Bayangkan sejenak sebuah doa yang dipanjatkan dengan penuh harapan, sebuah doa yang menginginkan kekuatan tidak untuk dunia luar, tetapi untuk batin terdalam manusia. Itulah doa yang dipanjatkan Paulus dalam Efesus 3:14-21, doa yang mencerminkan kerinduannya agar jemaat di Efesus mengalami kasih Kristus, bukan sebagai konsep semata, tetapi sebagai kekuatan hidup yang nyata.
Paulus, dalam suratnya, mengundang kita untuk merenungkan betapa dalam dan luasnya kasih Kristus ini. John Stott dalam bukunya The Message of Ephesians menyebutkan bahwa kasih Kristus begitu besar, melampaui batas-batas pemahaman manusia, sehingga kita memerlukan kekuatan dari Roh Kudus untuk mampu menghayatinya. Tidak hanya untuk dipahami, tetapi untuk dialami secara mendalam, diresapi dalam setiap aspek kehidupan kita.
Kasih ini bukan hanya tentang spiritualitas yang mengangkat kita ke hadirat Allah, tetapi juga tentang transformasi nyata dalam hidup sehari-hari. Ketika kita diperkuat oleh Roh Kudus, kita bukan hanya berubah dalam diri kita, tetapi juga mulai mencerminkan kepenuhan Allah dalam tindakan kita.
Namun, perjalanan iman ini tidak selalu mudah. Dalam Lukas 12:49-53, Yesus memperingatkan bahwa kedatangan-Nya membawa api—api yang memurnikan, tetapi juga memecah belah. William Barclay, dalam komentarnya tentang Lukas, menyebut bahwa api ini adalah simbol kebenaran yang sering kali mengganggu kenyamanan kita. Kebenaran yang diungkapkan Kristus mungkin memisahkan kita dari mereka yang kita kasihi, bukan karena Dia menginginkan perpecahan, tetapi karena kebenaran sering kali membawa tantangan yang sulit diterima.
Bagi N.T. Wright, api merupakan lambang transformasi dunia. Ketika Yesus membawa pesan-Nya, orang-orang dipaksa untuk memilih: apakah mereka akan mengikuti-Nya dengan segala konsekuensinya, atau tetap tinggal dalam kenyamanan tradisi dan norma-norma lama? Ini adalah momen kritis dalam perjalanan iman, ketika kita harus berhadapan dengan pilihan yang mungkin membawa konflik, bahkan dengan orang terdekat kita.
Kedua bacaan (bacaan pertama dan Injil hari ini) menggambarkan realitas iman yang sering kali diabaikan: kasih Kristus yang begitu besar dan mendalam membawa kita pada kedamaian batin, tetapi juga memerlukan keberanian untuk menghadapi tantangan dunia luar. Seperti yang dikatakan Joel Green, misi Yesus adalah misi yang mengubah dunia, tetapi perubahan ini tidak selalu diterima dengan baik oleh mereka yang tidak siap untuk menghadapi kebenaran yang mengubah hidup.
Paulus, dalam Efesus, mengajak kita untuk mencari kekuatan dari Roh Kudus agar dapat memahami dan menghayati kasih Kristus. Kasih ini, ketika benar-benar dihidupi, akan mengubah kita dari dalam. Namun, Yesus dalam Lukas mengingatkan kita bahwa perjalanan menuju kasih ini bukanlah tanpa hambatan. Iman kita akan diuji, dan kita akan dipaksa untuk memilih jalan yang menantang, meskipun itu berarti menghadapi perpecahan.
Tetapi ada harapan. Yesus tidak meninggalkan kita dalam ketegangan ini tanpa tujuan. Api yang Dia bawa adalah api pemurnian yang pada akhirnya akan memurnikan hati kita, membuat kita semakin menyerupai-Nya. Dalam ketegangan dan konflik yang mungkin muncul, ada kasih Kristus yang menguatkan kita. Kasih ini, seperti yang dijelaskan Paulus merupakan kekuatan yang akan membawa kita pada kepenuhan Allah, membawa damai sejati di tengah badai kehidupan.
Pada akhirnya, perjalanan iman kita adalah perjalanan yang dipenuhi oleh kasih yang mendalam dan pilihan yang menantang. Kita dipanggil untuk menghayati kasih Kristus dalam hidup kita, meski harus menghadapi tantangan di sepanjang jalan. Dan di tengah ketegangan itu, kita menemukan bahwa kasih Kristus, meskipun membawa konflik, juga mengantar kita pada transformasi sejati dan pemulihan abadi.