Bacaan hari ini, Senin, 21 Oktober 2024 dari Efesus 2:1-10 dan Lukas 12:13-21 merupakan dua bacaan yang mengandung pesan mendalam tentang anugerah Allah dan kesalahan dalam mengukur nilai kehidupan. Kedua perikop ini berhubungan erat, yakni tentang bagaimana manusia menempatkan dirinya di hadapan Allah dan sesama.
Keselamatan Sebagai Anugerah Allah
Dalam Efesus 2:1-10, Paulus menekankan bahwa manusia, yang dahulu mati karena dosa, telah dihidupkan bersama Kristus oleh anugerah Allah. Ayat-ayat ini menyoroti tema utama tentang keselamatan yang tidak bisa diperoleh melalui usaha manusia, melainkan hanya melalui kasih karunia Allah.
Menurut Teolog Karl Barth dalam Church Dogmatics (1936, Vol. IV/1, p. 621), keselamatan yang dimaksud dalam Efesus ini adalah anugerah yang sepenuhnya berasal dari Allah. Barth menekankan bahwa manusia berada dalam keadaan yang sangat memprihatinkan—mati secara rohani—dan hanya oleh belas kasih dan kasih karunia Allah-lah manusia dapat dipulihkan. Dalam pandangan Barth, Efesus 2 menggarisbawahi kedaulatan Allah dalam proses penyelamatan, di mana usaha manusia sama sekali tidak berperan.
Di sisi lain, F.F. Bruce dalam bukunya The Epistle to the Ephesians (1961, p. 44) menjelaskan bahwa kata “mati” di sini merujuk pada ketidakmampuan manusia untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Menurut Bruce, Paulus tidak sekadar berbicara tentang kondisi moral manusia, tetapi juga tentang keterpisahan yang nyata dari Allah. Dengan demikian, penyelamatan oleh Allah adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi kondisi keterpisahan tersebut.
Melalui Efesus 2:1-10, kita diajak untuk menyadari bahwa keselamatan tidak datang melalui amal perbuatan atau pencapaian manusia. Bahkan “perbuatan baik” adalah sesuatu yang telah Allah siapkan sebelumnya agar kita melakukannya (Ef. 2:10). Dengan kata lain, perbuatan baik bukanlah sarana untuk mendapatkan keselamatan, melainkan buah dari keselamatan yang telah diberikan.
Orang Kaya yang Bodoh
Dalam Lukas 12:13-21, Yesus memberikan peringatan terhadap keserakahan melalui perumpamaan tentang seorang kaya yang sibuk menimbun kekayaan untuk dirinya sendiri tanpa memikirkan nilai kekekalan. Orang kaya ini akhirnya disebut “bodoh” karena selama hidupnya dia hanya fokus pada harta duniawi yang fana, sementara ia mengabaikan hal-hal yang berkenan kepada Allah.
N.T. Wright dalam Jesus and the Victory of God (1996, p. 292) menginterpretasikan perumpamaan ini sebagai peringatan serius terhadap materialisme. Wright menyoroti bagaimana Yesus mengundang para pendengarnya untuk mempertimbangkan apa yang benar-benar penting dalam hidup ini—bukan kekayaan materi, melainkan hubungan dengan Allah dan sesama. Menurut Wright, perumpamaan ini berfungsi sebagai kritik terhadap budaya yang mengejar keamanan finansial sebagai hal utama, sementara mengabaikan panggilan untuk hidup dalam kasih dan pengabdian kepada Allah.
William Barclay dalam bukunya The Gospel of Luke (1956, p. 167) memberikan komentar bahwa perumpamaan ini menunjukkan kebodohan seseorang yang mengira bahwa hidup dapat dikendalikan oleh harta benda. Barclay menggarisbawahi bahwa kekayaan dapat menipu manusia dengan memberikan rasa aman yang palsu, yang pada akhirnya tidak akan bertahan saat menghadapi maut. Orang kaya dalam perumpamaan ini gagal untuk memahami bahwa hidup adalah pemberian dari Allah, dan seharusnya digunakan untuk mengabdi kepada-Nya dan sesama, bukan untuk kepuasan pribadi.
Tujuan yang Benar
Kedua bacaan ini membawa pesan bahwa kehidupan manusia harus dipandang sebagai anugerah dari Allah dan tidak boleh dipersempit hanya pada pencapaian materi atau amal perbuatan semata. Efesus 2:1-10 menegaskan bahwa manusia diselamatkan oleh kasih karunia, bukan oleh amal. Dalam Lukas 12:13-21, Yesus menunjukkan betapa sia-sianya menimbun harta tanpa memperhatikan tujuan hidup yang sejati, yakni hubungan dengan Allah.
John Stott dalam The Message of Ephesians (1979, p. 80) dan The Message of Luke (1991, p. 217) berpendapat bahwa anugerah dan kekayaan memiliki relasi teologis yang sangat penting. Anugerah adalah pemberian yang tidak dapat dibeli atau diusahakan, sementara kekayaan seringkali dianggap sebagai hasil usaha manusia. Melalui kedua bacaan ini, kitab suci mengajarkan bahwa hidup yang benar bukanlah tentang mengandalkan kekayaan atau prestasi, melainkan tentang menerima anugerah Allah dengan hati yang bersyukur dan hidup seturut kehendak-Nya.
Jadi, Efesus 2:1-10 dan Lukas 12:13-21 mengajak kita untuk merenungkan kembali prioritas hidup kita. Melalui Efesus, kita diajak untuk menyadari bahwa hidup baru yang kita miliki adalah murni karena anugerah Allah, bukan karena amal kita. Sementara itu, Lukas memperingatkan kita agar tidak terjebak dalam keserakahan dan mengejar keamanan finansial yang fana. Keduanya menegaskan bahwa nilai hidup terletak bukan pada apa yang kita miliki, melainkan pada siapa kita di hadapan Allah dan bagaimana kita hidup menurut kehendak-Nya.