Santo Ignasius dari Antiokia (35-107), uskup dan martir dari gereja awal yang kita rayakan hari ini (Kamis, 16 Oktober) menunjukkan keteguhan iman yang luar biasa. Dalam perjalanannya menuju kemartiran di Roma, ia menulis surat-surat yang penuh inspirasi kepada umat Kristen, mendorong mereka untuk tetap setia kepada Kristus. Dalam surat-suratnya, Ignasius mengungkapkan hasrat mendalamnya untuk bersatu dengan Kristus melalui penderitaan dan kematiannya sendiri. Ia melihat penderitaan sebagai cara untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Allah, tidak menghindarinya, tetapi merangkulnya dengan kasih dan iman.
Dalam Efesus 1:1-10, Allah memanggil umat-Nya bukan hanya untuk diselamatkan, tetapi juga untuk menjalani hidup yang kudus dan penuh kasih. Kasih karunia Allah yang diberikan kepada kita sebelum dunia dijadikan, adalah sebuah undangan untuk hidup dalam kekudusan dan pengabdian kepada Allah. Santo Ignasius, dengan kehidupan dan kematiannya, adalah contoh nyata dari seseorang yang menerima panggilan ini dengan penuh ketaatan, tidak gentar meski harus menghadapi kematian. Ia menyadari bahwa hidup dalam Kristus berarti siap mengorbankan segalanya, bahkan nyawa, demi kebenaran dan cinta Allah.
Di sisi lain, dalam Lukas 11:47-54, Yesus memperingatkan tentang bahaya kemunafikan dan ketidaktaatan. Ahli Taurat dan orang Farisi yang dikritik oleh Yesus mengetahui hukum Tuhan, tetapi hati mereka jauh dari ketaatan sejati. Mereka membunuh para nabi dan menghalangi orang lain untuk memahami kebenaran. Dalam konteks ini, Santo Ignasius adalah kebalikan dari orang Farisi tersebut. Ignasius bukan hanya berbicara tentang iman, tetapi ia menjalani iman tersebut dengan totalitas yang sempurna, bahkan rela menyerahkan dirinya kepada kematian sebagai kesaksian iman.
Jadi, pada dasarnyahidup Kristen adalah perjalanan yang menggabungkan kasih karunia dan tanggung jawab. Allah memberikan keselamatan secara cuma-cuma melalui Kristus (seperti yang disebutkan dalam Efesus), tetapi kita dipanggil untuk merespons panggilan itu dengan hidup yang setia dan taat kepada kehendak Allah, seperti yang dicontohkan oleh Santo Ignasius. Kita harus menghindari kemunafikan, seperti yang Yesus peringatkan dalam Lukas, dan sebaliknya menjalani hidup yang autentik dalam iman.
Santo Ignasius memberikan contoh luar biasa tentang bagaimana menerima kasih karunia Allah dan menanggapinya dengan ketaatan radikal, bahkan sampai pada kemartiran. Bagi kita, refleksi ini adalah panggilan untuk mengevaluasi bagaimana kita menanggapi kasih karunia Allah. Apakah kita menjalani hidup yang mencerminkan kasih Kristus dengan kesetiaan yang utuh, atau adakah dalam diri kita sikap seperti para ahli Taurat yang menolak untuk sepenuhnya taat?
Seperti Santo Ignasius, kita diundang untuk menghidupi kasih karunia Allah dengan ketulusan hati, siap menanggung penderitaan jika perlu, dan menjaga hati agar selalu terbuka untuk menerima kebenaran dan hidup dalam iman yang autentik.
Bacaan 1: Efesus 1:1-10, Injil : Lukas 11:47-54
renungannya bagus sekali. Makasih Mas Abdi
terima kasih Mas Elias