JUMAT, 7 MARET 2025
Saat memasuki hari-hari pertama masa Prapaskah, kita dihadapkan pada panggilan mendalam untuk merenungkan makna sejati puasa dan pertobatan. Bacaan dari Yesaya 58:1-9a menyoroti bagaimana umat Allah sering kali terjebak dalam formalitas ibadah tanpa hati yang benar. Mereka berpuasa, mengenakan kain kabung, dan merendahkan diri, tetapi kehidupan mereka tetap dipenuhi dengan ketidakadilan, penindasan, dan pertengkaran. Tuhan, melalui nabi Yesaya, menegaskan bahwa puasa yang sejati bukanlah sekadar praktik ritual, melainkan keterbukaan hati untuk membebaskan orang tertindas, memberi makan orang lapar, dan membawa keadilan bagi mereka yang terpinggirkan.
Yesus dalam Matius 9:14-15 memperdalam pengajaran ini ketika para murid Yohanes bertanya kepadanya mengapa murid-murid-Nya tidak berpuasa seperti mereka. Jawaban Yesus penuh makna: “Dapatkah sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka?” Yesus menunjukkan bahwa puasa sejati bukanlah tentang mengikuti tradisi secara mekanis, tetapi tentang memahami maknanya dalam terang kehadiran-Nya. Akan datang waktunya ketika Sang Mempelai akan diambil, dan itulah saat untuk berpuasa dalam roh yang benar.
Ahli tafsir seperti Walter Brueggemann dalam The Prophetic Imagination (1978) menegaskan bahwa kritik Yesaya terhadap ibadah yang hampa adalah bentuk panggilan profetik untuk pembaruan sosial. Bagi Brueggemann, keadilan sosial adalah inti dari ibadah sejati—tidak ada gunanya mempersembahkan korban jika kehidupan sehari-hari tetap dikuasai oleh ketidakpedulian terhadap penderitaan sesama. Sementara itu, N.T. Wright dalam Jesus and the Victory of God (1996) menyoroti bagaimana Yesus menggeser pemahaman tradisional tentang puasa. Bagi Yesus, ibadah bukan sekadar menjalankan perintah-perintah eksternal, tetapi tentang hidup dalam hubungan dengan Allah yang menghadirkan Kerajaan-Nya di dunia.
Dalam masa Prapaskah, kita diundang untuk menjalani puasa yang bermakna. Bukan hanya menahan diri dari makanan atau kebiasaan tertentu, tetapi melepaskan segala bentuk egoisme dan ketidakadilan yang menghambat kasih kepada sesama. Puasa sejati adalah tindakan aktif dalam menghadirkan belas kasih Tuhan dalam dunia yang penuh luka. Puasa pada dasarnya merupakan latihan bagi roh kita karena manusia sejatinya merupakan mahkluk spiritual. Sebagai mahkluk spiritual, diri sejati kita adalah roh, tepatnya serpihan dari Roh Tuhan sendiri. Thomas Merton dalam New Seeds of Contemplation (1961) menyebutkan, doa dan puasa yang sejati membawa kita lebih dekat kepada kebenaran diri sendiri ( asal sejati kita) dan membentuk kita menjadi pribadi yang lebih autentik di hadapan Allah.
Pada akhirnya, masa Prapaskah adalah undangan untuk bertransformasi. Ini bukan sekadar periode penyangkalan diri, tetapi sebuah perjalanan menuju kebebasan sejati—bebas dari belenggu dosa, bebas untuk mencintai tanpa pamrih, dan bebas untuk hidup dalam kebenaran Allah. Seperti yang dijanjikan dalam Yesaya, “maka terangmu akan merekah seperti fajar,” ketika kita belajar menjalani puasa dengan kasih yang nyata.
Daftar Pustaka
- Brueggemann, Walter. The Prophetic Imagination. Minneapolis: Fortress Press, 1978.
- Merton, Thomas. New Seeds of Contemplation. New York: New Directions, 1961.
- Wright, N.T. Jesus and the Victory of God. Minneapolis: Fortress Press, 1996.
- Wright, N.T. Lent for Everyone: Matthew. Louisville: Westminster John Knox Press, 2011.
- Lewis, C.S. Mere Christianity. New York: HarperCollins, 1952.