Senin, 13 Januari 2025 – Panggilan Sang Sabda yang Menghidupkan
Dalam sejarah penyelamatan, Allah tidak pernah berhenti berbicara kepada manusia. Surat kepada orang Ibrani memulai dengan penggambaran yang menawan tentang bagaimana Allah yang kekal dan transenden memilih menyatakan diri-Nya dalam sejarah. “Pada zaman dahulu Allah berulang kali berbicara kepada nenek moyang kita melalui para nabi dalam berbagai cara,” demikian sabda Ibrani (Ibr 1:1). Namun, puncak pewahyuan itu hadir dalam Sang Putra, “yang adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud-Nya.” Kehadiran Yesus tidak hanya menggenapi nubuat tetapi juga memperkenalkan dimensi baru: Allah yang mendekati kita dengan kasih yang nyata dan personal.
Sementara itu, Injil Markus mengisahkan awal pelayanan Yesus dengan sederhana tetapi penuh makna. “Waktunya telah genap,” kata Yesus, “Kerajaan Allah sudah dekat; bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1:15). Seruan ini bukan sekadar ajakan, melainkan panggilan untuk meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Dia, seperti yang dilakukan Simon, Andreas, Yakobus, dan Yohanes. Mereka bukan hanya meninggalkan jala dan pekerjaan mereka, tetapi seluruh tatanan hidup yang lama. Panggilan Yesus adalah perjumpaan yang menuntut totalitas tanggapan.
Dalam perenungan mendalam, kedua teks ini mengungkapkan tema utama: Allah yang menyatakan diri-Nya secara penuh melalui Kristus mengundang manusia untuk mengalami transformasi hidup. Raymond E. Brown, dalam bukunya An Introduction to the New Testament (1997), menjelaskan bahwa Ibr 1:1-6 menempatkan Kristus sebagai pewahyuan sempurna yang mengatasi semua komunikasi ilahi sebelumnya. Kristus bukan hanya pembawa pesan; Dia adalah pesan itu sendiri. Hal ini menuntut pengikut-Nya untuk membuka diri terhadap kehadiran Allah yang dinamis dan penuh kasih.
Senada dengan itu, Ched Myers dalam Binding the Strong Man (1988) melihat panggilan murid pertama dalam Markus sebagai tindakan radikal yang mengguncang struktur sosial. Menjadi pengikut Yesus berarti masuk ke dalam suatu komunitas baru yang dibentuk oleh nilai-nilai Kerajaan Allah: kasih, keadilan, dan solidaritas. Respons mereka tidak datang dari pemahaman teologis yang sempurna, melainkan dari daya tarik pribadi Yesus yang mengubah hati mereka.
Namun, apa makna dari teks-teks ini bagi kita hari ini? Dalam dunia yang sering kali bising dan penuh distraksi, suara Allah tetap bergema, memanggil kita melalui Firman-Nya yang hidup, peristiwa-peristiwa sehari-hari, dan keheningan doa. Seperti para murid yang meninggalkan jala mereka, kita diajak untuk meninggalkan “jala” modern kita: egoisme, kelekatan berlebihan pada materi, dan kekhawatiran akan masa depan.
Dietrich Bonhoeffer, dalam karya klasiknya The Cost of Discipleship (1937), menegaskan bahwa mengikuti Kristus adalah panggilan menuju salib. Menjadi murid berarti bersedia menyerahkan kenyamanan dan keamanan demi kasih yang melayani. Hal ini menjadi relevan dalam kehidupan kita yang sering kali terpaku pada zona nyaman.
Melalui Ibr 1:1-6 dan Mrk 1:14-20, kita diingatkan bahwa Allah memanggil kita setiap hari untuk menjadi bagian dari karya penyelamatan-Nya. Kita mungkin tidak diminta meninggalkan pekerjaan seperti Simon dan Andreas, tetapi kita diajak untuk menghadirkan Kerajaan Allah di mana pun kita berada. Inilah panggilan Sang Sabda yang menghidupkan—panggilan untuk menjadi terang di dunia yang penuh bayang-bayang.
Daftar Pustaka:
- Brown, Raymond E. An Introduction to the New Testament. New York: Doubleday, 1997.
- Myers, Ched. Binding the Strong Man: A Political Reading of Mark’s Story of Jesus. Maryknoll: Orbis Books, 1988.
- Bonhoeffer, Dietrich. The Cost of Discipleship. New York: Touchstone, 1937.