Bacaan hari ini (Selasa, 22 Oktober 2024) diambil dari Efesus 2:12-22 dan Lukas 12:35-38. Pada Efesus 2:12-22, Paulus menulis kepada jemaat di Efesus mengenai perubahan radikal yang terjadi dalam hidup mereka. Sebelum mengenal Kristus, mereka adalah orang-orang yang “terpisah dari Kristus, tidak termasuk warga umat Allah dan tidak mendapat bagian yang dijanjikan” (ayat 12). Mereka “tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dunia.” Namun, dalam Kristus, mereka yang sebelumnya jauh sekarang telah didekatkan oleh darah-Nya (ayat 13). Paulus menggambarkan Kristus sebagai pendamaian yang merobohkan tembok pemisah, yaitu “perseteruan” antara Yahudi dan bukan Yahudi (ayat 14), serta menyatukan kedua kelompok dalam satu tubuh melalui salib (ayat 16).
Beberapa ahli tafsir seperti F.F. Bruce dan John Stott menyebutkan, pesan utama bagian ini adalah rekonsiliasi dan pemulihan hubungan manusia dengan Allah, serta antara sesama manusia. Kristus datang untuk menghapus segala bentuk perpecahan, termasuk perbedaan etnis dan status sosial. Dengan meniadakan hukum Taurat yang bersifat memisahkan, Ia menciptakan umat baru, yaitu Gereja, yang terdiri dari orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain yang bersatu dalam iman kepada Kristus.
Ini adalah wujud dari “perjanjian baru” di mana Kristus menjadi pusat penyatuan semua orang beriman. Karl Barth, menyebutkan bahwa bagian ini menggambarkan keuniversalan karya Kristus yang melampaui batas-batas manusia. Barth menekankan, rekonsiliasi yang terjadi bukan hanya dalam konteks vertikal (antara manusia dan Allah), tetapi juga horizontal (antara sesama manusia), sehingga gereja dipanggil untuk menjadi agen perdamaian dan kesatuan dalam dunia yang terpecah.
Siap dan setia
Dalam Lukas 12:35-38, Yesus memberikan perumpamaan tentang pentingnya berjaga-jaga. Ia mengajar para murid untuk selalu siap, seperti hamba-hamba yang menunggu tuannya pulang dari pesta pernikahan, siap membuka pintu saat ia datang. Perumpamaan ini menekankan kesiapan dan kesetiaan dalam menantikan kedatangan Kristus kembali.
Ahli tafsir seperti William Barclay dan N.T. Wright menekankan bahwa ayat ini berhubungan dengan ajaran Yesus tentang pengharapan eskatologis. Yesus menggambarkan pentingnya sikap waspada dan tidak lengah, karena waktu kedatangan-Nya tidak dapat diprediksi. Dengan berjaga-jaga, orang beriman menunjukkan kesetiaan mereka terhadap Tuhan yang mempercayakan pelayanan dan tugas kepada mereka.
N.T. Wright lebih lanjut menyebutkan, ajaran ini tidak hanya menyangkut kesiapan akan akhir zaman, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana orang percaya hidup setiap hari. Ia menyarankan bahwa hidup orang kristen seharusnya dilandasi ketekunan dalam iman dan kasih, serta semangat melayani. Ada pengharapan bahwa mereka yang setia akan menerima berkat dari Tuhan, seperti yang ditunjukkan dalam ayat 37, di mana Yesus menggambarkan bahwa tuan akan melayani hamba-hamba yang berjaga-jaga.
Kesatuan
Kedua perikop ini memiliki benang merah yang berkaitan dengan konsep kesiapan dan rekonsiliasi. Efesus 2:12-22 menyoroti rekonsiliasi yang telah terjadi dalam Kristus, di mana orang-orang yang dahulu “jauh” sekarang didekatkan, menjadi bagian dari umat Allah yang baru. Rekonsiliasi ini membawa harapan dan memanggil jemaat untuk hidup dalam damai dan kesatuan.
Sementara itu, Lukas 12:35-38 berbicara tentang kesiapan dalam menantikan kedatangan Tuhan. Kesiapan ini mencakup sikap hidup yang setia dan penuh pengharapan. Jika Efesus menekankan apa yang telah dilakukan Kristus untuk mendamaikan umat manusia, Lukas mendorong orang percaya untuk menanggapi tindakan itu dengan hidup yang sesuai, yaitu dengan berjaga-jaga dan setia menjalani panggilan mereka.
Dalam konteks sekarang ini, pesan ini relevan. Di tengah dunia yang seringkali terfragmentasi dan penuh konflik, kita dipanggil untuk menjadi agen rekonsiliasi dan perdamaian, mencerminkan karya Kristus yang menyatukan. Selain itu, kita juga harus selalu siap dan berjaga-jaga, dengan hidup setia dan penuh kasih, sambil menanti penggenapan janji Tuhan.
Teolog Dietrich Bonhoeffer menyebutkan, suasana berjaga-jaga bukanlah situasi yang dipenuhi kecemasan, melainkan hidup secara proaktif sesuai perintah Tuhan. Dalam perspektif ini, Efesus 2:12-22 dan Lukas 12:35-38 dapat dipahami sebagai ajakan untuk hidup dalam ketegangan eskatologis. Di satu sisi, kita rayakan perdamaian dan penyatuan yang telah terjadi dalam Kristus. Di sisi lain, kita juga tetap berjaga-jaga dan setia menanti kedatangan-Nya kembali.
Kedua teks ini mengajak kita untuk terus hidup dalam kesadaran akan anugerah Allah yang menyatukan kita dan kewajiban untuk selalu berjaga dalam kesetiaan dan kasih.