Dalam kisah penciptaan Kejadian 1:20-2:4a, kita diajak untuk merenungkan bagaimana Allah menciptakan dunia dengan penuh kasih dan keteraturan. Allah berbicara, dan kehidupan pun hadir—air dipenuhi ikan dan makhluk laut, langit dihiasi burung yang terbang, dan bumi melahirkan hewan serta manusia. Segala sesuatu yang diciptakan itu dinyatakan-Nya baik, bahkan sangat baik. Puncak penciptaan adalah manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, diberi kuasa untuk mengelola bumi dengan tanggung jawab dan kasih. Hari ketujuh menjadi simbol kesempurnaan, saat Allah berhenti dari segala pekerjaan-Nya dan menguduskannya sebagai hari perhentian.
Sementara itu, dalam Markus 7:1-13, Yesus mengkritik kaum Farisi dan ahli Taurat yang lebih mementingkan tradisi buatan manusia dibandingkan hukum Allah yang sejati. Mereka menegur murid-murid Yesus karena tidak melakukan ritual pencucian tangan sebelum makan, tetapi Yesus menyingkap kemunafikan mereka. Ia menegaskan bahwa mereka menggantikan perintah Allah dengan peraturan manusia, menekankan tradisi lebih dari esensi iman itu sendiri. Yesus mengutip Yesaya: “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, tetapi hatinya jauh dari pada-Ku.” (Yes. 29:13). Hal ini mengingatkan bahwa ibadah sejati bukanlah sekadar ritual, tetapi harus muncul dari hati yang benar di hadapan Allah.
Ketika dua bacaan ini direnungkan bersama, kita melihat kontras yang kuat antara kasih penciptaan Allah yang sempurna dan kecenderungan manusia untuk terjebak dalam legalisme yang kaku. Kejadian memperlihatkan bahwa manusia diciptakan dengan martabat ilahi, dipanggil untuk hidup dalam harmoni dengan ciptaan dan Sang Pencipta. Namun, Markus mengingatkan bahwa manusia sering kali lupa pada esensi iman dan lebih memilih aturan-aturan yang tampaknya benar tetapi justru menjauhkan diri dari Allah.
Teolog Walter Brueggemann dalam bukunya “Genesis” (1982) menekankan bahwa narasi penciptaan dalam Kejadian bukan sekadar mitos, tetapi pernyataan teologis yang menekankan relasi antara Allah, manusia, dan ciptaan. Brueggemann melihat bahwa tindakan Allah yang menguduskan hari ketujuh menunjukkan panggilan manusia untuk beristirahat dalam kehadiran-Nya, bukan sekadar bekerja tanpa arah.
Di sisi lain, N.T. Wright dalam “Jesus and the Victory of God” (1996) menyoroti bahwa Yesus menantang sistem keagamaan yang telah kehilangan makna sejatinya. Baginya, ajaran Yesus dalam Markus 7 merupakan panggilan untuk kembali kepada kehendak Allah yang asli, yang menempatkan kasih dan keadilan di atas ritual kosong.
Dengan demikian, refleksi ini mengajak kita untuk merenungkan kembali iman kita: Apakah kita hidup dalam kesadaran akan anugerah penciptaan yang sempurna? Apakah ibadah dan penghayatan iman kita benar-benar berasal dari hati yang rindu pada Allah, ataukah kita terjebak dalam tradisi tanpa makna? Keindahan penciptaan harus sejalan dengan kemurnian hati dalam beribadah. Sebab, pada akhirnya, yang dikehendaki Allah bukan sekadar kepatuhan formalitas, melainkan hati yang sepenuhnya tertuju kepada-Nya.
Daftar Pustaka
- Brueggemann, Walter. Genesis: Interpretation: A Bible Commentary for Teaching and Preaching. Westminster John Knox Press, 1982.
- Wright, N.T. Jesus and the Victory of God. Fortress Press, 1996.
- Childs, Brevard S. Biblical Theology of the Old and New Testaments: Theological Reflection on the Christian Bible. Fortress Press, 1993.
- Dunn, James D.G. Jesus Remembered. Eerdmans, 2003.