RABU, 28 MEI 2025
Di tengah keramaian Areopagus, tempat para filsuf dan pemikir Athena berkumpul untuk saling bertukar gagasan, berdirilah seorang Yahudi dari Tarsus yang membawa pesan yang belum pernah mereka dengar. Paulus, dalam keberaniannya, berbicara kepada bangsa yang gemar pada hikmat, namun sering terjebak dalam kultus-kultus tak bernyawa. Ia tidak memulai dengan kutukan, melainkan dengan pujian akan semangat religiositas mereka. Dari sana, ia membangun jembatan menuju Allah yang tak dikenal, yang sesungguhnya adalah Sang Pencipta langit dan bumi.
Momen itu bukan sekadar penginjilan; itu adalah percakapan antara kekal dan kefanaan. Dalam kerendahan hati dan ketajaman pengamatan, Paulus tidak mengutuk, tetapi menunjukkan bahwa Allah tidak tinggal di kuil buatan tangan manusia. Ia hadir, dekat, tak asing dari setiap jiwa yang rindu akan kebenaran. Dalam dunia yang dipenuhi patung-patung dan dewa-dewa kecil, Paulus menyatakan: kebenaran bukan benda, tapi Pribadi. Ini menjadi gambaran awal tentang bagaimana Injil bertemu dengan kebudayaan—bukan untuk menghapusnya, tetapi untuk menebuskannya.
Mazmur 148 datang seperti nyanyian dari langit, seolah merespons kata-kata Paulus dengan irama surgawi. Segala sesuatu dipanggil untuk memuji Tuhan: raja dan rakyat, pemuda dan perawan, tua dan muda. Ada semacam perayaan kosmis yang melampaui batasan-batasan manusiawi. Dunia yang diciptakan memantulkan kemuliaan Penciptanya; dan manusia, makhluk rasional, diajak untuk melihat bahwa pujian sejati bukan hanya tindakan ritual, tapi respons eksistensial atas kehadiran Allah.
Yesus dalam Injil Yohanes menyadari bahwa kebenaran bukanlah beban yang bisa dipikul sekaligus. “Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya,” kata-Nya. Kebenaran, menurut Yesus, harus diungkapkan secara bertahap, melalui kehadiran Roh Kudus yang akan membimbing, mengingatkan, dan menyatakan hal-hal yang akan datang. Roh bukan hanya guru, melainkan Penafsir yang setia, yang mengantar kita dalam perjalanan panjang memahami isi hati Allah.
Dalam terang ini, kita melihat bahwa pewartaan tidak dapat dilepaskan dari kontemplasi dan kesabaran Roh. Paulus, dalam Kisah Para Rasul, dipenuhi oleh Roh Kudus, mampu membaca konteks dan hati para pendengarnya. Ia tidak memaksakan, melainkan mengajak. Ia tidak menghancurkan, melainkan menyingkapkan. Ia tidak membawa agama baru, tapi memperkenalkan Allah yang sejak awal hadir dalam hidup mereka.
Teolog Karl Barth (1956, Church Dogmatics) menyatakan bahwa pewartaan yang sejati adalah perjumpaan antara Firman dan pendengar, yang hanya bisa terjadi dalam kuasa Roh Kudus. Sementara itu, N.T. Wright (2012, Paul and the Faithfulness of God) melihat momen di Areopagus sebagai model inkulturasi Injil yang cerdas dan menghormati, tanpa kompromi terhadap kebenaran.
Refleksi ini mengajak kita hari ini: apakah kita membawa kabar baik dengan roh yang lembut namun tegas seperti Paulus? Apakah kita percaya bahwa Roh Kudus masih membimbing Gereja untuk memahami kebenaran yang terus diwahyukan? Apakah kita masih merayakan Allah dalam segala yang kita lakukan, seperti alam raya yang memuji-Nya?
Kita tidak diundang untuk memenangkan perdebatan, tetapi untuk memperlihatkan wajah Allah yang hidup dan mencintai. Dan dalam ketenangan Roh, segala kebenaran akan menemukan jalannya ke hati manusia.
Daftar Pustaka:
- Barth, Karl. Church Dogmatics, Volume I. Edinburgh: T&T Clark, 1956.
- Wright, N.T. Paul and the Faithfulness of God. Minneapolis: Fortress Press, 2012.
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John I-XII. Anchor Yale Bible Commentary, 1966.
- Dunn, James D.G. The Acts of the Apostles. Eerdmans, 1996.
- Brueggemann, Walter. The Message of the Psalms. Augsburg, 1984.