JUMAT, 14 MARET 2025
Di dalam perjalanan iman, kita sering bertanya apakah perubahan hidup sungguh mungkin terjadi. Kitab Yehezkiel berbicara tentang pertobatan sebagai sebuah kesempatan yang diberikan Tuhan kepada setiap orang, tanpa melihat masa lalu mereka. “Tetapi jikalau orang fasik bertobat… ia akan hidup dan tidak mati” (Yeh. 18:21-22). Di sini, Allah menegaskan kasih-Nya yang tidak terhitung, yang senantiasa memberi ruang bagi mereka yang ingin kembali. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, tidak ada kesalahan yang tidak dapat ditebus, selama seseorang sungguh-sungguh berbalik dari jalannya yang jahat.
Walter Eichrodt dalam Ezekiel: A Commentary (1970) menyoroti bahwa teks ini menentang anggapan fatalistik yang lazim di kalangan orang Israel saat itu. Banyak yang merasa bahwa dosa nenek moyang mereka menentukan nasib mereka. Namun, Yehezkiel menyampaikan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas tindakannya sendiri, dan Allah menghendaki pertobatan, bukan hukuman. Ini adalah seruan yang penuh harapan: kita tidak ditentukan oleh masa lalu kita, melainkan oleh keputusan kita hari ini.
Yesus, dalam Matius 5:20-26, memperdalam pemahaman tentang pertobatan dengan menunjukkan bahwa kebenaran sejati lebih dari sekadar ketaatan hukum secara lahiriah. “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga” (Mat. 5:20). Di sini, Yesus menantang kita untuk melampaui formalitas keagamaan dan masuk ke dalam dimensi yang lebih mendalam—hati yang benar di hadapan Tuhan dan sesama.
Dalam bukunya The Sermon on the Mount: A Theological Interpretation (1992), Dale C. Allison Jr. menekankan bahwa Yesus tidak menghapus hukum Taurat, tetapi menyingkapkan esensi terdalamnya. Misalnya, perintah “Jangan membunuh” tidak hanya soal tindakan fisik, tetapi juga mencakup kemarahan dan kebencian yang menggerogoti hati manusia. Ini mengajak kita untuk tidak hanya menghindari kejahatan besar tetapi juga membangun relasi yang dipenuhi kasih dan keadilan.
Ketika Yesus berkata, “Segeralah berdamai dengan saudaramu” (Mat. 5:24), ia mengingatkan bahwa ibadah sejati tidak dapat dipisahkan dari relasi yang dipulihkan. Dalam konteks ini, Hans Küng dalam On Being a Christian (1974) menyoroti bahwa pengampunan adalah dasar dari kehidupan Kristiani. Tanpa pengampunan, ibadah kita hanya menjadi ritual kosong. Tuhan tidak hanya menuntut keadilan, tetapi juga kasih yang aktif.
Yehezkiel mengajak kita untuk melihat bahwa Allah tidak menghendaki kematian orang berdosa, melainkan pertobatan dan kehidupan. Yesus memperdalamnya dengan menegaskan bahwa pertobatan sejati bukan hanya menghindari dosa besar, tetapi juga membangun hidup yang penuh kasih dan rekonsiliasi. Pertobatan bukan hanya berbalik dari yang jahat, tetapi juga melangkah menuju kebaikan, bukan hanya berhenti membenci, tetapi mulai mengasihi.
Ketika kita membaca kedua teks ini dalam terang kehidupan kita, pertanyaannya menjadi lebih personal: di mana dalam hidup kita masih ada kepahitan, kemarahan, dan kebencian yang menghalangi kasih Allah? Adakah relasi yang perlu dipulihkan? Jika Allah selalu membuka pintu bagi kita untuk kembali, apakah kita juga bersedia membuka hati bagi sesama?
Daftar Pustaka:
- Allison Jr., Dale C. The Sermon on the Mount: A Theological Interpretation. Crossroad, 1992.
- Eichrodt, Walter. Ezekiel: A Commentary. Westminster Press, 1970.
- Küng, Hans. On Being a Christian. Doubleday, 1974.