Rabu, 29 Januari 2025
Dalam perjalanan iman, dua bacaan suci dari Ibrani 10:11-18 dan Markus 4:1-20 menuntun kita untuk merenungkan makna pengorbanan dan panggilan hidup yang berbuah. Kedua teks ini, meskipun hadir dalam konteks berbeda, berkelindan dalam narasi besar tentang kasih Allah yang tanpa batas dan undangan untuk merespons rahmat-Nya dengan kehidupan yang bermakna.
Surat kepada orang Ibrani berbicara tentang Kristus sebagai Imam Agung yang sempurna, yang mempersembahkan diri-Nya sekali untuk selama-lamanya. Ayat 14 menggemakan sebuah keyakinan teologis yang mendalam: “Sebab oleh satu korban saja Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang Ia kuduskan.” Di sinilah letak keunikan iman Kristen—pengampunan dosa bukan lagi sebuah ritual yang harus diulang-ulang, melainkan anugerah abadi yang diberikan melalui karya salib Kristus. Menurut William Lane dalam Hebrews: A Call to Commitment (1991), bagian ini menegaskan keunggulan pengorbanan Kristus di atas segala sistem keimamatan sebelumnya. Kristus tidak hanya mempersembahkan korban, tetapi Dia sendiri adalah korban itu—lambang kasih ilahi yang sempurna.
Namun, pengampunan ini bukanlah akhir cerita, melainkan awal dari panggilan hidup yang baru. Markus 4:1-20, dalam perumpamaan tentang penabur, mengingatkan kita bahwa rahmat Allah adalah benih yang ditaburkan dalam hati manusia. Setiap tanah menggambarkan respons yang berbeda terhadap firman Tuhan. Ada tanah berbatu, tanah semak duri, dan tanah subur. Dalam refleksi ini, kita diajak untuk bertanya: tanah manakah hati kita?
James R. Edwards dalam The Gospel According to Mark (2002) menyoroti bahwa perumpamaan ini adalah cermin kehidupan manusia. Setiap individu memiliki momen di mana ia menjadi tanah berbatu—ketika cobaan hidup mengguncang imannya, atau tanah berduri—saat kekayaan dan kekhawatiran dunia menyesakkan pertumbuhan rohaninya. Tetapi Allah, Sang Penabur, tidak pernah berhenti berharap. Benih itu terus ditaburkan, menantikan tanah yang siap berbuah.
Paduan dua bacaan ini menggambarkan keseimbangan antara rahmat Allah yang tak bersyarat dan tanggung jawab manusia untuk menerima dan mengolahnya. Pengorbanan Kristus dalam Ibrani 10 adalah bukti bahwa kasih Allah mencakup semua manusia, tanpa kecuali. Tetapi Markus 4 mengingatkan bahwa kasih ini perlu direspons dengan iman yang aktif, yang bertumbuh dan berbuah dalam kehidupan sehari-hari.
Teolog Karl Rahner pernah berkata, “Kasih karunia Allah selalu datang sebagai undangan, bukan paksaan.” Refleksi ini menjadi relevan dalam kehidupan kita yang sering kali dipenuhi dengan hiruk pikuk duniawi. Kita mungkin merasa sulit menjadi tanah subur, tetapi bacaan ini membawa harapan: Allah selalu menaburkan benih kasih-Nya, memberi kesempatan baru bagi kita untuk berbuah.
Dalam iman, kita diajak untuk tidak hanya menjadi penerima rahmat, tetapi juga pelaku firman. Hidup kita adalah ladang yang seharusnya menghasilkan buah yang melimpah, tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitar kita. Inilah panggilan hidup Kristen—menjadi saksi kasih Allah melalui tindakan nyata.
Pada akhirnya, dua bacaan ini menyatukan pesan tentang pengampunan dan tanggung jawab. Pengorbanan Kristus adalah dasar dari segala pengharapan, sedangkan respons kita menentukan sejauh mana hidup kita mencerminkan kasih Allah. Seperti tanah yang subur, biarlah hidup kita menjadi ruang di mana benih firman Tuhan bertumbuh, menghasilkan buah yang memperkaya dunia dan memuliakan nama-Nya.
Daftar Pustaka
- Edwards, James R. The Gospel According to Mark. Grand Rapids: Eerdmans, 2002.
- Lane, William L. Hebrews: A Call to Commitment. Vancouver: Regent College Publishing, 1991.
- Rahner, Karl. Foundations of Christian Faith. New York: Crossroad, 1987.