Rumah Jesuit di Jl. Bangunan Barat No. 10A, Jakarta Timur itu masih sering saya lewati bersama beberapa kawan kantor, utamanya jika baru saja gajian dan dekat hari Jumat. Maklum saja, ada beberapa lapo yang menjual masakan olahan daging babi di dekat-dekat sana. Saya dan beberapa teman tidak jarang menghabiskan waktu makan siang yang lebih panjang di Jumat siang di beberapa lapo itu.
Saat melewati rumah bernomor 10A itu, tidak jarang saya menghidupkan lagi ingatan ketika menjadi “warga” di dalamnya pada pertengahan 2006 hingga pertengahan 2008. Pagar rumah itu berat. Inilah yang membuat kami, para skolastik Jesuit yang belajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, berlomba-lomba untuk tidak menjadi yang paling depan dan paling belakang saat pulang dari kampus. Dia yang sampai terlebih dahulu di rumah harus membuka pintu gerbang yang berat saat digeser. Sementara itu, dia yang ada di urutan terakhir harus menutupnya. Sungguh perlombaan yang aneh, namun paling masuk akal!
Juni 2006, saya pindah dari Novisiat Girisonta di Ungaran, Jawa Tengah, untuk memulai babak baru masa pendidikan sebagai frater yang belajar di STF Driyarkara. Saya mendapat surat untuk tinggal di Unit Kampung Ambon. Persis, di rumah Jl. Bangunan Barat No. 10A tadi, yang pintu gerbangnya berat saat dibuka dan ditutup. Di sanalah saya mengenal Romo Gregorius Soetomo, SJ. Beliau di kala itu bertugas sebagai Pater Superior Unit untuk rumah Jesuit Komunitas Kampung Ambon, Jakarta.
Komunitas “recehan”
Pada waktu itu, selain menjadi teman bagi para frater Jesuit yang sedang belajar filsafat atau teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Romo Greg juga bekerja sebagai Pimpinan Redaksi Majalah Mingguan HIDUP, majalah berita Katolik nasional. Kebetulan, dari kecil orang tua saya sempat berlangganan majalah ini.
Sebagai Pater Unit, Romo Greg cenderung untuk memosisikan diri sebagai teman sepanggilan. Obrolan-obrolan santai, yang kadang berisi namun sering kali juga tanpa bobot, saat makan malam tentang banyak hal biasanya “dipandu” oleh Romo Greg. Romo Greg adalah pencerita yang baik. Banyak tema bisa diangkat dan ditanggapi, mulai dari filsafat, teologi, spiritualitas Serikat, hingga tema-tema politik-sosial, kebudayaan, film, sastra, atau tema-tema receh seperti gosip artis bisa tersaji di obrolan makan malam unit kami waktu itu.
Kami, pada waktu itu, mungkin adalah komunitas SJ yang paling “receh”—meskipun saat itu istilah “receh” belum populer. Selain sebagian besar kami senang bercanda dengan sedikit urakan karena membuat tawa pecah dan membahana, kami punya kegiatan hampir rutin setiap malam: menonton siaran Empat Mata—yang tidak lama kemudian berubah jadi Bukan Empat Mata—di televisi. Lelucon Tukul Arwana tidak jarang kami bahas atau kami modifikasi, sehingga menjadi bahan bercanda di ruang makan. Dan, Romo Greg ikut menyemarakkan suasana karena bisa ikut bercanda “receh” bersama kami para frater.
Ketika “dendam” mendoan dibalas mangga
Ada satu peristiwa menggelikan yang saya saksikan terkait dengan Romo Greg. Jadi, di setiap unit rumah Jesuit di Jakarta, ada seorang asisten rumah tangga yang bertugas menyiapkan masakan dan membersihkan rumah secara ringan. Kami biasanya menyebutnya dengan “mbak” masak. Tugas si “mbak” adalah memasak untuk kami, namun hanya dari Senin—Sabtu. Akibatnya, kami sendiri, para frater, yang mengatur menu makan Minggu siang dan malam, serta Senin pagi.
Khusus untuk menu sarapan Senin pagi, di unit kami waktu itu sering tersaji tempe mendoan, sang primadona meja makan. Maklum saja, pada waktu itu singkatan SJ juga berarti Serikat Jawa, karena banyak Jesuit di Provinsi Indonesia berlatar belakang suku Jawa. Tempe tentu saja menjadi jenis makanan yang sangat akrab dengan lidah-lidah Jawa kami. Lidah Romo Greg, yang memang lahir dan tumbuh di Purwokerto, tentu sangat akrab dengan mendoan. Suatu kali saat sarapan di Senin pagi, mendoan ada di piring saji tinggal satu potong. Seorang teman sebenarnya ingin menghabiskan sisa mendoan, terbaca dari gesturnya. Sekonyong-konyong, Romo Greg berdiri dan bilang begini, “Mendoannya enak sekali ini, tinggal satu. Saya habiskan, ya!” Tentu saja, teman ini agak dongkol.
Di lain kesempatan, tidak jauh dari “insiden mendoan” itu, ada teman lain yang mendapat kiriman mangga dari orang tuanya. Kiriman mangga itu sampai dua atau tiga kardus. Konon, Romo Greg juga menyukai buah yang satu ini, lalu sempat menyimpan satu buah mangga untuk makan malam. Nah, demi membalas rasa dongkol akibat “insiden mendoan” itu, teman itu ternyata memakan mangga yang disimpan Romo Greg, entah sengaja atau tidak sengaja. Demi menemukan sebuah mangga yang disimpannya sudah raib dari kulkas, Romo Greg menanyakan kepada kami ketika makan malam, apakah ada yang tahu di manakah mangga yang sengaja beliau simpan. Si tersangka pemakan mangga dengan polos menjawab, “Wah, maaf Romo. Saya tidak tahu kalau itu mangga yang disimpan Romo.” Romo Greg hanya tersenyum kecut dan menjawab, “Oh, ya sudah. Yang penting dimakan, to? Bukan dibuang, kan?” Tidak lama kemudian, si pelaku berbisik pada saya, “Skor 1-1.” Wah, rupanya dia sudah merencanakan hal ini. Saya tentu saja merasa geli dengan kelakuan kawan yang satu ini.
Antara Lenteng dan Menteng
Kesan lain yang cukup kuat saya dapatkan tentang Romo Greg hadir ketika beliau pernah mengalami patah kaki akibat jatuh dari sepeda motor. Ada kejadian yang agak lucu di balik musibah yang menimpa Romo Greg. Waktu itu, telepon genggam bukanlah barang yang lumrah digunakan para frater. Hanya mereka yang sudah berada di tingkat kedua yang diperkenankan menggunakan telpon genggam. Itu pun demi kelancaran kegiatan ekstrakulikuler, seperti mengajar Pendidikan Agama Katolik di SMA Negeri, pendampingan mahasiswa Katolik, asistensi mingguan di paroki, dan seterusnya.
Romo Greg pertama kali mengontak telepon genggam kawan yang menjadi pendamping mahasiswa begitu mengalami kecelakaan. Konon, mereka saling bicara melalui telepon genggam. Entah karena panik atau hal lain, kawan tersebut salah mendengar lokasi kecelakaan Romo Greg. Kalau tidak salah, kawan tersebut memang sedang dalam perjalanan pulang dari kegiatan ekstrakulikuler. Kawan tersebut mengaku beberapa kali mengecek lokasi terjadinya kecelakaan, namun tidak mendapati Romo Greg di lokasi tersebut. Ternyata, kawan tersebut mendengar bahwa Romo Greg mengalami kecelakaan di Lenteng, yang membuat dirinya beberapa kali memutari kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Namun, pada kenyataannya Romo Greg mengalami kecelakaan di Menteng, Jakarta Pusat.
Ketika diserang kepanikan, seorang Jesuit muda pun bisa mengalami kekeliruan. Menteng dikiranya sebagai Lenteng. Kata Menteng dan Lenteng memang hanya dipisahkan oleh huruf “l” dan “m”. Dalam abjad latin, letak huruf “l” dan “m” memang bersebelahan, namun demikian dalam dunia nyata ternyata letak Lenteng dan Menteng tidak sedekat itu, kawan!
Bukan Jesuit kalau tidak nekat
Waktu itu, begitu mendapat kabar musibah yang dialami Romo Greg, kami bergantian “menemani” beliau dari mulai dari perawatan di IGD hingga masa-masa operasi yang dilakukan di Rumah Sakit St. Carolus Jakarta. Romo Greg harus mengalami beberapa kali operasi untuk memulihkan salah satu kakinya yang menderita patah tulang—saya sudah lupa apakah kaki kanan atau kirinya yang dioperasi. Tidak ada raut tegang atau khawatir yang saya rekam dari air muka Romo Greg begitu selesai operasi pemasangan pen untuk menyambung tulang kakinya yang patah. Yang dapat saya ingat, Romo Greg tetap bisa menghiasi wajahnya dengan senyumannya yang khas itu.
Waktu berlalu beberapa minggu dan akhirnya Romo Greg menjalani operasi untuk melepas pen di tulang kakinya. Beliau menempati kamar di lantai dasar selama masa pemulihan operasi kaki, sehingga tidak perlu naik-turun tangga rumah untuk mencapai kamar yang beliau tempati di lantai dua. Majalah HIDUP pun menyediakan sopir dan mobil untuk mengatar-jemput Romo Greg, karena beliau biasanya menggunakan sepeda motor Honda GL Max untuk menempuh perjalanan Kampung Ambon—Kebon Jeruk. Namun demikian, beliau kadang tetap nekat naik-turun tangga. “Saya perlu terapi dan belajar berjalan,” ujarnya menjelaskan kenekatan beliau.
Menariknya, sopir majalah HIDUP kadang curhat colongan kepada kami. Meskipun Romo Greg diantar-jemput dengan mobil kantor, tapi beliau sering kali ngeyel dan nekat. “Romo Greg pengennya jalan sendiri, frater. Ngeyel banget. Padahal, kondisi kakinya masih seperti itu,” begitu kurang lebih curhat sopir majalah HIDUP yang bertugas mengantar-jemput Romo Greg.
Kenekatan Romo Greg untuk bisa cepat pulih dan berjalan normal juga kami saksikan sendiri. Romo Greg memang hobi menonton film. Suatu kali, demi terapi jalan kaki beliau, tiga-empat orang dari kami diajak menonton film di bioskop Mall Artha Gading. Kami berangkat naik taksi, semua dibayari Romo Greg. Bioskop di mal tersebut ada di lantai yang paling atas. Untuk menuju ke sana, dengan kondisi Romo Greg yang belum lama melepas pen di kakinya, tentu saja kami merekomendasikan kepada beliau untuk memilih naik lift alih-alih menggunakan eskalator. Dan tentu saja jawaban Romo Greg begini, “Nggak. Kita naik eskalator aja, ya! Nggak papa, biar saya sambil latihan jalan.”
Namun demikian, kenekatan Romo Greg untuk cepat memulihkan kaki berdampak baik. Tidak sampai setahun Romo Greg sudah bisa berjalan seperti biasa. Bahkan, seolah-olah kecelakaan tersebut tidak merenggut nyalinya untuk tetap menggunakan sepeda motor Honda GL Max selama bertugas di Jakarta.
Panggilan memang misteri
Setelah mengenang kembali perjumpaan dengan Romo Greg yang memang dipenuhi canda dan tawa, serta keriangan, saya masih terkesan pada satu homili di suatu kesempatan merayakan misa pagi. Bacaan dan ujub misa pagi itu tentu saya sudah lupa. Akan tetapi, saya masih mengingat apa yang dibagikan Romo Greg dalam permenungannya.
Beliau meyakini bahwa panggilan sebagai seorang Jesuit—dan panggilan hidup sebagai apa pun, sejauh kita sudah ataupun belum menyadarinya—adalah sepenuhnya misteri. Romo Greg, dalam homilinya pagi itu, membayangkan leluhurnya harus menempuh pelayaran dari daratan Tiongkok hingga sampai ke Jawa. Di tempat baru ini, leluhurnya harus berbaur dengan orang-orang setempat, lalu membangun keluarga. Lalu dari generasi entah ke sekian, lahirlah beliau ke dunia.
Romo Greg bergabung dengan Serikat Jesus setelah lulus dari Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Jalur ini bukan jalur “biasa” seperti banyak frater yang bergabung dengan Serikat Jesus setelah lulus dari seminari menengah. Lalu, beliau menjalani masa formasi dalam Serikat Jesus dan ditahbiskan menjadi seorang imam. Menurut beliau, berkumpulnya kami saat itu untuk merayakan Misa pagi itu juga adalah sebuah misteri. Namun, itulah kenyataan bagaimana Tuhan memanggil, dan masing-masing dari kami memberikan tanggapan yang sifatnya personal. Bahkan, bagaimana panggilan hidup itu ditanggapi sebenarnya juga berawal sejak dari leluhur kita.
Romo Greg lalu menutup permenungan dengan berkata kira-kira demikian, “Seandainya leluhur saya pada waktu itu tidak nekat meninggalkan daratan Tiongkok, lalu berlayar ke Jawa, mungkin saya lahir sebagai petani. Lalu saya akan jatuh cinta pada seorang wanita dan membangun keluarga di daratan Tiongkok. Kita tidak akan saling mengenal satu sama lain. Namun, sekarang ini kita berkumpul merayakan Misa dalam satu komunitas.”
Kebetulan, pilihan, atau sepenuhnya misteri
Entah mengapa, saya yang pada akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Serikat Jesus pada 2010 ini, selalu terkesan dengan permenungan Romo Greg pada misa pagi itu. Begitu mengundurkan diri dari Serikat Jesus, saya melamar pekerjaan dan bergabung dengan Periplus. Tanpa disangka-sangka, atasan saya ternyata mengenal Romo Greg dengan sangat baik. Bapak ini ternyata sering diajak menonton film bioskop di mal sekitar Kelapa Gading.
Saya lalu jadi membayangkan, bahwa ketika dulu Romo Greg menulis “bioskop” di papan informasi unit Kampung Ambon pada Sabtu atau Minggu sore, sebenarnya beliau tengah menonton film bioskop dengan atasan saya di masa mendatang. Hidup memang barangkali adalah rentetan kebetulan yang saling menyambung. Manusia tidak pernah bisa memahami apa yang akan terjadi pada masa mendatang. Dan, di sanalah misteri kehidupan.
Setelah ada di luar, saya memang tidak pernah bersalam sapa lagi dengan Romo Greg. Kabar terakhir yang saya dengar dan baca tentang Romo Greg adalah beliau menyelesaikan studi doctoral di bidang pengkajian Islam di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Itu pada 2017 yang lalu. Setelah tidak lagi mengurus majalah HIDUP, memang saya mendengar Romo Greg mengangkat perhatian dan keprihatinan tentang dialog antarumat Katolik dengan saudara-saudari Muslim. Romo Greg bahkan pernah membuat program agar para frater Jesuit yang sedang belajar filsafat live-in di beberapa pesantren. Setelahnya, saya hanya mendengar dari jauh bahwa Romo Greg ditugaskan untuk mengajar tentang Islam di Universitas Ateneo de Manila, Filipina.
Begitulah kesan dan secuil ingatan saya tentang Romo Greg yang murah senyum dan suka melempar sapaan hangat itu. Terima kasih atas dorongan yang membuat saya berani mengirimkan beberapa tulisan ke majalah HIDUP. Terima kasih atas persahabatan yang pernah terjalin di masa 25 tahun panggilan imamat Romo dalam Serikat Jesus. Dan, pada akhirnya, terima kasih telah mengingatkan saya bahwa hidup dan panggilan kita adalah misteri!
Bandung, awal Mei 2024
Simon Andriyan Permono