RABU, 19 MARET 2025
Allah bekerja dalam keheningan dan dalam hati yang taat. Dalam perayaan Hari Raya Santo Yusuf, Suami Santa Perawan Maria, kita diajak untuk merenungkan bagaimana rencana keselamatan Allah dinyatakan dalam janji-Nya kepada Daud (2 Samuel 7:4-5a, 12-14a, 16), dalam iman Abraham yang diangkat oleh Paulus (Roma 4:13, 16-18, 22), dan dalam peran Santo Yusuf yang dicatat dalam Injil Matius (Matius 1:16, 18-21, 24a). Ketiga bacaan ini menggambarkan kesetiaan, janji Allah yang tak tergoyahkan, dan peran manusia dalam menyambut karya-Nya.
Ketika Allah berjanji kepada Daud bahwa keturunannya akan menegakkan kerajaan yang kekal, Ia tidak hanya berbicara tentang Salomo, tetapi tentang rencana ilahi yang jauh lebih besar: datangnya Sang Mesias, Yesus Kristus. Janji ini menemukan penggenapannya bukan dalam kekuatan politik, tetapi dalam kehadiran seseorang yang taat dan rendah hati: Santo Yusuf. John Barton dalam The Oxford Bible Commentary (2001) menjelaskan bahwa perjanjian Allah dengan Daud bersifat mesianik, bukan sekadar dinasti duniawi, tetapi kerajaan rohani yang akan diwujudkan dalam diri Yesus.
Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Roma, mengangkat teladan Abraham yang menerima janji bukan karena hukum Taurat, tetapi karena iman. Santo Yusuf adalah sosok yang juga berjalan dalam iman, bukan dalam kepastian. Ketika Yusuf mengetahui bahwa Maria mengandung sebelum mereka hidup bersama, ia berada dalam dilema besar. Namun, seperti Abraham yang percaya kepada janji meskipun mustahil secara manusiawi, Yusuf memilih untuk percaya kepada suara Tuhan. N.T. Wright dalam Paul and the Faithfulness of God (2013) menegaskan bahwa iman yang sejati bukan sekadar percaya, tetapi bertindak dalam kepercayaan total kepada kehendak Allah.
Matius menggambarkan Yusuf sebagai ‘orang benar’ yang tidak ingin mencemarkan nama Maria di muka umum. Namun, ketika malaikat Tuhan menampakkan diri dalam mimpi dan mengatakan bahwa anak yang dikandung Maria berasal dari Roh Kudus, Yusuf tidak ragu. Ia menerima tugas yang berat: menjadi bapa bagi Yesus di dunia. Raymond Brown dalam The Birth of the Messiah (1993) menyoroti bahwa tindakan Yusuf untuk menerima Maria dan Yesus adalah langkah ketaatan yang luar biasa, melampaui norma budaya dan hukum Yahudi pada zamannya.
Santo Yusuf tidak berbicara dalam Injil, tetapi tindakannya berbicara lebih lantang daripada kata-kata. Dalam keheningan, ia menjadi pelindung, pengasuh, dan penyedia bagi keluarga kudus. Ia adalah wujud nyata dari kesetiaan kepada kehendak Allah. Dalam dunia yang serba bising dan penuh tuntutan, Yusuf mengajarkan bahwa ketaatan yang sejati lahir dalam keheningan dan keterbukaan hati terhadap rencana Tuhan.
Di zaman sekarang, kita sering kali mencari kepastian sebelum bertindak, tetapi Yusuf mengajarkan bahwa kepastian sejati ada dalam kepercayaan kepada Allah. Ia tidak memahami seluruh rencana Tuhan, tetapi ia percaya. Dalam perayaan ini, kita diundang untuk meneladani Yusuf: berjalan dalam iman, taat dalam keheningan, dan setia dalam menjalankan tugas yang dipercayakan kepada kita.
Daftar Pustaka:
Wright, N.T. Paul and the Faithfulness of God. Fortress Press, 2013.
Barton, John. The Oxford Bible Commentary. Oxford University Press, 2001.
Brown, Raymond. The Birth of the Messiah. Yale University Press, 1993.