21 Desember 2024, Sebuah Refleksi di Hari Santo Petrus Kanisius
Angin dingin musim semi Palestina membawa aroma harapan ketika Kidung Agung 2:8-14 menggambarkan kehadiran Sang Kekasih yang melompat-lompat mendekati sang mempelai. “Lihatlah, kekasihku datang, melompat-lompat di atas gunung-gunung,” tulis pengarang Kidung Agung, menyulam bahasa cinta yang begitu dalam dan transenden. Cinta yang melampaui rintangan, menggambarkan Allah yang mendekat, hadir dengan kehangatan yang memulihkan.
Narasi ini bergaung dalam Injil Lukas 1:39-45, di mana Maria yang telah menerima kabar sukacita dari Malaikat Gabriel segera bergegas menuju Elisabet. Tindakan Maria bukan sekadar ziarah keluarga, melainkan simbol cinta yang melompat mendekati yang lain, melintasi bukit-bukit Yudea, membawa Kristus yang hidup di rahimnya. Pertemuan dua perempuan ini menjadi perjumpaan Ilahi yang membawa sukacita. Yohanes dalam rahim Elisabet melompat-lompat kegirangan, menyaksikan cinta Allah yang menyentuh dunia dalam rupa manusia.
Hari ini, saat Gereja merayakan Santo Petrus Kanisius, kita diundang untuk melihat bagaimana cinta yang melompat-lompat ini juga hadir dalam hidup seorang teolog dan pengkhotbah yang berjuang di tengah Eropa yang bergolak oleh Reformasi. Petrus Kanisius, dengan komitmen tanpa batas, melampaui tantangan zamannya untuk membawa kabar sukacita kepada umat yang terluka. Dalam karya-karyanya, terutama Catechismus Minor (1555), ia membawa pesan cinta Allah yang menghidupkan, berbicara dengan bahasa yang bisa dimengerti, dan menjangkau setiap hati yang mencari.
Teolog kontemporer seperti Hans Urs von Balthasar dalam Theo-Drama: Theological Dramatic Theory (1988) menggambarkan momen perjumpaan Ilahi ini sebagai “drama cinta” di mana Allah selalu memulai, memanggil, dan melompat mendekati manusia. Sementara itu, Scott Hahn dalam Joy to the World: How Christ’s Coming Changed Everything (and Still Does) (2014) menggarisbawahi bagaimana peran Maria dalam kunjungannya ke Elisabet adalah contoh konkret bagaimana cinta ilahi menggerakkan manusia untuk bertindak. Cinta tidak pernah statis, melainkan dinamis, melintasi gunung, menyentuh yang lain, dan membawa sukacita.
Bagi Petrus Kanisius, cinta ini terwujud dalam misinya mendidik umat, menciptakan dialog antara Gereja Katolik dan kelompok Reformasi, serta menjadikan setiap tindakannya sebagai jawaban atas panggilan Ilahi. Ia adalah gambaran modern dari Maria, yang tidak menyimpan Kristus untuk dirinya sendiri tetapi membawanya kepada dunia.
Dalam merenungkan Kidung Agung dan Injil Lukas di bawah naungan perayaan Santo Petrus Kanisius, kita diajak untuk menjawab panggilan cinta Allah yang melompat mendekati kita. Seperti Maria, seperti Elisabet, dan seperti Petrus Kanisius, kita dipanggil untuk membawa Kristus kepada dunia dengan langkah yang penuh sukacita.
Daftar Pustaka
- Balthasar, Hans Urs von. Theo-Drama: Theological Dramatic Theory. San Francisco: Ignatius Press, 1988.
- Hahn, Scott. Joy to the World: How Christ’s Coming Changed Everything (and Still Does). New York: Image, 2014.
- McGrath, Alister E. Historical Theology: An Introduction to the History of Christian Thought. Oxford: Wiley-Blackwell, 2013.
- Hardon, John A. The Catholic Catechism: A Contemporary Catechism of the Teachings of the Catholic Church. Garden City: Doubleday, 1975.