Ketika manusia lahir ke dunia, ia datang dalam keadaan telanjang—tanpa nama, tanpa status, tanpa embel-embel yang menempel pada dirinya. Namun, seiring waktu, kita mulai mengenakan berbagai “pakaian”—identitas yang kita bangun berdasarkan nama, keluarga, budaya, hingga status sosial. Kita diajarkan bahwa kesuksesan adalah kebaikan, sementara kegagalan adalah aib; bahwa kekayaan membawa kebahagiaan, sedangkan kemiskinan menandakan keterpurukan. Tanpa sadar, kita melekatkan diri pada dunia, menggenggam erat segala sesuatu yang kita anggap sebagai pijakan hidup.
Namun, seperti Ayub yang berkata, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan,” pada akhirnya kita harus kembali ke asal kita—tanpa membawa apa pun selain jiwa yang telah ditempa oleh perjalanan hidup.
Ketika Kehidupan Berubah
Tahun 2024 menjadi titik balik dalam hidup saya. Dalam waktu singkat, saya kehilangan rumah, sahabat, pasangan, dan usaha yang telah saya bangun dengan penuh perjuangan. Dunia yang selama ini saya kenal tiba-tiba runtuh. Rasa takut, marah, kecewa, dan kebimbangan bercampur menjadi satu. Saya bertanya pada diri sendiri, di mana kini saya harus berpijak?
Suatu malam, saya duduk termenung di sebuah kafe, menyadari bahwa hidup saya tak akan pernah sama lagi. Ketika kafe itu bersiap tutup, hujan deras mengguyur, dan saya meminta izin untuk menunggu hingga reda. Kasir mengizinkan saya, bahkan menawarkan tempat berlindung, meski lampu akan dimatikan. Saya memilih duduk di koridor, membiarkan hujan menjadi latar kesunyian saya. Air mata pun jatuh tanpa bisa ditahan. Tiba-tiba, seorang satpam mendekat dan berkata dengan tenang, “Jangan khawatir, meski gelap, di sini tetap aman.”
Kata-kata sederhana itu menembus hati saya. Seakan-akan Tuhan sendiri yang berbicara melalui sosok yang tak terduga. Saya tersadar bahwa Tuhan tidak jauh di awang-awang, melainkan hadir dalam keseharian kita—dalam sapaan orang asing, dalam rintik hujan yang menenangkan, dalam keheningan yang memberi ruang untuk mendengar bisikan-Nya.
Merenungi Malam Gelap Jiwa
Saat duduk di sana, pikiran saya berkelana ke masa lalu—ke momen-momen bahagia, ke perjuangan yang pernah saya lewati, bahkan ke masa kanak-kanak saat saya belum memiliki apa pun tetapi tetap merasa utuh. Lalu, mengapa kehilangan di masa kini terasa begitu menyesakkan? Bukankah pohon tidak meratap ketika daunnya berguguran? Bukankah musim yang berganti adalah bagian alami dari kehidupan?
Yohanes dari Salib menyebut pengalaman ini sebagai “Malam Gelap Jiwa”—sebuah fase di mana manusia mengalami kehampaan, tetapi bukan dalam keputusasaan. Ia menulis, “Kasih Tuhan tidak pernah puas meninggalkan kita dalam kelemahan kita. Justru karena itulah Dia membawa kita ke dalam kegelapan, menyapih kita dari segala kesenangan agar kita bertumbuh lebih dalam secara rohani.”
Saya pun mulai memahami bahwa kehilangan bukanlah hukuman, melainkan bagian dari rancangan pendewasaan Tuhan. Dalam doa, saya tidak hanya meminta jawaban, tetapi juga menemukan kehangatan di dalam dada—sebuah penghiburan ilahi yang tidak dapat dijelaskan dengan logika.
Cahaya di Balik Kegelapan
Penyertaan Tuhan tidak selalu datang dalam bentuk mukjizat besar. Kadang, itu hadir melalui buku yang kebetulan saya baca, melalui kalimat sederhana dari seorang pengemudi ojek, atau bahkan dari baliho yang tak sengaja saya lihat. Semua itu terasa seolah tersinkronisasi dengan sempurna—sebuah jawaban atas doa-doa yang saya panjatkan, bahkan yang belum sempat terucap.
Kegelapan, saya sadari, bukanlah hukuman melainkan anugerah yang menyamar. Dalam sunyi, kita bisa melihat diri kita apa adanya—tanpa ilusi duniawi. Dalam kehilangan, kita belajar arti kepemilikan yang sesungguhnya. Dalam kesendirian, kita merasakan kehadiran Tuhan dengan lebih nyata.
Bahkan, orang-orang yang kita anggap sebagai ‘racun’ dalam hidup kita mungkin hanyalah guru yang menyamar—membantu kita menyadari luka batin, memperlihatkan ketakutan yang harus kita hadapi, dan mengajarkan kita untuk berbenah. Setiap emosi, baik sedih maupun bahagia, memiliki tempatnya sendiri dalam perjalanan menuju keutuhan.
Seperti Ayub yang menerima segala sesuatu dengan iman, kita pun diajak untuk merangkul kehidupan sepenuhnya—dengan segala kehilangan dan pemberiannya. Sebab, ketika kita mampu menerima kesedihan dengan lapang dada, kita juga siap menerima anugerah-Nya yang tanpa batas.
Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Bahkan dalam malam tergelap sekalipun, cahaya-Nya tetap ada—menyinari dari dalam, menuntun kita menuju fajar yang baru.
Kepustakaan :
Ortberg, J. (n.d.). [Title of the blog post, if available]. FaithGateway. Retrieved from https://faithgateway.com/blogs/christian-books/
Dan penyertaan Tuhan pun hadir dalam tulisanmu. terimakasih Sendria. ✨