaya melakukan kampanye literasi media di berbagai komunitas anak muda lintas budaya, agama, dan suku pada 2017. Tak lama setelah itu, penyebaran hoaks untuk sementara menurun. Namun dua tahun kemudian, penyebaran hoaks bukannya menurun, malah menanjak.
Tahun 2019, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) berhasil menghimpun jumlah hoaks yang tersebar di Indonesia mencapai 1.221. Dan pada 2020, informasi hoaks yang beredar meningkat menjadi 2.298. Mafindo bahkan menyebutkan bahwa hoaks mengenai agama, politik serta kesehatan menduduki peringkat paling tinggi.
Situasi ini mengkhawatirkan, apalagi sebentar lagi Indonesia memasuki tahun politik, dimana pemilihan umum bakal diselenggarakan. Seperti dikutip dari Kompas.com (https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/05/153205565/berita-hoaks-di-indonesia-meningkat-mayoritas-soal-agama-politik-dan) Editor in Chief Direktorat Jenderal Bimas Kementerian Agama RI Ahmad Syamsuddin menyebutkan bahwa hoaks berpotensi merusak.
“Hoaks yang bertema agama tidak hanya menyerang akal, tetapi juga menancap di hati. Sangat sulit membujuk orang yang sudah termakan hoaks agama. Karenanya, upaya kolaborasi melawan hoaks sangat penting dilakukan,” ujar Ahmad
Pengamat intelijen Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, bahkan mengatakan, konflik-konflik yang terjadi di Papua dan Poso, misalnya, berpotensi makin parah bila penyebaran hoaks dan ujaran kebencian makin menanjak.
Maka, tak heran bila Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) meluncurkan program literasi bertajuk Literasi Digital Nasional dengan tema “Indonesia Makin Cakap Digital” di Hall Basket Senayan pada Kamis 20 Mei 2021.
Juru Bicara Kementerian Kominfo Dedy Permadi menyebutkan, peluncuran program tersebut menandai pelaksanaan kelas literasi digital secara simultan di 514 kabupaten dan kota. Tujuannya untuk membekali warganet dalam berinteraksi di ruang digital baik dari segi etika, kemampuan, keamanan dan budaya digital.
“Program Literasi Digital dilakukan secara paralel dengan pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang saat ini sedang dipercepat dan digencarkan Kominfo,” ujar Dedy seperti dikutip dari Kompas.com (https://www.kompas.com/tren/read/2021/05/21/080600465/mengenal-program-literasi-digital-nasional-dan-cara-mengaksesnya-).
Hingga kini, program literasi ini masih berlanjut dan Menteri Kominfo sendiri berharap program ini dapat terus diselenggarakan meski dirinya tidak lagi menjabat sebagai menteri. Dengan literasi digital ini, Dedy berharap dapat meminimalisasi dampak dari konten negatif di internet seperti hoaks, kekerasan seksual, perundungan online, penipuan, dan konten negatif lainnya.
Ladang Anggur Tuhan yang Baru
Program literasi ini menurut saya merupakan cara pemerintah mendidik warganya agar makin akrab dengan dunia digital dan makin mampu berkomunikasi satu sama lain secara santun, ramah, dan manusiawi di ranah yang sebelumnya tidak pernah dikenal. Sebagai sebuah program, langkah ini sudah sangat bagus dan harus diteruskan karena berdampak positif setidaknya dari pengamatan saya sendiri sebagai pengamat sosial media.
Di sisi lain, platform pergaulan baru ini bisa kita katakan sebagai wahana baru, ladang anggur Tuhan yang baru yang harus kita masuki. Kita tidak bisa membiarkan anak-anak kita bergaul di ranah itu tanpa arahan, pengawasan dan pembinaan. Membiarkannya berarti kita menjadikan anak-anak muda kita bergaul tanpa arah yang jelas yang bisa jadi merusak hidup mereka.
Ini juga merupakan wahana bagi para orangtua untuk mendidik anak-anaknya berkomunikasi dan menempatkan dirinya dengan baik sebagai orang Kristen di antara miliaran warganet dengan segala rupanya yang warna-warni. Anak-anak perlu dibekali pengetahuan, pemahaman, dan nilai-nilai (kristiani) yang kuat di dalam keluarganya karena sejak dini mereka sudah ditantang untuk bergaul dengan beragam manusia di dunia digital.
Apalagi makin ke sini, ragam peristiwa dan perilaku orang yang terekspos entah dengan sengaja atau tidak makin aneh dan bisa jadi sangat jauh berbeda dengan cara pikir, tata krama orang Indonesia pada umumnya. Ambil contoh misalnya, sekitar tahun 2003 media atau orang-orang kita (Indonesia) belum berani tampil dengan pakaian minim. Banyak orang bakal mencacinya. Kini, perilaku yang pada tahun 2000-an itu kita anggap sebagai tidak sopan menjadi tampak biasa di media sosial.
Pihak pengelola media sosial tentu juga sudah punya aturan tertentu tentang persoalan yang secara umum negatif misalnya dengan memberi aturan dilarangnya konten-konten kekerasan, pornografi, dan lain sebagainya. Namun dalam taraf tertentu beberapa hal yang ditolerir masih belum bisa masuk ranah sebagai perilaku ‘yang bisa diterima’ di lingkungan masyarakat timur, khususnya Indonesia. Itulah penting dan mendesaknya pendidikan atau literasi digital yang sudah dilakukan pemerintah beberapa tahun terakhir.
Syukurlah, tidak hanya pemerintah, civil society dengan berbagai bentuknya juga andil. Ambil contoh misalnya Masyarakat Indonesia Antihoax (MIAH) yang sudah melakukan gerakan nasional antihoaks ke seluruh Indonesia, mengajarkan dan mengajak masyarakat memahami bahaya penyebaran hoaks dari sisi hukum, agama, kesusilaan, dan kesopanan.
Ada juga Komunitas yang menamakan dirinya Mafindo atau Masyarakat Anti Fitnah Indonesia yang melakukan berbagai kegiatan melawan infodemic / wabah hoaks, seperti hoax busting, edukasi publik, seminar, sarasehan, advokasi ke berbagai pihak, membangun berbagai teknologi antihoaks, grassroot engagement, penelitian, dan riset. Dan saya rasa masih ada beberapa kelompok lain yang melakukan hal serupa.
Ini sesuatu yang baik dan positif, dan patut kita dukung. Sebaiknya malah kita juga ikut di dalamnya dengan beragam cara yang bisa dilakukan. Bahkan Gereja Katolik pun mesti mengagendakan program yang serupa dalam konteks menyelamatkan jiwa anak-anak muda kita dalam bergaul di ranah digital khususnya media sosial.
Landasan Berkomunikasi
Saya rasa, peran keterlibatan gereja, entah sebagai hierarki maupun sebagai Umat Allah dalam hal ini sesuai dengan pesan paus yang menghendaki agar umat Kristen ikut terlibat dalam dunia ini, menggarami dan meneranginya dengan kasih.
“Dalam sebuah periode sejarah yang ditandai polarisasi dan pertentangan bahkan sayangnya, komunitas gerejawi pun tidak luput dari situasi ini, komitmen untuk berkomunikasi dengan hati dan tangan terbuka menjadi tanggung jawab semua, bukan hanya mereka yang berkarya di bidang komunikasi,” ujar Paus dalam pesannya. (Bdk. Pesan Paus untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-57, KWI :2023, hlm. 5-6).
Paus menegaskan bahwa kita semua dipanggil untuk mencari, mewartakan sekaligus menghidupi kebenaran dengan kasih. Secara khusus, kita sebagai umat Kristiani didesak terus-menerus untuk menjaga lidah dari yang jahat, kata Paus.
Paus mengajak umat Kristiani mengajari anak-anak bahkan dirinya sendiri agar mampu berkomunikasi atau berbicara dengan hati, menaruh cinta di dalam prosesnya. Jujur, tulus hati, kasih, kebenaran, perdamaian, sikap menghormati martabat manusia, kata Paus mesti menjadi landasan kita dalam bertutur dan bergaul.
Menurut Paus, landasan inilah yang tidak ada dalam jejaring sosial. “Kita ini adalah apa yang kita komunikasikan. Pokok tersebut menentang arus, seperti yang kita alami saat ini, khususnya di jejaring sosial,” tegas Paus.
Paus menegaskan, seruan untuk berbicara dengan hati merupakan tantangan yang radikal bagi zaman kita ini yang cenderung tidak peduli, penuh amarah, bahkan kerap mengeksploitasi kebenaran, serta menyebarkan informasi palsu.
“Berkomunikasi dengan ramah berarti siapa pun yang membaca atau mendengarkan kita dituntut untuk menyambut keterlibatan kita dalam kegembiraan, ketakutan, harapan dan penderitaan manusia di zaman kita.”ujar Paus.
Mereka yang berbicara seperti ini, lanjut Paus, mencintai orang lain karena mereka memiliki hati dan sungguh menjaga, melindungi dan tidak melanggar kebebasan. Kata Paus, gaya seperti ini dapat kita lihat dalam diri “Sang Musafir Misterius” yang berdialog dengan para murid dalam perjalanan menuju Emmaus, seusai tragedi Golgota.
Referensi :
https://www.viva.co.id/digital/digilife/851895-polisi-nilai-buzzer-bertanggung-jawab-sebar-berita-hoax
https://nasional.kompas.com/read/2019/10/11/16331501/peneliti-pilkada-dki-2012-momentum-berkembangnya-buzzer
Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulatio
https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/05/153205565/berita-hoaks-di-indonesia-meningkat-mayoritas-soal-agama-politik-dan
https://www.kompas.com/tren/read/2021/05/21/080600465/mengenal-program-literasi-digital-nasional-dan-cara-mengaksesnya-
Pesan Paus untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-57, KWI :2023