24 Desember 2024
Di dalam keremangan sejarah yang penuh pergulatan, di bawah bayangan kuil yang belum berdiri, seorang raja duduk di istananya, hatinya penuh dengan impian tentang keabadian. Daud, sang gembala yang diangkat menjadi raja, kini memandang tembok-tembok megah di sekelilingnya, tembok yang ia bangun bukan untuk dirinya tetapi untuk sebuah bangsa yang diikat oleh perjanjian ilahi. Namun, dalam kerendahan hatinya, ia bertanya: “Mengapa aku tinggal dalam rumah dari kayu aras, sementara tabut Allah berdiam dalam kemah?”
Pertanyaan itu, sederhana namun dalam, mengetuk gerbang surga. Dan Allah, yang sejak dahulu kala bersemayam di antara umat-Nya, menjawab bukan dengan perintah tetapi dengan janji. Melalui nabi-Nya, Natan, Allah berbicara kepada Daud, bukan sekadar sebagai Raja semesta tetapi sebagai Bapa yang mengasihi anak-anak-Nya. “Akulah yang akan membangun rumah bagimu,” firman-Nya. “Kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya.”
Janji ini bukan sekadar kata-kata yang tertulis di atas batu; ia adalah gema dari kasih setia yang tak tergoyahkan. Dalam tafsiran Walter Brueggemann, janji ini adalah fondasi kerajaan Allah yang melampaui dimensi politik dan sejarah, membawa Israel kepada panggilan sejati mereka: menjadi bangsa yang mencerminkan kasih Allah kepada dunia. Janji kepada Daud adalah janji kepada umat manusia—bahwa di dalam cinta, Allah berdiam selamanya.
Berabad-abad kemudian, di sebuah sudut kecil di Yehuda, janji itu menemukan nyanyiannya. Di rumah Zakharia, seorang imam tua yang telah lama membisu, suara kembali bergema. Yohanes, anaknya, baru saja dilahirkan, dan mulut Zakharia yang selama sembilan bulan terkunci kini terbuka, mengalirkan kata-kata yang tidak berasal dari dirinya tetapi dari Roh Kudus. “Terpujilah Tuhan, Allah Israel,” katanya, suaranya penuh dengan keagungan yang hanya dapat ditemukan oleh mereka yang melihat janji Allah menjadi nyata.
Dalam nyanyian itu, Zakharia menelusuri jalan kenangan umatnya, dari perjanjian dengan Abraham hingga keselamatan yang kini menjelang. Raymond E. Brown menyebut nyanyian ini sebagai “peta iman,” yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan. Zakharia memahami bahwa Allah telah mengunjungi umat-Nya, membawa terang kepada mereka yang hidup dalam kegelapan, menuntun langkah kaki mereka kepada jalan damai. Dalam terang itu, janji kepada Daud bersinar lebih terang dari sebelumnya, mengungkapkan kerajaan Allah bukan sebagai takhta duniawi tetapi sebagai cinta yang tak terbatas.
Namun, nyanyian ini juga adalah panggilan. Yohanes, anak dari Zakharia dan Elisabet, akan menjadi suara yang menyerukan pertobatan, membuka jalan bagi Mesias yang dijanjikan. Hans Urs von Balthasar dalam Theo-Drama menulis bahwa setiap janji Allah selalu melibatkan manusia sebagai mitra dalam drama ilahi. Yohanes bukan hanya seorang nabi; ia adalah utusan yang mempersiapkan umat manusia untuk memahami cinta yang datang dalam bentuk seorang bayi di palungan.
Bagi kita yang hidup di dunia modern, cerita ini bukanlah kisah usang dari zaman dahulu. Ia adalah kisah kita sendiri, karena janji yang diberikan kepada Daud dan dinyanyikan oleh Zakharia tetap hidup dalam setiap langkah iman kita. Di tengah kebisingan dunia, suara janji Allah tetap bergema, mengingatkan bahwa di balik setiap kesedihan dan keraguan, ada sebuah kerajaan yang takkan runtuh, berdiri teguh di atas dasar cinta.
Daud duduk di istananya, mata memandang ke kejauhan. Zakharia berdiri di depan anaknya, suaranya menggema di rumah yang kecil. Dan kita, di tempat kita masing-masing, menemukan diri kita di antara keduanya, di antara janji dan penggenapan. Mereka berbicara kepada kita, tidak dengan bahasa asing tetapi dengan bahasa kasih yang universal: Allah adalah setia, dan di dalam-Nya, terang selalu menang melawan gelap.
Daftar Pustaka
- Brueggemann, Walter. First and Second Samuel. Louisville: Westminster John Knox Press, 1990.
- Brown, Raymond E. The Birth of the Messiah: A Commentary on the Infancy Narratives in Matthew and Luke. New York: Doubleday, 1993.
- Balthasar, Hans Urs von. Theo-Drama: Theological Dramatic Theory, Vol. II: Dramatis Personae. San Francisco: Ignatius Press, 1988.