Jumat, 7 Februari 2025 – Cahaya Kasih dan Bayang-bayang Kekuasaan
Di sebuah kota yang penuh hiruk-pikuk, seorang lelaki tua duduk di sudut jalan. Tatapannya tajam, meskipun wajahnya dihiasi garis-garis waktu. Ia adalah seorang pengembara rohani, membawa pesan yang telah bertahan ribuan tahun: kasih harus tetap hidup di antara manusia. “Peliharalah kasih persaudaraan,” bisiknya, mengulang kata-kata dari kitab yang ia junjung tinggi (Ibr. 13:1). Di dunia yang semakin membeku oleh egoisme dan kepentingan diri, pesan itu bergetar seperti angin lembut yang ingin merasuk ke hati setiap orang yang mendengar.
Kasih yang sejati tidak hanya untuk mereka yang kita kenal, tetapi juga bagi orang asing, mereka yang terpinggirkan, para tahanan yang terikat, dan jiwa-jiwa yang terluka. Dunia modern sering kali berjalan dengan kecepatan yang membuat kita lupa, tetapi suara dari masa lampau ini meneguhkan bahwa kasih harus menjadi rumah di mana semua orang dapat menemukan kehangatan. Karl Barth dalam Church Dogmatics (1956) mengatakan bahwa kasih Kristus tidak berubah, tidak tergerus zaman, tidak berkurang oleh ketakutan. “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya” (Ibr. 13:8). Ia adalah cahaya yang tak pernah redup.
Namun, di sisi lain perjalanan ini, bayang-bayang gelap juga bergerak. Di istana Herodes, kemegahan dan ketakutan bercampur. Sang raja duduk di tahtanya, dikelilingi oleh kegemerlapan pesta, tetapi hatinya dipenuhi kegalauan. Di dalam penjara yang lembap dan sunyi, Yohanes Pembaptis menunggu nasibnya. Ia adalah suara yang tidak bisa dibungkam, seorang yang berani menegur Herodes atas pernikahannya dengan Herodias. Dan karena suara itu, ia harus membayar dengan nyawanya (Mrk. 6:14-29).
Herodes sejatinya tidak membenci Yohanes. Bahkan, ia menikmati mendengar ajaran-ajaran sang nabi. Tetapi kekuasaan sering kali menuntut harga yang mahal—dan ketakutan lebih kuat dari keberanian. Pada malam pesta itu, ketika seorang gadis menari dengan keanggunan yang memikat, sebuah janji terucap. “Apa saja yang kau minta, akan kuberikan kepadamu,” kata Herodes. Dan ketika permintaan kepala Yohanes Pembaptis muncul, wajahnya berubah pucat. Ia terjebak dalam kata-katanya sendiri, terbelenggu oleh gengsi dan tekanan politik.
Raymond E. Brown dalam The Death of the Messiah (1994) menafsirkan momen ini sebagai tragedi klasik kekuasaan yang korup: kebenaran ditekan, bukan karena dibenci, tetapi karena menantang status quo. Yohanes tidak melawan dengan pedang, tetapi dengan kebenaran yang tajam. Namun, kekuasaan dunia tidak selalu siap menghadapi cermin kejujuran.
Seperti dua sisi mata uang, kasih dan ketakutan berdiri berseberangan. Di satu sisi, ada panggilan untuk hidup dalam kasih yang penuh keberanian. Di sisi lain, ada bayang-bayang kekuasaan yang goyah karena ketidakpastian. Dalam dunia kita saat ini, pertanyaan itu masih relevan: apakah kita akan memilih untuk hidup dalam kasih yang setia, meski harus menghadapi konsekuensi berat? Ataukah kita akan tunduk pada tekanan dan ketakutan seperti Herodes, yang kehilangan kendali atas nuraninya sendiri?
Dietrich Bonhoeffer dalam The Cost of Discipleship (1937) menegaskan bahwa menjadi murid Kristus adalah panggilan untuk berani, bahkan jika itu berarti menghadapi kematian. Yohanes Pembaptis telah membuktikannya. Dan kini, giliran kita untuk memutuskan di mana kita akan berdiri.
Daftar Pustaka:
- Barth, Karl. Church Dogmatics. T&T Clark, 1956.
- Bonhoeffer, Dietrich. The Cost of Discipleship. SCM Press, 1937.
- Brown, Raymond E. The Death of the Messiah. Yale University Press, 1994.