KAMIS, 8 MEI 2025
Di sebuah jalan sunyi antara Yerusalem dan Gaza, sejarah iman bertemu dengan kisah pribadi yang nyaris tak terdengar: seorang pejabat Etiopia, yang duduk di atas keretanya, membaca Kitab Nabi Yesaya dengan kebingungan yang jujur. Tidak diketahui namanya, latar belakangnya hanya tersirat, tapi ia membawa hasrat yang besar—mencari Allah. Kisah ini dalam Kisah Para Rasul 8:26–40 bukan sekadar cerita tentang pertobatan seorang asing, melainkan tentang bagaimana kasih Allah menembus batas-batas geografis, budaya, dan bahkan ketidaktahuan.
Filipus, yang dituntun oleh Roh, tidak datang dengan dogma kaku atau ancaman penghakiman. Ia duduk di samping orang asing itu, mendengarkan, lalu memulai dari mana orang itu berada—membantu memahami Kitab Suci yang tengah dibacanya. Seperti yang dikatakan teolog F. F. Bruce dalam The Book of Acts (1990), kisah ini adalah “cermin dari cara kerja misi Kristiani sejati—berakar pada Firman, bergerak oleh Roh, menjawab kebutuhan nyata manusia.”
Dalam konteks liturgi hari ini, bacaan Injil dari Yohanes 6:44-51 memperdalam makna dari perjumpaan itu. “Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, kalau tidak ditarik oleh Bapa,” sabda Yesus. Proses ‘ditarik’ oleh Bapa bukanlah paksaan, melainkan daya tarik kasih ilahi yang lembut namun kuat, seperti yang terjadi pada pejabat Etiopia tadi. Ia ditarik oleh kerinduannya untuk memahami nubuat, dan dalam keterbukaannya, ia menjumpai Roti Hidup.
Yesus menegaskan bahwa Dialah roti yang turun dari surga—bukan seperti manna yang dimakan nenek moyang dan mereka mati, tetapi roti yang memberi hidup kekal. Ini adalah pusat dari janji Injil: bukan sekadar makanan jasmani, melainkan kehadiran Allah sendiri yang memberi kekuatan dan pengharapan. Raymond E. Brown dalam The Gospel According to John (1970) mencatat bahwa bagian ini adalah klimaks dari wacana tentang roti hidup, yang perlahan membawa para pendengar pada pengakuan akan siapa Yesus sebenarnya—sumber hidup sejati.
Mazmur 66 pun berseru dengan nada syukur, memuji Allah yang “menaruh jiwa kita hidup dan tidak membiarkan kaki kita goyah.” Seolah menjadi pujian dari mulut pejabat Etiopia itu, yang setelah dibaptis oleh Filipus, “melanjutkan perjalanannya dengan sukacita.” Sebuah gambaran tentang bagaimana perjumpaan dengan Firman yang menjadi daging itu mengubah arah hidup manusia, bahkan tanpa harus melihat lagi sang pewarta.
Refleksi ini membawa kita pada penghayatan bahwa Injil bukan milik satu bangsa, satu tradisi, atau satu bahasa. Ia adalah kabar gembira yang menembus batas-batas dunia dan menyentuh siapa pun yang mencari dengan hati tulus. Dalam setiap keterasingan, dalam setiap kebingungan, Allah selalu lebih dahulu hadir—menarik, menyapa, dan memberi roti hidup.
Hari ini, kita diajak menjadi seperti Filipus: peka akan bisikan Roh, bersedia berjalan ke padang gersang, duduk dan mendengarkan, lalu membagikan roti kehidupan itu kepada siapa pun yang lapar akan makna. Dan juga diajak menjadi seperti pejabat Etiopia: berani bertanya, membuka hati, dan melanjutkan hidup dengan sukacita setelah perjumpaan dengan Sabda yang menghidupkan.
Daftar Pustaka:
- Bruce, F. F. The Book of Acts. Grand Rapids: Eerdmans, 1990.
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John I–XII. New York: Doubleday, 1970.
- Wright, N. T. John for Everyone, Part 1: Chapters 1–10. London: SPCK, 2002.
- Keener, Craig S. The Gospel of John: A Commentary, Volume 1. Grand Rapids: Baker Academic, 2003.