Saya mengenal Paguyuban Sesawi untuk pertama kalinya lewat jalan hidup yang tidak saya sangka: melalui pernikahan saya dengan Gabriel Abdi Susanto, seorang mantan anggota Serikat Jesus (SJ), pada tahun 2003.
Kami bertemu hanya beberapa bulan setelah ia keluar dari Serikat Jesuit. Perkenalan kami singkat namun dalam—enam bulan setelah kenal, kami bertunangan; enam bulan kemudian, kami menikah.
Sejak saat itu, telinga saya mulai terbiasa dengan istilah-istilah asing bagi saya waktu itu—AMDG, Agere Contra, pembedaan roh, dan berbagai konsep spiritualitas Ignatian lainnya. Semuanya perlahan-lahan mengubah cara saya memandang hidup dan iman.
Saya juga mulai mengenal para istri dari mantan anggota SJ lainnya, dan dari obrolan sehari-hari kami, muncul benang merah karakter para suami yang menarik untuk direnungkan. Mereka ini, meski unik satu per satu, cenderung memiliki kesamaan:
- Disiplin tinggi
- Sangat tepat waktu
- Selalu merasa benar (alias sulit didebat)
- Pekerja keras, sampai terkesan hidup dalam dunianya sendiri
- Tidak romantis
- Enggan membicarakan orang lain
- Tidak mudah terkena FOMO
… dan masih banyak lagi.
Tentu saja, sifat-sifat ini tidak selalu mudah diterima. Saya pun sering dibuat jengkel. Tapi semakin saya mengenal suami saya, semakin saya sadar bahwa sifat positifnya jauh lebih dominan.
Bagi saya, dia adalah seorang pejuang kebenaran. Ia tidak bisa diam melihat ketidakadilan, berita hoaks, atau asumsi yang dibangun tanpa dasar. Ia berani bersuara dan tidak ragu untuk berdebat demi meluruskan sesuatu, tanpa memandang siapa lawan bicaranya—lebih tua, atasan, bahkan tokoh penting pun bisa dia tanggapi dengan tenang tapi tegas.
Dalam hidup sehari-hari, ia juga menjadi mentor spiritual saya. Ia tidak hanya berbicara soal prinsip, tetapi menghidupinya.
Saya sendiri, sejak awal, bukan pribadi yang terbiasa dengan ketegasan dan kerasnya cara berbicara. Saya lebih suka disayang, didekati dengan kelembutan. Tapi justru saya mendapatkan pasangan yang sebaliknya. Awalnya tentu tidak mudah. Tapi dari situ saya belajar bahwa Tuhan tidak keliru.
Saya yakin Tuhan memilihkan dia sebagai suami saya agar saya berubah—agar saya tumbuh. Bahwa hidup bukan sekadar menerima kasih, tapi juga belajar memberi, mengampuni, menguatkan, dan bertahan.
Ada masa-masa berat yang tak akan saya lupakan. Pernah suatu malam, sekitar pukul 11, saya harus pergi belanja ke pasar seorang diri. Suami saya sudah terlelap. Rasanya seperti sendirian dalam hidup rumah tangga ini. Bahkan, pernah ketika saya sakit dan harus rawat jalan ke rumah sakit, saya tetap harus jalan sendiri. Suami saya saat itu lebih memilih hadir di rapat redaksi yang menurutnya sangat penting. Saya dipapah oleh satpam rumah sakit, bukan oleh pasangan hidup saya sendiri.
Tapi di balik semua itu, perlahan saya melihat cara Tuhan membentuk saya: dari perempuan yang dulu manja dan tergantung, menjadi sosok yang lebih mandiri, lebih tegar, bahkan berani.
Saya juga belajar untuk marah, untuk bersuara, dan untuk berdiri atas kaki sendiri. Bagi saya, itu semua adalah bentuk rahmat.
Satu hal yang konsisten kami jalani bersama adalah kebiasaan makan pagi dan malam bersama. Di momen itu, suami saya sering berbagi—tentang pekerjaan, pandangan hidup, hingga mengajak saya merenungkan hari yang telah saya jalani. Ia sering bertanya: “Apa refleksimu hari ini?”
Saya akui, meski sudah diajari berkali-kali tentang bagaimana membuat refleksi ala Ignasian, saya tetap sering kesulitan. Tapi ia sabar. Ia tetap mengajak saya untuk belajar. Karena bagi dia, spiritualitas bukan sekadar teori, tapi jalan hidup.
Dua puluh dua tahun hidup bersama seorang mantan Jesuit adalah perjalanan yang penuh warna. Tidak selalu mudah, tapi sangat memperkaya. Saya belajar banyak—tentang hidup, iman, dan diri saya sendiri. Bahkan secara fisik pun saya ikut “bertumbuh”… hehe.
Dan di tengah perjalanan ini, Paguyuban Sesawi menjadi bagian penting dalam hidup saya. Melalui relasi dan kebersamaan bersama para istri dan keluarga besar Sesawi, saya merasa dikuatkan. Ada rasa senasib, ada saling pengertian yang tak bisa dibeli. Bersama mereka, saya belajar menjadi perempuan tangguh yang siap berjalan terus, meski kadang tertatih.
Selamat ulang tahun yang ke-25 untuk Paguyuban Sesawi. Teruslah menjadi tempat tumbuh bagi para mantan Jesuit dan keluarganya. Terus berkarya untuk keselamatan jiwa-jiwa.
AMDG. Tuhan Yesus memberkati.
Bagus mbak Wulan. perlu ditambahi sharing mertua. mantan Yesuit.ha, ha,
ha
..
Wow, keren sekali refleksi nya mbak Wulan. Senang membacanya. 👍🙏💪🔥🇮🇩
mba Wulan, makasih ya sharingnya. Nampak sekali bahwa banyak yg benar dari apa yg sudah disharingkan. Semakin menguatkan saya bahwa Tuhan selalu hadir dalam kehidupan kita melalui keluarga kecil kita.
Sesawi jadi penguat saya di kala rapuh dan menjadi ajang berbagi suka.