Rabu, 12 Februari 2025
Di pagi yang sejuk, Adam menghirup udara segar di taman Eden. Pepohonan rindang melambai lembut dihembus angin, dan suara aliran sungai kecil mengalun seperti lagu tanpa lirik. Ia dikelilingi oleh keindahan yang sempurna, tempat di mana langit dan bumi seolah-olah menyatu dalam harmoni ciptaan. Namun, di tengah kelimpahan itu, ada satu batasan: larangan Tuhan untuk tidak memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Larangan itu bukan sekadar perintah, melainkan sebuah ujian akan kebebasan dan kesetiaan.
Klaus Westermann (1984) dalam Genesis: An Introduction menegaskan bahwa perintah ini bukanlah pembatasan sewenang-wenang, melainkan bagian dari relasi perjanjian antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya. Dengan diberi kebebasan untuk memilih, manusia tidak hanya menjadi makhluk hidup, tetapi juga pemikir yang bertanggung jawab atas takdirnya sendiri. Seperti seorang anak yang diberi kepercayaan oleh orang tuanya, Adam memiliki kehendak bebas yang bisa menuntunnya pada kehidupan atau kejatuhan.
Seabad demi seabad berlalu, dan di suatu sudut dunia yang berbeda, Yesus berbicara kepada orang banyak. Ia melihat wajah-wajah penuh kebimbangan, orang-orang yang terbiasa hidup dalam aturan-aturan ketat Taurat. Mereka diajari bahwa kebersihan dan kesucian tergantung pada apa yang mereka makan, bagaimana mereka mencuci tangan, dan bagaimana mereka menjalankan ritual lahiriah. Namun, Yesus menatap mereka dalam-dalam dan berkata dengan lembut namun tegas bahwa yang menajiskan manusia bukanlah apa yang masuk ke dalam tubuhnya, melainkan apa yang keluar dari hatinya.
Joachim Jeremias (1971) dalam New Testament Theology menjelaskan bahwa Yesus menegaskan sebuah pembaruan etika: hukum Allah bukan sekadar aturan yang dihafalkan dan dipatuhi, tetapi panggilan untuk mengalami transformasi batin. Kesucian sejati bukanlah soal makanan yang kita santap atau tangan yang kita cuci, melainkan hati yang tetap bersih dari kesombongan, keserakahan, dan kedengkian.
Kedua kisah ini—Adam di taman Eden dan orang banyak yang mendengar ajaran Yesus—mengajarkan bahwa kebebasan manusia bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas, melainkan kebebasan yang harus dijalani dengan tanggung jawab dan kesadaran moral. Walter Brueggemann (1997) dalam Theology of the Old Testament menyebutkan bahwa batasan yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah bagian dari kasih-Nya, bukan hukuman, tetapi perlindungan.
Dalam kehidupan kita sendiri, berapa kali kita tergoda untuk menyeberangi batas yang telah ditetapkan? Betapa sering kita melihat kemurnian sebagai sesuatu yang hanya tampak dari luar, sementara di dalam, hati kita masih terikat pada keinginan-keinginan yang tak suci? Karl Barth (1956) dalam Church Dogmatics mengungkapkan bahwa dosa bukan hanya tindakan, tetapi juga kondisi batin manusia yang cenderung menjauh dari Tuhan. Maka, perjuangan iman bukan hanya tentang kepatuhan pada aturan eksternal, tetapi transformasi hati yang mendalam.
St. Agustinus (426) dalam Confessions pernah menulis, “Hati manusia tidak akan pernah menemukan ketenangan sejati kecuali di dalam Tuhan.” Maka, panggilan kita adalah menghidupi kebebasan yang bertanggung jawab, menjaga hati agar tetap murni, dan terus mencari Allah di dalam perjalanan iman yang panjang. Seperti Adam di taman, seperti orang banyak di hadapan Yesus, kita juga berdiri di persimpangan, di mana pilihan kita menentukan apakah kita akan tetap dekat dengan Sang Pencipta atau justru menjauh dari-Nya.
Daftar Pustaka
- Barth, Karl. Church Dogmatics. Edinburgh: T&T Clark, 1956.
- Brueggemann, Walter. Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy. Minneapolis: Fortress Press, 1997.
- Jeremias, Joachim. New Testament Theology. London: SCM Press, 1971.
- St. Augustine. Confessions. 426.
- Westermann, Klaus. Genesis: An Introduction. Minneapolis: Augsburg Fortress, 1984.