MINGGU, 30 MARET 2025
Dalam perjalanan hidup manusia, ada momen-momen ketika seseorang menyadari bahwa ia telah melangkah terlalu jauh dari rumah, dari kasih yang sejati, dari Tuhan sendiri. Bacaan-bacaan hari ini mengajak kita untuk merenungkan tentang pertobatan, rekonsiliasi, dan sukacita ketika seseorang kembali kepada Allah.
Kitab Yosua membawa kita pada titik penting dalam sejarah Israel, ketika bangsa itu akhirnya menginjakkan kaki di Tanah Perjanjian dan merayakan Paskah pertama mereka di sana. “Pada hari itu juga mereka makan hasil negeri itu” (Yos. 5:11). Tuhan telah menghapus aib Mesir dari mereka, dan mereka kini memasuki babak baru sebagai umat yang mandiri, tidak lagi bergantung pada manna, tetapi pada hasil tanah yang mereka tempati. Momen ini adalah simbol transisi: dari masa perbudakan ke kebebasan, dari ketergantungan pada mukjizat harian ke panggilan untuk bekerja dan berbuah di negeri yang dijanjikan.
Mazmur 34 menggemakan perasaan syukur dan sukacita atas pembebasan yang diberikan Tuhan. “Aku mencari Tuhan, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku” (Mzm. 34:5). Tuhan adalah sumber keselamatan sejati, tempat berlindung bagi mereka yang datang dengan hati yang hancur. Ayat ini bukan hanya mengungkapkan keyakinan Daud, tetapi juga menjadi doa bagi setiap orang yang merasa tersesat dan mendambakan keselamatan.
Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus menegaskan bahwa di dalam Kristus, segala sesuatu menjadi baru. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2Kor. 5:17). Paulus tidak hanya berbicara tentang perubahan individu, tetapi tentang rekonsiliasi besar antara Allah dan manusia. Keselamatan bukanlah hasil usaha manusia semata, tetapi anugerah dari Allah yang mendamaikan dunia dengan diri-Nya melalui Kristus. Walter Brueggemann dalam Theology of the Old Testament (1997) menekankan bahwa konsep rekonsiliasi dalam Alkitab selalu terkait dengan tindakan nyata Allah dalam sejarah—dari pembebasan Israel, hingga karya penebusan Yesus.
Puncak refleksi ini kita temukan dalam perumpamaan Yesus tentang anak yang hilang dalam Injil Lukas. Ini bukan hanya kisah tentang seorang anak yang pergi dan kembali, tetapi tentang kasih Bapa yang melampaui segala dosa dan kegagalan. Anak yang lebih muda mengambil warisannya, menghabiskannya dalam kehidupan yang liar, dan akhirnya menemukan dirinya dalam keadaan paling hina. Dalam kehancurannya, ia menyadari bahwa rumah ayahnya adalah tempat yang penuh kelimpahan. “Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku” (Luk. 15:18). Dalam kata-kata ini, kita melihat esensi pertobatan: kesadaran, keputusan, dan tindakan untuk kembali.
Tetapi inti dari perumpamaan ini bukan hanya pada anak yang kembali, melainkan pada respons sang ayah. Tanpa menunggu penjelasan panjang, sang ayah berlari menyongsongnya, merangkulnya, dan mengadakan perayaan besar. Dalam konteks budaya Yahudi, tindakan ini sangat mengejutkan. Seperti yang dijelaskan Kenneth Bailey dalam The Cross and the Prodigal (2005), seorang patriark di zaman itu tidak akan berlari menyambut anak yang telah mempermalukan keluarga. Tetapi inilah gambaran kasih Allah: Ia tidak menunggu dengan murka, tetapi menyongsong dengan belas kasih.
Namun, kisah ini belum selesai. Sang kakak yang tetap tinggal di rumah tidak dapat menerima kemurahan hati ayahnya. Ia merasa layak menerima lebih karena kesetiaannya. Di sini, Yesus menegur sikap orang-orang Farisi yang merasa diri lebih benar daripada para pemungut cukai dan pendosa yang datang kepada-Nya. Seperti yang dikatakan Henri Nouwen dalam The Return of the Prodigal Son (1992), sering kali kita tidak hanya seperti anak yang hilang, tetapi juga seperti sang kakak: tidak mampu memahami dan menerima kasih karunia Tuhan yang begitu besar.
Dalam perjalanan spiritual kita, terkadang kita seperti anak bungsu yang tersesat dan baru menyadari kasih Allah setelah kehilangan segalanya. Di lain waktu, kita seperti anak sulung yang terjebak dalam kesombongan rohani. Tetapi panggilan Tuhan tetap sama: kembali kepada-Nya. Ia menunggu bukan dengan hukuman, tetapi dengan pelukan dan pesta sukacita.
Daftar Pustaka:
- Bailey, Kenneth. The Cross and the Prodigal. IVP Books, 2005.
- Brueggemann, Walter. Theology of the Old Testament. Fortress Press, 1997.
- Nouwen, Henri. The Return of the Prodigal Son. Doubleday, 1992.
- Wright, N.T. The Challenge of Jesus. IVP Academic, 1999.