Minggu Adven III, 15 Desember 2024
Minggu ini, bacaan liturgi membawa kita ke dalam suasana sukacita yang mendalam. Sukacita ini adalah panggilan untuk merenungkan apa artinya bergembira dalam Tuhan, menantikan kedatangan-Nya, dan hidup dalam keadilan serta kasih. Dalam harmoni tiga bacaan ini, kita menemukan pesan penebusan, pengharapan, dan transformasi.
Dalam kitab Zefanya, kita diajak untuk bersorak-sorai sebab Tuhan telah memutuskan mengangkat hukuman umat-Nya dan hadir di tengah mereka sebagai Raja yang menyelamatkan. Dalam konteks nubuat Zefanya, umat Israel baru saja melewati masa-masa penghukuman dan ancaman karena dosa mereka. Namun, di sini, yang disampaikan adalah pesan pengharapan: Allah tidak meninggalkan umat-Nya dalam penderitaan. Dia menyatakan diriNya sebagai penghibur dan pemulih.
Craigie (“The Twelve Prophets,” 1985) menyoroti, teks ini menunjukkan Allah yang melampaui penghukuman; Dia adalah Allah yang berinisiatif membarui hubungan-Nya dengan manusia. Menariknya, frasa “Ia bersukacita karena engkau dengan sorak-sorai” (ay. 17) mengungkapkan dimensi emosional kasih Allah, yang jarang ditemukan dalam teks Perjanjian Lama. Ini adalah gambaran Allah yang bukan hanya hakim, tetapi juga Bapa yang penuh kasih.
Zefanya mengingatkan kita bahwa sukacita sejati bersumber dari kehadiran Allah di tengah kita, bukan dari keadaan eksternal. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita mencari kebahagiaan pada hal-hal yang sementara. Namun, Allah mengundang kita untuk menemukan sukacita yang kekal dalam hadirat-Nya.
Surat Paulus kepada jemaat Filipi juga bernada sukacita meskipun ia sedang dalam penjara. “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan!” adalah seruan yang mencerminkan iman Paulus yang kokoh akan kehadiran dan pemeliharaan Tuhan, meski dia mengalami kesulitan hidup.
Jerome Murphy-O’Connor (“Paul: A Critical Life,” 1996) menjelaskan bahwa ajakan Paulus untuk bersukacita merupakan tanggapan atas keyakinan bahwa Tuhan begitu dekat (“Tuhan sudah dekat,” ay. 5). Sukacita ini bukanlah emosi yang dangkal, tetapi buah dari iman yang matang dan kedamaian yang melampaui pengertian manusia (ay. 7).
Paulus juga mengingatkan kita untuk tidak khawatir tentang apa pun, melainkan agar kita menyerahkan segala sesuatu pada Tuhan dalam doa dan permohonan. Santo Ignatius Loyola menyebutkan ada kondisi dimana kita mengalami konsolasi (hiburan rohani) yang hanya bisa diberikan oleh Allah. (“Consolation without Cause,” Spiritual Exercises, 1548). Konsolasi ini salah satunya ditandai dengan rasa damai. Kedamaian inilah yang melindungi hati dan pikiran kita dari kecemasan duniawi.
Bagi kita, ini adalah panggilan untuk menjalani hidup dengan keyakinan akan kehadiran Tuhan yang setia. Sukacita dan damai yang ditawarkan Allah melampaui apa pun yang dapat diberikan dunia ini.
Dalam Injil Lukas, kita mendengar seruan Yohanes Pembaptis untuk bertobat dan menghasilkan buah-buah yang sesuai dengan pertobatan. Ketika orang banyak bertanya, “Apa yang harus kami perbuat?” Yohanes memberikan jawaban konkret: berbagi dengan yang kekurangan, berlaku adil, dan tidak menyalahgunakan kuasa.
R.T. France dalam The Gospel of Luke (2002) mencatat bahwa pesan Yohanes bukan sekadar seruan moral, tetapi ajakan untuk hidup sesuai nilai-nilai Kerajaan Allah. Ia bicara kepada berbagai kelompok masyarakat – orang banyak, pemungut cukai, dan tentara – menunjukkan bahwa pertobatan harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang kontekstual.
Namun, Yohanes tidak mengklaim diri sebagai Mesias. Ia menunjukkan kepada Yesus, “Dia yang lebih berkuasa daripadaku… akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api” (ay. 16). Ini adalah pengingat bahwa pertobatan bukanlah akhir dari perjalanan rohani, melainkan awal dari kehidupan yang dipimpin oleh Roh Kudus.
Bagi kita, pertanyaan “Apa yang harus kami perbuat?” tetap relevan. Kita dipanggil untuk mengevaluasi hidup kita – apakah tindakan kita mencerminkan kasih dan keadilan Allah? Apakah kita berbagi dengan yang membutuhkan? Apakah kita menjalani hidup dengan integritas?
Ketiga bacaan ini memberikan sebuah peta rohani yang lengkap. Dari Zefanya, kita belajar bahwa Allah memulihkan dan bersukacita atas umat-Nya. Dari Filipi, kita menemukan sumber sukacita sejati dalam kedekatan Tuhan. Dan dari Lukas, kita diingatkan bahwa sukacita dan damai hanya dapat diraih melalui pertobatan dan transformasi hidup.
Henri Nouwen dalam “Life of the Beloved” (1992) pernah berkata, sukacita sejati ditemukan dalam relasi yang mendalam dengan Allah, bukan dalam pencapaian atau kesenangan duniawi. Karena itu, bacaan-bacaan ini mengundang kita untuk masuk lebih dalam ke dalam relasi itu, bersukacita dalam kasih-Nya, dan menjadi saksi hidup dari kebaikan-Nya.
Rekan-rekan, minggu ini, mari kita merenungkan kembali bagaimana kita menjalani hidup di tengah dunia yang penuh tantangan. Apakah kita menemukan sukacita dalam kehadiran Allah? Apakah hidup kita menghasilkan buah-buah pertobatan? Dengan mengikuti undangan ketiga bacaan ini, kita dipanggil untuk bersukacita, hidup dalam damai, dan menjadi terang bagi sesama.
Daftar Pustaka
- Craigie, Peter C. “The Twelve Prophets.” Westminster John Knox Press, 1985.
- Murphy-O’Connor, Jerome. “Paul: A Critical Life.” Clarendon Press, 1996.
- France, R.T. “The Gospel of Luke.” Eerdmans, 2002.
- Nouwen, Henri. “Life of the Beloved: Spiritual Living in a Secular World.” Crossroad, 1992.