SELASA, 1 APRIL 2025
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, manusia selalu merindukan sumber kehidupan yang memberi kesegaran, pemulihan, dan harapan. Bacaan hari ini membawa kita pada refleksi mendalam tentang air sebagai simbol kehidupan dan kasih karunia Allah yang menyembuhkan, menghidupkan, dan memperbarui segala sesuatu.
Nabi Yehezkiel dalam penglihatannya menyaksikan air yang mengalir keluar dari Bait Suci (Yeh. 47:1-9,12). Air itu semakin lama semakin dalam, membawa kehidupan bagi segala sesuatu yang disentuhnya. Di mana pun air itu mengalir, ada kesuburan, pemulihan, dan kelimpahan. Gambaran ini melukiskan bagaimana kehadiran Tuhan memberikan kehidupan baru bagi dunia. Para ahli tafsir seperti Walter Brueggemann dalam Theology of the Old Testament (1997) menekankan bahwa penglihatan ini bukan hanya janji pemulihan fisik bagi Israel, tetapi juga simbol pembaruan rohani yang akan datang dalam Kerajaan Allah. Air dari Bait Suci mencerminkan kasih Allah yang mengalir tanpa batas, menghidupkan mereka yang haus akan keadilan dan kebenaran.
Mazmur 46 memperkuat penggambaran ini dengan keyakinan bahwa Allah adalah perlindungan yang kokoh. “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti” (Mzm. 46:2). Kata-kata ini memberikan penghiburan di tengah ketidakpastian hidup. Sebagaimana air Yehezkiel melambangkan kehidupan, demikian juga Allah adalah sumber segala pengharapan dan pemulihan bagi umat-Nya.
Injil Yohanes membawa kita pada kisah tentang seorang lumpuh yang telah terbaring selama 38 tahun di tepi kolam Betesda (Yoh. 5:1-3a,5-16). Ia berharap ada seseorang yang akan membawanya ke dalam kolam ketika airnya berguncang, sebab dipercaya bahwa air itu dapat menyembuhkan. Namun, harapannya selalu pupus karena tak ada yang menolongnya. Di sinilah Yesus datang, menembus harapan yang telah lama pudar, dan bertanya: “Maukah engkau sembuh?” (Yoh. 5:6).
Pertanyaan ini bukan sekadar formalitas, melainkan panggilan untuk bangkit dari ketidakberdayaan. Raymond E. Brown dalam The Gospel According to John (1966) menjelaskan bahwa tindakan Yesus menyembuhkan orang ini pada hari Sabat menegaskan bahwa kasih Allah tidak terikat oleh aturan ritual, tetapi oleh belas kasih yang melampaui batas manusia. Yesus tidak hanya menyembuhkan secara fisik, tetapi juga mengundang orang tersebut ke dalam kehidupan yang baru.
Perjumpaan dengan Yesus mengubah segalanya. Ia berkata, “Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah!” (Yoh. 5:8). Dalam sekejap, orang yang lumpuh itu memperoleh kekuatan dan berjalan. Namun, kesembuhan itu juga membawa konsekuensi: ia menghadapi tantangan dari para pemuka agama yang lebih mementingkan aturan daripada mukjizat kasih Tuhan. Ini mengingatkan kita bahwa sering kali kita lebih terikat pada tradisi dan kebiasaan daripada merasakan kehadiran Tuhan yang membebaskan.
Dalam kehidupan kita, berapa kali kita terjebak dalam ketidakberdayaan, menunggu seseorang untuk “mengangkat kita” ke dalam kolam harapan? Kisah ini mengajak kita untuk melihat bahwa Yesus sendiri datang, menawarkan pemulihan tanpa syarat. Pembaruan sejati tidak datang dari sistem atau kebiasaan lama, tetapi dari perjumpaan dengan Kristus yang memberi hidup.
Seperti air yang mengalir dari Bait Suci dalam penglihatan Yehezkiel, seperti janji Mazmur bahwa Tuhan adalah perlindungan, dan seperti tangan Yesus yang terulur kepada si lumpuh, hari ini kita diundang untuk menerima kehidupan baru. Bukan hanya kesembuhan fisik, tetapi pembaruan rohani yang mengangkat kita keluar dari keputusasaan menuju kehidupan yang penuh kasih dan rahmat.
Daftar Pustaka:
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John. Yale University Press, 1966.
- Brueggemann, Walter. Theology of the Old Testament. Fortress Press, 1997.
- Wright, N.T. Surprised by Hope. HarperOne, 2008.
- Keener, Craig S. The Gospel of John: A Commentary. Baker Academic, 2003.