SABTU, 15 MARET 2025
Di dalam perjalanan iman, kita sering dihadapkan pada panggilan untuk hidup dalam kesetiaan kepada Allah dan menghidupi kasih yang melampaui batas manusiawi. Bacaan dari Ulangan 26:16-19 dan Matius 5:43-48 menuntun kita untuk memahami dua dimensi penting dalam relasi kita dengan Tuhan: kesetiaan pada perintah-Nya dan panggilan untuk mengasihi dengan cara yang lebih tinggi.
Dalam Ulangan 26:16-19, Musa menegaskan kembali kepada umat Israel perjanjian mereka dengan Allah. Mereka dipanggil untuk menaati hukum-hukum-Nya dengan sepenuh hati dan jiwa, bukan hanya sebagai bentuk kepatuhan formal, tetapi sebagai respons penuh kasih kepada Allah yang telah memilih mereka sebagai umat-Nya sendiri. Walter Brueggemann dalam Theology of the Old Testament (1997) menyoroti bahwa perjanjian ini bukan sekadar kontrak hukum, melainkan ekspresi relasional antara Allah dan umat-Nya, di mana ketaatan adalah jalan menuju kehidupan yang penuh berkat.
Kesetiaan kepada Allah selalu menuntun pada transformasi moral dan etis. Dalam Matius 5:43-48, Yesus mengajarkan sesuatu yang radikal: kasih yang melampaui batas. Jika dunia mengajarkan untuk mencintai sesama dan membenci musuh, Yesus justru meminta pengikut-Nya untuk mengasihi musuh dan mendoakan mereka yang menganiaya. Karl Barth dalam Church Dogmatics (1956) menekankan bahwa kasih yang diajarkan Yesus bukanlah kasih yang bergantung pada balasan, melainkan kasih yang mencerminkan belas kasih Allah sendiri. Dengan mengasihi musuh, kita bukan hanya mengikuti perintah moral, tetapi juga berpartisipasi dalam karakter ilahi yang penuh kasih dan pengampunan.
Dalam dunia yang dipenuhi dengan polarisasi dan permusuhan, panggilan untuk mengasihi musuh menjadi tantangan besar. Henri Nouwen dalam The Return of the Prodigal Son (1992) menyoroti bahwa mengasihi musuh berarti melampaui luka-luka yang kita terima dan memilih jalan rekonsiliasi yang penuh dengan belas kasih. Ini bukan tentang mengabaikan keadilan, tetapi tentang membuka diri terhadap kemungkinan penyembuhan bagi diri sendiri dan bagi mereka yang pernah menyakiti kita.
Kedua bacaan ini mengajarkan bahwa kesetiaan kepada Allah tidak hanya diwujudkan dalam kepatuhan terhadap hukum-Nya, tetapi juga dalam cara kita mencintai sesama, bahkan mereka yang sulit untuk kita kasihi. Ketika kita memilih untuk tetap setia dan mengasihi tanpa syarat, kita semakin menyerupai Allah, yang ‘menyuruh matahari-Nya terbit bagi orang jahat dan orang baik’ (Mat. 5:45). Inilah panggilan bagi setiap orang beriman: menjadi umat yang kudus, bukan hanya dalam tindakan lahiriah, tetapi dalam kasih yang melampaui batas duniawi.
Daftar Pustaka:
- Barth, Karl. Church Dogmatics. T&T Clark, 1956.
- Brueggemann, Walter. Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy. Fortress Press, 1997.
- Nouwen, Henri. The Return of the Prodigal Son: A Story of Homecoming. Image Books, 1992.