Di dunia yang katanya makin maju ini, manusia masih saja hidup dalam jurang ketimpangan yang lebar. Kita mungkin berbagi waktu dan ruang yang sama, tapi nasib kita sering berbeda jauh. Kemajuan teknologi yang seharusnya menyatukan justru semakin memperjelas siapa yang punya akses dan siapa yang tertinggal.
Bayangkan seorang pemuda desa yang merantau ke kota, penuh harapan ingin mengubah nasib. Tapi setibanya di kota, ia disambut kenyataan yang pahit: sistem sosial yang timpang, ekonomi yang memeras, dan kehidupan yang tidak memihak. Ironisnya, bahkan mereka yang lahir dan besar di kota pun banyak yang bernasib serupa—hidup dalam tekanan dan keterbatasan.
Kemiskinan menyebar seperti penyakit. Di satu sisi, segelintir orang menikmati kenyamanan dan kekuasaan. Di sisi lain, banyak yang harus berjuang keras hanya untuk sekadar bertahan hidup. Suara mereka yang tertindas kerap tidak terdengar, dan perlahan harapan mereka digantikan oleh penderitaan yang berkepanjangan.
Ketidakadilan sosial ini membuat kita bertanya: apa sebenarnya tujuan hidup kita? Bertahan? Berjuang? Atau menyerah? Hidup dalam ketidakpastian membuat banyak orang kehilangan arah dan identitas. Mereka yang berusaha memperbaiki nasibnya justru sering kali terluka dan kecewa.
Kita sering lupa, kemiskinan bukanlah pilihan. Ia lahir dari sistem yang tidak adil. Dan di sinilah pentingnya kesadaran. Namun, bagaimana mungkin orang berpikir kritis dan memperjuangkan perubahan kalau hak dasar seperti pendidikan dan informasi pun tak mereka miliki?
Pemberontakan dari Luka yang Dalam
Mereka yang tertindas, lambat laun melawan. Tapi perjuangan mereka sering dianggap ancaman. Orang miskin yang mencuri makanan akan langsung dihukum. Tapi mereka yang korup, justru dilindungi oleh sistem. Suara kaum lemah yang menuntut keadilan sering kali dicap pembuat onar.
Ketimpangan ekonomi, sistem kerja yang menindas, dan ketulian pemerintah terhadap penderitaan rakyat memperparah keadaan. Keadilan menjadi barang mahal. Banyak anak muda yang awalnya idealis akhirnya menyerah dan ikut dalam sistem yang sama korupnya.
Namun, di tengah realitas itu, muncul dua sikap yang berbeda dalam menyikapi ketidakadilan: mereka yang memilih jalan pemberontakan, dan mereka yang menempuh jalan damai dan rekonsiliasi.
Apakah keduanya bisa mengubah keadaan? Apakah pemberontakan hanya akan melahirkan kekacauan baru? Apakah rekonsiliasi tidak akan dilumat oleh sistem yang bebal?
Jawabannya ada pada kita. Karena perubahan sejati tak datang dari atas, tapi dari bawah—dari keberanian untuk berpikir, bersuara, dan bertindak.
Karl Marx: Menantang Dunia dari Tengah Luka
Karl Marx lahir di Trier, Jerman, pada 5 Mei 1818. Sejak muda, ia mempertanyakan mengapa sebagian orang hidup mewah, sementara yang lain tak punya suara. Ia mendalami filsafat, terinspirasi oleh Hegel, namun kemudian memilih jalannya sendiri. Dunia akademik menolaknya, maka ia menjadi jurnalis.
Tulisan-tulisannya tentang ketimpangan dan korupsi membuatnya dibungkam. Ia pindah ke Paris, di mana ia bertemu Friedrich Engels—kawan sejati yang juga memperjuangkan nasib buruh. Dari persahabatan ini lahir gagasan besar: sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Dari tuan tanah dan petani, bangsawan dan rakyat jelata, hingga pengusaha dan buruh modern.
Marx melihat kapitalisme hanya menguntungkan segelintir orang. Buruh bekerja keras dalam kondisi buruk, tapi upah minim. Mereka tercerabut dari hasil kerja, dari sesama, dan dari dirinya sendiri—ini yang ia sebut “alienasi.”
Solusi Marx? Revolusi. Ia yakin, jika buruh sadar akan nasib mereka, maka mereka akan bersatu dan menggulingkan sistem yang menindas. Produksi akan dikelola bersama. Tak ada lagi kelas sosial, tak ada lagi eksploitasi.
Marx menulis Das Kapital dalam kemiskinan. Ia kehilangan tiga dari tujuh anaknya. Tapi ia tetap menulis. Ia meninggal pada 1883, dalam kesederhanaan, tapi pemikirannya menginspirasi banyak revolusi dan gerakan sosial di abad 20.
Meski Marxisme sering disalahgunakan, warisannya tetap kuat: pemikiran kritis tentang sistem ekonomi, keadilan sosial, dan kemanusiaan.
Fransiskus dari Asisi: Menjawab Ketimpangan dengan Cinta
Fransiskus lahir di Asisi, Italia, dari keluarga pedagang kaya. Ia muda, ceria, dan gemar berpesta. Tapi setelah ditawan dalam perang, hidupnya berubah. Ia mulai mencari makna hidup. Dalam doa di gereja tua, ia mendengar suara Tuhan: “Fransiskus, perbaikilah rumah-Ku yang hampir roboh.”
Ia pun menjual harta ayahnya untuk memperbaiki gereja—dan ditolak keluarganya. Ia melepaskan segalanya, bahkan pakaiannya, dan memilih menjadi pengemis demi mengikuti Kristus yang miskin.
Ia tinggal bersama penderita kusta, menyebut burung sebagai saudara, dan hidup dalam damai dengan alam. Hidup Fransiskus adalah ajakan cinta, bukan ceramah. Ia percaya perubahan datang dari hati yang jernih, bukan dari kekuasaan.
Ia mendirikan Ordo Saudara Dina—komunitas sederhana yang hidup tanpa harta, melayani yang miskin, dan mewartakan Injil lewat perbuatan. Ia bahkan mendatangi Sultan Muslim di Mesir saat Perang Salib, bukan untuk bertarung, tapi berdialog.
Fransiskus meninggal dalam damai pada 1226. Ia meninggalkan warisan spiritual yang menekankan bahwa keadilan tidak bisa lahir dari kebencian, tetapi dari cinta yang tulus.
Dua Jalan, Satu Tujuan: Martabat Manusia
Karl Marx dan Fransiskus dari Asisi—dua tokoh dari zaman berbeda, dua cara menghadapi ketidakadilan yang sama. Yang satu lantang berseru, yang satu diam tapi menyentuh. Yang satu menggugat struktur, yang satu memeluk penderitaan.
Marx mengajak kita mengubah sistem, Fransiskus mengajak kita mengubah hati. Tapi keduanya berbicara soal martabat manusia—agar setiap orang hidup layak, dihargai, dan dicintai.
Hari ini, dunia masih dilanda luka—ekonomi yang timpang, spiritualitas yang kering. Kita tidak hanya kekurangan keadilan, tapi juga kasih.
Maka, pertanyaannya: akankah kita ikut membutakan diri dalam sistem yang menindas, ataukah kita siap menjadi bagian dari penyembuhan—dengan suara, dengan cinta, dengan keberanian?
Seperti kata penulis:
“Dunia bukan tempat penderitaan yang dipikirkan, melainkan tempat untuk belajar menjadi manusia yang utuh.”