KAMIS, 27 MARET 2025
Dalam perjalanan panjang relasi antara Allah dan umat-Nya, ada satu tema yang selalu muncul: panggilan untuk mendengarkan suara-Nya dan berjalan dalam jalan-Nya. Bacaan hari ini membawa kita ke dalam refleksi mendalam tentang ketegaran hati manusia dan undangan Tuhan yang selalu menanti jawaban kita.
Dalam kitab Yeremia, kita menemukan seruan Allah yang menyayat hati: “Dengarkanlah suara-Ku, maka Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku” (Yer. 7:23). Namun, kenyataannya, Israel lebih memilih mengikuti rencana dan keinginan mereka sendiri. Mereka menolak mendengarkan nabi-nabi yang diutus Allah, memilih jalan keras kepala yang membawa mereka semakin jauh dari perjanjian yang telah Tuhan buat dengan nenek moyang mereka. Para ahli tafsir seperti Walter Brueggemann dalam A Commentary on Jeremiah: Exile and Homecoming (1998) menyoroti bahwa kitab Yeremia menggambarkan bukan hanya sebuah bangsa yang jatuh ke dalam dosa, tetapi juga bagaimana Allah tetap setia dalam cinta-Nya, meskipun umat-Nya terus-menerus menolak panggilan pertobatan.
Mazmur 95 menegaskan kembali panggilan untuk mendengar suara Tuhan dan tidak mengeraskan hati seperti yang dilakukan leluhur mereka di Masa dan Meriba, ketika mereka menguji Tuhan meskipun telah melihat karya-karya-Nya yang besar. “Janganlah mengeraskan hatimu seperti di Meriba” (Mzm. 95:8) bukan hanya sekadar peringatan sejarah, tetapi juga relevan bagi setiap zaman, termasuk bagi kita hari ini. Dalam tafsirannya, J. Clinton McCann dalam The Book of Psalms (1993) menyatakan bahwa mazmur ini menampilkan paradoks antara pujian dan peringatan: umat diundang untuk bersukacita dalam kehadiran Tuhan, tetapi juga diingatkan bahwa hubungan dengan-Nya memerlukan kesetiaan dan ketaatan.
Bacaan Injil hari ini membawa kita ke dalam konfrontasi yang lebih tajam antara kebenaran Allah dan kekerasan hati manusia. Yesus menyembuhkan seorang bisu yang kerasukan roh jahat, tetapi respons dari beberapa orang yang menyaksikan justru penuh dengan kecurigaan dan penolakan. Mereka menuduh-Nya menggunakan kuasa Beelzebul, pemimpin roh-roh jahat. Tuduhan ini menunjukkan betapa hati mereka telah tertutup, bahkan terhadap tindakan penyelamatan yang nyata di depan mata mereka. Raymond E. Brown dalam The Death of the Messiah (1994) menyoroti bagaimana penolakan terhadap Yesus, seperti yang terlihat dalam perikop ini, bukan hanya berasal dari kebingungan teologis, tetapi juga dari ketakutan kehilangan kekuasaan dan status quo.
Yesus dengan tegas membantah tuduhan mereka, menjelaskan bahwa Kerajaan Allah telah datang dan bahwa kuasa-Nya lebih besar daripada kuasa jahat. “Barangsiapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku, dan barangsiapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia menceraiberaikan” (Luk. 11:23). Ini adalah panggilan yang menuntut keputusan. Tidak ada wilayah abu-abu dalam pertempuran rohani ini—seseorang baik bersama Yesus atau melawan-Nya.
Bacaan hari ini menantang kita untuk bertanya: Apakah kita sungguh mendengarkan suara Tuhan dalam hidup kita, atau kita justru membangun pertahanan dengan alasan dan rasionalisasi yang membuat kita tetap berada di zona nyaman? Seperti Israel di zaman Yeremia, seperti mereka yang menolak Yesus di zaman-Nya, kita juga memiliki kecenderungan untuk mengeraskan hati ketika kebenaran menantang kita.
Masa Prapaskah adalah saat yang tepat untuk merenungkan bagaimana kita menanggapi panggilan Allah. Apakah kita memilih jalan pertobatan, atau kita tetap bertahan dalam sikap keras hati? Allah terus berbicara kepada kita, melalui Kitab Suci, melalui suara hati, melalui orang-orang di sekitar kita. Pertanyaannya adalah: Apakah kita siap mendengar dan taat, atau kita akan terus menolak dan menutup hati kita?
Daftar Pustaka:
- Brueggemann, Walter. A Commentary on Jeremiah: Exile and Homecoming. Eerdmans, 1998.
- Brown, Raymond E. The Death of the Messiah. Yale University Press, 1994.
- McCann, J. Clinton. The Book of Psalms. Eerdmans, 1993.
- Wright, N.T. Jesus and the Victory of God. Fortress Press, 1996.