Pendahuluan
Bayangkan seseorang mengalami kedamaian setelah menjalani aktivitas religius yang hening. Di tengah ketenangan batin, ia bisa merasakan keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri atau dunia ini. Apakah pengalaman ini hanya ilusi? Sains menjawab, tidak. Richard Davidson dan Sharon Begley menjelaskan, aktivitas semacam saat teduh atau meditasi memiliki dampak signifikan pada otak, termasuk memperkuat koneksi antar-neuron, menenangkan amygdala—pusat pengendali stres—dan meningkatkan kejernihan berpikir. Laku spiritual seperti ini tidak hanya mengubah pola aktivitas otak, tapi juga meningkatkan kapasitas otak beradaptasi terhadap tekanan dan tantangan hidup (The Emotional Life of Your Brain, New York: Hudson Street Press, 2012).
Tapi, muncul pertanyaan lebih lanjut: apakah pengalaman tersebut hanya hasil kerja otak manusia, semacam efek samping dari mekanisme neural yang terlatih? Atau justru pengalaman ini adalah jendela menuju sesuatu yang lebih besar—realitas transenden yang tak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh materi dan sinapsis belaka? Di sinilah sains dan iman mulai berdialog, keduanya mungkin tak saling bertentangan, melainkan bisa menjadi dua sisi dari pencarian makna yang sama.
Pendekatan ini mengajak kita melihat realitas dari sudut pandang paradoks, di mana rasionalitas dan spiritualitas dapat hidup berdampingan
Mengusulkan Neuropistis dalam Dialektika
Jamak kita dengar perdebatan atau konflik antara sains dan iman. Yang satu menawarkan metode empiris dalam memahami realitas yang dapat diukur dan diulang, yang satunya lagi berakar pada pengalaman subyektif yang tidak dapat sepenuhnya dikuantifikasi. Kedua pendekatan ini tampak seperti dua kutub yang bertolak belakang. Tapi, apakah ketegangan ini harus terus bersifat antagonis? Bisakah percakapan antara sains dan iman memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang eksistensi manusia?
Meski perbedaan antara sains dan iman tampak tajam, bisa saja ada ruang untuk harmoni di antara keduanya. Di tengah perdebatan yang sering kali berujung pada pertentangan, ada peluang bagi pendekatan yang lebih dialogis. Ketegangan ini tidak perlu selalu bersifat antagonis, karena pada dasarnya, baik sains maupun iman sama-sama berusaha menjawab pertanyaan mendasar tentang realitas, dari mana manusia berasal, bagaimana seharusnya ia hidup, dan ke mana ia menuju. Dengan pendekatan yang terbuka, keduanya dapat saling melengkapi dalam memberikan pemahaman yang lebih menyeluruh tentang dunia dan diri kita.
Di sinilah saya mengajukan konsep “neuropistis” sebagai cara melihat neurosains dan spiritualitas. Saya mengambil dari kata Yunani “neûron” (saraf) dan “pistis” (iman), di mana konsep ini ingin memahami keterhubungan antara proses biologis dalam otak dan pengalaman transenden yang sering kali sulit didefinisikan secara ilmiah. Neuropistis hendak menyelidiki bagaimana pengalaman spiritual dapat memiliki dasar neurologis yang terukur. Dengan pengakuan bahwa manusia berada di titik persilangan antara dimensi material dan transenden, konsep ini membuka peluang obrolan antara sains dan iman dalam upaya memperluas wawasan tentang kesadaran dan makna hidup.
Neuropistis tidak hanya menawarkan kerangka konseptual, tetapi juga ruang aplikasi praktis dalam berbagai bidang. Dalam psikologi klinis, pendekatan ini bisa saja digunakan untuk memahami bagaimana iman atau makna hidup dapat memengaruhi kesehatan mental dan membantu proses penyembuhan dari trauma atau stres. Di bidang pendidikan, konsep ini dapat mendorong pendekatan holistik yang mengintegrasikan ketenangan emosional dan kesadaran diri dalam proses pembelajaran. Sementara itu, dalam kebijakan sosial, neuropistis bisa mendukung penyusunan program kesehatan yang lebih inklusif dengan memperhitungkan aspek spiritualitas. Dengan menerima temuan neurosains dan laku spiritualitas, konsep ini mendorong manusia untuk hidup dalam keseimbangan antara rasionalitas dan makna transenden. Neuropistis berbesar hati menyambut wawasan ilmiah tentang mekanisme otak sekaligus melestarikan pengalaman spiritual yang memperelok karakter insani.
Meski menjanjikan, konsep ini memiliki batasan tertentu. Di satu sisi, sains menuntut bukti empiris yang dapat diukur, sementara spiritualitas sering kali bergerak di ranah keyakinan subyektif dan pengalaman batin yang sulit diverifikasi secara ilmiah. Neuropistis menghadapi tantangan dalam menjembatani metode dari dua bidang yang berbeda secara paradigma. Namun, cakupannya cukup luas, termasuk eksplorasi tentang bagaimana praktik spiritual, seperti menyanyi, menari, saat teduh atau meditasi atau doa, dapat mempengaruhi kesehatan mental, pengambilan keputusan, serta kesejahteraan psikologis melalui mekanisme neurologis yang terukur.
Menilik Kerja Otak dan Spiritualitas
Pendekatan neuropistis bertujuan menghubungkan dua dimensi yang tampaknya bertolak belakang: otak sebagai pusat biologis kesadaran dan iman sebagai jalur menuju pengalaman spiritual. Neurosains meneliti mekanisme neural di balik kesadaran, pikiran, dan perilaku, sementara iman lebih berfokus pada makna eksistensial yang kerap melampaui ranah biologis. Meski berangkat dari jalur berbeda, keduanya bertemu dalam pertanyaan mendasar tentang “siapa kita” dan “mengapa kita ada.”
Kemajuan dalam neurosains, dimulai dari temuan Santiago Ramón y Cajal tentang neuron sebagai unit independen dalam otak, semakin diperdalam oleh teknologi seperti MRI dan PET scan. Penelitian menunjukkan aktivitas otak berubah saat seseorang berdoa atau bermeditasi, tetapi misteri kesadaran tetap belum terjawab: apakah kesadaran semata aktivitas sinaptik atau menyimpan dimensi lain?
Dalam diskusi akademik, pandangan beragam tentang kesadaran dan spiritualitas terus berkembang. Steven Pinker menegaskan bahwa kesadaran adalah hasil evolusi jaringan neural. Menurutnya, fenomena seperti meditasi atau doa bermanfaat secara adaptif, mengurangi stres dan memperkuat solidaritas sosial tanpa memerlukan penjelasan supranatural (Pinker, How the Mind Works, 1997). Berbeda dengan Pinker, Mario Beauregard berpendapat bahwa kesadaran melampaui aktivitas neural. Penelitiannya pada pengalaman mendekati kematian (near-death experiences) dan keluar dari tubuh (out-of-body experiences) menunjukkan kesadaran tetap aktif meskipun fungsi otak berhenti. Menurut Beauregard, otak adalah penerima (receiver) kesadaran yang berasal dari realitas transenden (The Spiritual Brain: A Neuroscientist’s Case for the Existence of the Soul, 2007).
Patrick McNamara mengambil posisi moderat antara Pinker dan Beauregard. Ia menegaskan bahwa pengalaman spiritual memiliki dasar biologis, terutama melalui sistem limbik dan lobus temporal, yang berperan dalam regulasi emosi, fokus, dan empati. Meskipun setuju bahwa pengalaman ini memiliki akar evolusi, McNamara menolak gagasan bahwa fenomena tersebut hanyalah efek sampingan neural. Ia berpendapat pengalaman spiritual berkontribusi pada pembentukan moralitas dan makna hidup (The Neuroscience of Religious Experience, 2009).
Selanjutnya, Andrew Newberg dalam How God Changes Your Brain (2009), meneliti pengaruh spiritualitas terhadap otak. Ia menemukan bahwa meditasi dan doa meningkatkan aktivitas di prefrontal cortex—area yang terkait dengan pengendalian diri dan pengambilan keputusan—serta mengurangi aktivitas di lobus parietal, yang menghasilkan perasaan keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Temuan ini sejalan dengan argumen McNamara dan Pinker mengenai fungsi adaptif pengalaman spiritual, meskipun juga membuka ruang bagi interpretasi transenden seperti yang dipertahankan oleh Beauregard.
Dalam keseluruhan percakapan ini, neuropistis menjadi pendekatan yang berikhtiar menjembatani pandangan berbeda. Pinker, McNamara, dan Newberg sepakat bahwa spiritualitas memberikan manfaat biologis dan sosial yang signifikan. Namun, Beauregard tetap mengingatkan bahwa kesadaran mungkin tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh proses otak semata. Perspektif ini memperkaya perdebatan yang terus berkembang mengenai hubungan antara otak, kesadaran, dan spiritualitas. Di sinilah muncul kebutuhan akan pendekatan yang tidak terjebak dalam ekstrem tersebut, pendekatan yang mampu mengintegrasikan fakta dan makna, pengetahuan dan pengalaman eksistensial.
Berpikir Neuropistis
Kebutuhan akan pendekatan neuropistis ini makin terasa, terlebih karena dalam kehidupan modern yang penuh kompleksitas, kita sering kali terjebak dalam dikotomi yang memisahkan antara sains dan iman. Sains dianggap sebagai wilayah fakta, logika, dan empirisme, sementara iman dipandang sebagai ruang keyakinan, nilai, dan misteri. Neuropistis, seperti sempat disebut sebelumnya, hadir sebagai sebuah konsep berpikir yang paradoksikal, menerima sepenuhnya kedalaman neurosains yang objektif tanpa harus menolak keluasan dimensi spiritual. Ia mengajukan kemungkinan bahwa, alih-alih menjadi lawan yang saling meniadakan, sains dan iman adalah dua jalan yang berkelindan, saling melengkapi dalam menjawab pertanyaan besar tentang manusia: siapa kita, dari mana kita berasal, dan mengapa kita ada.
Neurosains perlahan mengungkap rahasia kerja otak manusia, menjelaskan bagaimana impuls listrik dan jaringan saraf di otak membentuk persepsi, emosi, dan perilaku. Ilmu ini membantu kita memahami keterbatasan biologis sekaligus potensi luar biasa dari kesadaran. Namun, kesadaran itu sendiri tetap menjadi teka-teki. Ada hal-hal yang belum dapat sepenuhnya didekati oleh metode ilmiah—momen keheningan ketika seseorang merasa menyatu dengan yang transenden atau dorongan batin yang menuntun manusia mencari makna di tengah penderitaan. Di sinilah neuropistis menawarkan ruang dialog, mengakui bahwa pengalaman spiritual memiliki efek nyata pada otak dan jiwa, tetapi tetap menyisakan misteri yang tak dapat direduksi menjadi sekadar proses material.
Pendekatan ini mengajak kita melihat realitas dari sudut pandang paradoks, di mana rasionalitas dan spiritualitas dapat hidup berdampingan. Neuropistis bukan upaya menjelaskan iman secara ilmiah atau menundukkan sains pada doktrin religius. Sebaliknya, ia adalah undangan untuk menerima bahwa kebenaran memiliki banyak dimensi yang tidak selalu saling bertentangan. Dalam menerima neurosains apa adanya, kita belajar memahami dunia fisik dan pola-pola biologis yang membentuk diri kita. Namun, dalam keterbukaan terhadap iman, kita juga diajak menghargai keagungan misteri yang melampaui pikiran manusia. Hanya dengan cara ini, kita dapat menghadapi kehidupan dengan hati yang terbuka dan pikiran yang tercerahkan.
Neuropistis sebagai Titik Temu
Dengan hadirnya usulan pendekatan neuropistis, percakapan antara sains dan iman tidak lagi perlu dipandang sebagai konflik yang tidak terjembatani. Sebaliknya, keduanya menawarkan perspektif yang saling melengkapi dalam memahami kompleksitas eksistensi manusia. Sains memberikan wawasan empiris tentang bagaimana aktivitas otak berhubungan dengan pengalaman spiritual, sementara iman memperkaya pemahaman ini dengan memberikan makna yang melampaui aspek material. Pengalaman religius, meskipun dapat dijelaskan oleh neurosains, tetap menyimpan kedalaman eksistensial yang hanya bisa dihargai melalui refleksi spiritual.
Dengan demikian, neuropistis menegaskan bahwa kebenaran tidak hanya dapat dicapai melalui data dan pengukuran ilmiah, tetapi juga melalui keterbukaan terhadap pengalaman transenden. Ini bukanlah pilihan antara otak atau jiwa, antara rasionalitas atau keimanan, melainkan sebuah perjalanan menuju harmoni yang mempertemukan keduanya. Melalui pendekatan ini, manusia mampu tidak hanya memahami bagaimana ia bekerja secara biologis, tetapi juga menemukan tujuan yang lebih besar dalam hidupnya, yaitu tujuan yang mengintegrasikan akal dan religiusitas dalam kesatuan yang utuh.
Dengan pendekatan ini, manusia diajak hidup dalam keterbukaan terhadap akal dan iman, terhadak otak dan ekspresi jiwa yang kompleks. Neuropistis tidak hanya membuka jalan bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia sebagai makhluk biologis, tetapi juga sebagai makhluk spiritual yang mencari makna dan tujuan hidup. Ini adalah undangan bagi setiap kita untuk memperdalam kesadaran tentang diri sendiri dan dunia sekitar, sambil terus mencari kebenaran melalui harmoni antara kedua dimensi tersebut.
*Penulis adalah Ketua Komunitas Circles Indonesia
Sulit dipahami tetapi menarik untuk disimak & direnungkan. Terima kasih pak Dimas. Jbu
Luar biasa tulisan ini, dan saya sangat berterima kasih. Sepertinya ini sinkron dengan pemikiran saya tentang manusia dari sudut pandang teologi tentang tubuh (soma) dan jiwa (psike) dan roh (pneuma) dan bagaimana pandangan teologi ini, iman berdialog dengan sain psikologi modern, hipnosis. Saya temukan, bahwa di sub conssius mindkah, neuro dan pistin itu ketemu dan berinteraksi, menghadirkan sebuah kesadaran dengan maknanya termasuk spiritualitas . Terima kasih banyak, menyemangati saya dalam mengeksplorasi ruang sain dan iman untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang manusia. Tuhan berkati. Amin.