JUMAT, 21 FEBRUARI 2025
Manusia di dataran Sinear bersatu dalam satu bahasa dan satu tujuan: membangun menara yang mencapai langit. Mereka ingin menciptakan nama bagi diri mereka sendiri, sebuah usaha besar yang mencerminkan ambisi manusia untuk menguasai dan menandingi Tuhan. Namun, dalam Kejadian 11:1-9, Tuhan turun tangan, mengacaukan bahasa mereka, dan menyerakkan mereka ke seluruh bumi. Peristiwa ini bukan sekadar hukuman, tetapi juga sebuah tindakan penyelamatan. Karl Barth dalam “Church Dogmatics” (1956) menafsirkan bahwa perpecahan bahasa adalah cara Tuhan untuk mencegah manusia dari kehancuran akibat kesombongan kolektifnya.
Di sisi lain, Markus 8:34-9:11 menyajikan narasi yang berlawanan. Yesus memanggil murid-murid-Nya untuk menyangkal diri, memikul salib, dan mengikuti-Nya. Jika dalam Kejadian manusia berusaha meninggikan dirinya, Yesus justru mengajarkan jalan sebaliknya: merendahkan diri dalam ketaatan kepada Allah. Dietrich Bonhoeffer dalam “The Cost of Discipleship” (1937) menyatakan bahwa “murid sejati adalah mereka yang berani menyerahkan segalanya, bahkan nyawanya, demi mengikuti Kristus.” Melalui perjalanan menuju salib, Yesus menunjukkan bahwa kemuliaan sejati bukan terletak pada menara-menara tinggi buatan manusia, tetapi dalam kerendahan hati dan pengorbanan.
Namun, Markus tidak berhenti di situ. Dalam transfigurasi di Markus 9:2-11, Yesus membawa Petrus, Yakobus, dan Yohanes ke atas gunung dan menampakkan kemuliaan-Nya. Dalam momen ini, mereka melihat Yesus berbicara dengan Musa dan Elia, simbol hukum dan para nabi, yang menunjukkan bahwa Yesus adalah penggenapan seluruh rencana keselamatan Allah. Raymond E. Brown dalam “An Introduction to the New Testament” (1997) menulis bahwa peristiwa ini adalah “sekilas tentang kebangkitan yang akan datang, sebuah harapan bagi mereka yang memilih jalan salib.”
Menara Babel dan transfigurasi di gunung, dua peristiwa yang seolah bertolak belakang, namun memiliki pesan yang sama: manusia tidak dapat mencapai kemuliaan dengan usahanya sendiri. Keagungan sejati bukanlah sesuatu yang dibangun dengan batu dan tanah, melainkan diberikan oleh Tuhan kepada mereka yang bersedia mengikuti jalan-Nya. Dalam dunia yang terus-menerus mencari kesuksesan dan pengakuan, bacaan ini mengundang kita untuk bertanya: apakah kita sedang membangun menara kita sendiri, ataukah kita berjalan menaiki gunung bersama Kristus?
Daftar Pustaka:
- Barth, Karl. Church Dogmatics. Edinburgh: T&T Clark, 1956.
- Bonhoeffer, Dietrich. The Cost of Discipleship. New York: Macmillan, 1937.
- Brown, Raymond E. An Introduction to the New Testament. New York: Doubleday, 1997.