SELASA, 22 APRIL 2025
Pagi masih berselimut duka ketika Maria Magdalena berdiri di depan kubur kosong. Air matanya tak berhenti mengalir, bukan karena ia tak menemukan mayat Yesus, melainkan karena segalanya terasa kosong. Bahkan para malaikat yang duduk di tempat tubuh Yesus dahulu dibaringkan pun tak membuatnya berhenti menangis. Namun di tengah kehampaan itu, suara yang sangat dikenalnya memanggil pelan: “Maria!” Dan segalanya berubah. Dunia yang gelap diterangi, hati yang patah dipulihkan. Ia berbalik, dan berkata: “Rabbuni!”
Perjumpaan ini bukan hanya kisah pribadi Maria Magdalena, tapi cermin dari apa yang terjadi dalam diri setiap orang yang sungguh membuka hati pada kebangkitan Kristus. Dalam kisah Injil Yohanes, Maria mengalami transformasi iman bukan karena ia melihat Yesus secara fisik, tetapi karena ia dikenali dan dipanggil secara personal. Seperti diungkapkan teolog Raymond E. Brown dalam The Gospel According to John (1970), adegan ini mengungkapkan relasi mendalam antara Gembala Baik dan domba-Nya (bdk. Yoh 10:3) — domba mengenal suara gembalanya dan menanggapinya dengan kasih.
Sementara itu, bacaan pertama dari Kisah Para Rasul (2:36-41) menghadirkan peristiwa yang tak kalah menggetarkan. Petrus, yang pernah menyangkal Yesus, kini berdiri dengan penuh keberanian. Ia berseru kepada orang banyak, menyatakan bahwa Yesus yang mereka salibkan adalah Tuhan dan Mesias. Reaksi mereka? “Hati mereka terharu” dan bertanya: “Apakah yang harus kami perbuat?” Jawaban Petrus sederhana namun mendalam: bertobat dan dibaptis. Inilah awal mula Gereja — sebuah komunitas yang lahir dari hati yang tersentuh oleh sabda dan kasih Allah.
Mazmur hari ini memperkuat pengharapan itu: “Mata Tuhan tertuju kepada mereka yang takut akan Dia, kepada mereka yang berharap akan kasih setia-Nya.” Dalam dunia yang kerap kali penuh kebingungan dan ketidakpastian, pengakuan ini menjadi jangkar iman. Mazmur ini, sebagaimana dijelaskan Walter Brueggemann dalam The Message of the Psalms (1984), bukan hanya pujian tetapi juga pengakuan iman — bahwa kesetiaan Allah tak pernah gagal menopang mereka yang berharap kepada-Nya.
Jika direnungkan dalam konteks kekinian, perjumpaan Maria dengan Yesus mengajak kita untuk peka mendengarkan suara-Nya dalam keheningan batin, dalam doa, dalam penderitaan, bahkan dalam kesepian yang terdalam. Kita hidup di zaman yang penuh suara — notifikasi, opini, kabar yang tak berkesudahan. Namun, suara yang paling penting seringkali datang dalam kesunyian, menyapa kita secara pribadi: “Namamu Kupanggil.” Maka, pertanyaannya bukan hanya apakah kita mengenal suara itu, tetapi apakah kita cukup membuka hati untuk menjawab: “Rabbuni.”
Begitu pula seruan Petrus kepada dunia yang kehilangan arah, seolah disampaikan ulang hari ini. Dunia modern dengan segala kecanggihannya masih lapar akan makna. Di balik kemajuan teknologi dan narasi kebebasan, banyak hati yang hancur, banyak orang yang bertanya: “Apa yang harus kami perbuat?” Dan jawabannya tetap sama: pertobatan, pembaruan hidup, dan iman pada Sang Yang Bangkit.
Daftar Pustaka:
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John XIII-XXI. Anchor Bible Series, 1970.
- Brueggemann, Walter. The Message of the Psalms. Augsburg Fortress, 1984.
- Wright, N.T. Surprised by Hope: Rethinking Heaven, the Resurrection, and the Mission of the Church. HarperOne, 2008.
- Moltmann, Jürgen. Theology of Hope. SCM Press, 1967.