Senin, 27 Januari 2025
Di suatu sore yang tenang, ketika matahari mulai tenggelam dan dunia perlahan tertutup selimut malam, hati saya tergugah oleh bacaan dari Ibrani 9:15, 24-28 dan Markus 3:22-30. Keduanya, seperti dua pintu besar, mengundang saya masuk ke dalam ruang misteri yang penuh keagungan dan kasih Allah. Saat membaca, saya merasa seperti seorang peziarah yang melangkah mendekati puncak gunung, semakin dekat kepada sumber terang yang tak terlukiskan.
Surat kepada orang Ibrani menghadirkan Kristus dengan penuh kemuliaan. Ia digambarkan sebagai Pengantara Perjanjian Baru, yang tidak hanya membawa janji keselamatan tetapi juga mewujudkan keselamatan itu sendiri melalui pengorbanan-Nya. Dalam setiap kata, saya dapat merasakan beratnya tugas ini, namun juga keagungan kasih yang melandasinya. Penulis surat ini dengan cermat menggambarkan bagaimana Kristus memasuki tempat kudus yang sejati, bukan buatan tangan manusia, melainkan langsung ke hadirat Allah. Ia tidak datang untuk mempersembahkan darah binatang, melainkan darah-Nya sendiri, yang menandai akhir dari pengorbanan ritual dan awal dari pembaruan hubungan manusia dengan Allah.
George Guthrie dalam Hebrews: An Exegetical and Theological Exposition (1998) menulis bahwa momen ini adalah titik balik dalam sejarah iman. Kristus bukan hanya imam besar, tetapi juga korban sempurna. Ia menjembatani jurang yang begitu luas antara Allah yang kudus dan manusia yang penuh dosa. Dalam hati saya, gambaran ini terasa seperti jembatan yang kokoh, terbuat dari cinta yang abadi, menghubungkan sisi-sisi kehidupan yang sebelumnya terpisah oleh dosa dan ketakutan.
Kemudian, Injil Markus membawa kita ke suasana yang sama sekali berbeda. Di sini, Yesus, yang telah menunjukkan kuasa-Nya melalui mukjizat dan pengusiran roh jahat, menghadapi tuduhan yang menyakitkan. Para ahli Taurat, dengan penuh kesombongan, menuduh-Nya bekerja dengan kuasa Beelzebul. Dalam keheningan narasi ini, saya dapat merasakan kepedihan Yesus—tidak karena tuduhan itu melukai martabat-Nya, tetapi karena tuduhan itu mencerminkan hati manusia yang keras, buta terhadap kebenaran yang berada di depan mata mereka.
Yesus, dalam kebijaksanaan-Nya yang tenang, tidak membalas dengan amarah. Sebaliknya, Ia berbicara dengan perumpamaan yang sederhana namun penuh daya. “Bagaimana mungkin Setan mengusir Setan?” kata-Nya. Jawaban ini seperti cahaya yang menembus kabut, mengungkapkan logika yang tak terbantahkan. Kerajaan yang terpecah, kata Yesus, tidak akan pernah bertahan. Di sini, saya melihat Yesus bukan hanya sebagai guru, tetapi sebagai pembawa terang yang sabar, mencoba membuka mata mereka yang terbutakan oleh prasangka dan ketakutan.
Dalam tulisannya, N.T. Wright dalam Jesus and the Victory of God (1996) mencatat bahwa tuduhan terhadap Yesus mencerminkan perjuangan antara Kerajaan Allah dan kekuatan kegelapan. Tetapi Wright juga menegaskan bahwa melalui respons-Nya, Yesus menunjukkan bahwa Kerajaan Allah bukanlah tentang kekuasaan yang memecah belah, melainkan kasih yang menyatukan. Melalui bacaan ini, hati saya digugah oleh ketegangan yang terus-menerus ada dalam hidup manusia: ketegangan antara menolak terang atau menerima dan membiarkannya mengubah segalanya.
Dua bacaan ini berbicara tentang kuasa kasih yang menyelamatkan dan pengampunan yang melampaui segala dosa. Namun, Markus juga memberikan peringatan yang menggema di hati: penghujatan terhadap Roh Kudus adalah dosa yang tak terampuni. Bukan karena Allah kurang murah hati, tetapi karena hati yang terus-menerus menolak karya-Nya tidak akan pernah mampu menerima kasih yang menyelamatkan itu. Tafsir William Lane dalam The Gospel According to Mark (1974) menjelaskan bahwa penghujatan ini bukan sekadar ucapan, tetapi suatu sikap hati yang mengeraskan diri terhadap kebenaran.
Merenungkan ini, saya bertanya-tanya: berapa kali kita, dalam kekerasan hati kita, gagal melihat karya Allah di sekitar kita? Berapa kali kita memilih untuk tetap tinggal dalam kegelapan, alih-alih membiarkan terang kasih Allah memancar dalam hidup kita?
Di dunia yang penuh dengan tuduhan, prasangka, dan perpecahan, kedua bacaan ini menawarkan harapan. Kristus, Pengantara kita, telah membuka jalan kepada Bapa. Ia mengundang kita untuk mendekat dengan iman, menerima pengampunan, dan hidup dalam terang kasih-Nya. Pada saat yang sama, Yesus mengingatkan kita bahwa Kerajaan Allah tidak dapat dibangun di atas kebencian atau kepicikan, melainkan hanya dengan kasih yang mempersatukan.
Saat saya menutup kitab suci, hati saya dipenuhi rasa syukur. Dalam bacaan ini, saya menemukan bukan hanya pengajaran, tetapi undangan untuk hidup dalam damai, untuk menyerahkan hati kepada kasih yang membebaskan. Kristus adalah jalan, kebenaran, dan hidup. Melalui-Nya, kita diundang untuk tidak hanya percaya, tetapi juga berjalan bersama-Nya menuju hidup yang kekal.
Daftar Pustaka
- Guthrie, George. Hebrews: An Exegetical and Theological Exposition. Broadman & Holman, 1998.
- Lane, William. The Gospel According to Mark. Eerdmans, 1974.
- Wright, N.T. Jesus and the Victory of God. Fortress Press, 1996.