22 Desember 2024
Di tengah dunia yang penuh pergumulan, bacaan dari Mikha 5:1-4a dan Ibrani 10:5-10 membawa kita merenungkan janji Allah yang terpenuhi dalam Yesus Kristus. Mikha menggambarkan sebuah pengharapan yang muncul dari tempat kecil, Betlehem, tempat kelahiran Sang Mesias. Dalam ketenangan dan keheningan tanah yang tidak terkenal ini, Allah memilih untuk memulai sebuah karya besar. Seperti embun yang menyegarkan bumi, kehadiran Sang Gembala dari Betlehem membawa pembaruan bagi Israel dan seluruh dunia.
Nubuat Mikha menyampaikan visi tentang pemimpin yang datang bukan untuk menaklukkan dengan kekuatan, tetapi untuk menggembalakan umat-Nya dalam damai. Ayat ini menjadi dasar harapan akan Yesus, Sang Raja Damai, yang hadir bukan dengan parade kekuasaan tetapi dengan kerendahan hati yang menembus batas waktu dan ruang. Franz Delitzsch, dalam Commentary on the Old Testament (1875), menyoroti bagaimana tema ini menunjukkan kesetiaan Allah pada janji-janji-Nya, bahkan melalui saluran yang paling tak terduga. Betlehem adalah simbol bahwa Allah bekerja melalui yang kecil dan lemah untuk menghadirkan keselamatan yang besar.
Sementara itu, dalam Ibrani 10:5-10, kita diajak melihat ke dalam inti karya penebusan Kristus. Penulis Surat Ibrani mengutip Mazmur 40 untuk menunjukkan bahwa Allah lebih menginginkan ketaatan daripada korban bakaran. Karya Yesus adalah penggenapan kehendak Allah yang membawa manusia kembali kepada-Nya. Dalam hal ini, tafsir William Lane dalam Hebrews: A Call to Commitment (1991) menegaskan bahwa Yesus adalah model ketaatan sempurna yang mengatasi sistem kurban lama. Dengan tubuh-Nya yang dikorbankan sekali untuk selamanya, Yesus menjadi jalan baru menuju keselamatan yang tidak lagi bergantung pada ritus-ritus manusia, tetapi pada kasih karunia Allah yang sempurna.
Perikop Injil dalam Lukas 1:39-45 menempatkan kita dalam perjumpaan yang penuh haru antara Maria dan Elisabet. Dalam kunjungan ini, Elisabet mengakui kehadiran ilahi dalam kandungan Maria, dan janji Allah yang dinubuatkan Mikha mulai menemukan bentuknya. Ketika Elisabet menyapa Maria, kita mendengar gema sukacita dari seluruh sejarah penantian umat Allah. Dalam The Birth of the Messiah (1977), Raymond Brown menjelaskan bahwa perjumpaan ini melambangkan pertemuan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, di mana pengharapan umat Israel bertemu dengan kepenuhan janji Allah dalam Kristus.
Maria, yang membawa Yesus dalam rahimnya, menjadi gambaran indah bagaimana Allah bekerja melalui manusia untuk menggenapi rencana-Nya. Ia menjadi “Tabut Perjanjian” baru, membawa kehadiran Allah ke dalam dunia. Dalam saat-saat seperti itu, Maria menunjukkan kerendahan hati dan kesediaan untuk berkata, “Ya,” pada panggilan Allah. Sukacita Elisabet adalah sukacita dunia yang menyambut Allah yang datang untuk tinggal di tengah umat-Nya.
Mikha, Surat Ibrani, dan Injil Lukas saling melengkapi dalam memperlihatkan karya besar Allah yang hadir dalam keseharian. Allah yang memulai segala sesuatu dari tempat kecil seperti Betlehem, mengorbankan diri-Nya di kayu salib, dan hadir dalam rahim Maria, adalah Allah yang bekerja dalam detail hidup kita. Sebagaimana Maria dan Elisabet menyambut kehadiran Allah dengan sukacita, kita pun dipanggil untuk membuka hati, membiarkan karya Allah terwujud dalam hidup kita.
Kehadiran Allah bukan sekadar janji, melainkan kenyataan yang mengubah dunia. Dalam perjalanan iman ini, kita diundang untuk menemukan Allah dalam yang kecil, sederhana, dan bahkan tak terduga. Kita dipanggil untuk menjadi pembawa damai dan sukacita, seperti Maria yang membawa Kristus kepada Elisabet, atau seperti Yesus yang mengorbankan diri-Nya untuk keselamatan kita semua.
Daftar Pustaka
- Brown, Raymond E. The Birth of the Messiah: A Commentary on the Infancy Narratives in Matthew and Luke. Garden City, NY: Doubleday, 1977.
- Delitzsch, Franz. Commentary on the Old Testament. Edinburgh: T & T Clark, 1875.
- Lane, William L. Hebrews: A Call to Commitment. Dallas: Word Books, 1991.