Senin, 28 Oktober 2024
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari, kita sering kali terjebak dalam rutinitas yang melelahkan, melupakan bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Bacaan dari Efesus 2:19-22 dan Lukas 6:12-19 mengingatkan kita akan identitas kita sebagai umat Allah dan panggilan kita untuk melayani. Mari kita merenungkan makna mendalam dari kedua bacaan ini yang membawa kita lebih dekat kepada esensi kehidupan iman kita.
Bayangkan sebuah komunitas yang terdiri dari berbagai latar belakang, suku, dan budaya. Di tengah perbedaan itu, mereka bersatu dalam satu visi: menjadi rumah bagi kehadiran Allah. Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, mengungkapkan bahwa kita bukan lagi orang asing atau pendatang. Kita adalah bagian dari keluarga Allah, disatukan oleh kasih dan anugerah-Nya. Dalam komunitas ini, setiap individu memiliki peran unik yang berkontribusi pada bangunan yang rapi tersusun, dengan Kristus sebagai batu penjuru.
Kita sering kali terjebak dalam pandangan sempit tentang siapa yang berhak menjadi bagian dari keluarga Allah. Namun, bacaan ini menantang kita untuk melihat lebih jauh. Setiap orang, tidak peduli dari mana asalnya, memiliki tempat dalam rencana Allah. Saat kita membuka hati dan tangan untuk menerima satu sama lain, kita membangun sebuah rumah iman yang kokoh. Bayangkan bagaimana keindahan keragaman ini bisa menjadi kekuatan ketika kita saling melengkapi dan mendukung satu sama lain.
Disatukan oleh Kristus
Karl Barth, dalam bukunya Church Dogmatics (1932), menyatakan bahwa konsep gereja sebagai “Bait Allah” bukan hanya merujuk pada bangunan fisik, tetapi pada persekutuan yang disatukan oleh Kristus. Dia menekankan bahwa setiap anggota gereja harus bersatu dalam Kristus, sehingga mereka benar-benar menjadi bait yang kudus. Sementara Dietrich Bonhoeffer, dalam Life Together (1939), menekankan bahwa komunitas Kristen adalah “persekutuan orang-orang kudus,” di mana setiap anggota memiliki peran sebagai bagian dari tubuh Kristus yang hidup.
Persatuan itu tidak cukup hanya dengan membangun hubungan antarsesama. Dalam Lukas, kita melihat Yesus menghabiskan waktu berdoa sebelum memilih dua belas murid-Nya. Ini adalah pelajaran penting bagi kita. Sebelum kita melangkah ke dalam pelayanan, kita juga perlu meluangkan waktu untuk mendengarkan suara Allah. Yesus menunjukkan kepada kita bahwa doa bukan hanya ritual, tetapi adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan kehendak Bapa.
Bayangkan Yesus, di atas gunung, dalam keheningan malam, mengangkat tangan-Nya dalam doa. Dalam momen-momen seperti ini, Dia memperoleh kekuatan dan arahan untuk melayani orang banyak yang datang kepada-Nya. Begitu juga, ketika menghadapi tantangan dalam pelayanan, saat kita bersandar dalam doa, kita dipenuhi dengan kebijaksanaan dan kekuatan Roh Kudus. Doa adalah landasan yang memberi makna pada setiap tindakan. Tanpa itu, kita hanya beroperasi dengan kekuatan kita sendiri, yang terbatas.
Henri Nouwen, dalam The Way of the Heart (1981), menekankan pentingnya doa sebelum pelayanan. Dia menegaskan bahwa tindakan pelayanan yang efektif hanya dapat dilakukan setelah mengalami keheningan dan keintiman dengan Allah. Sementara Thomas Merton, dalam New Seeds of Contemplation (1961), menunjukkan bahwa doa yang mendalam memungkinkan seseorang untuk lebih memahami kehendak Allah dan bertindak sebagai instrumen kasih-Nya di dunia.
Menjadi Saksi Kasih Allah
Ketika kita menggabungkan persatuan dalam keragaman dan fondasi doa dalam pelayanan, kita dipanggil untuk menjadi saksi kasih Allah di dunia. Dalam tindakan sehari-hari, kita diundang untuk membawa pesan harapan dan kasih kepada mereka yang berada di sekitar kita. Setiap senyuman, tindakan kebaikan, adalah wujud nyata dari kehadiran Allah. Kita adalah bait Allah yang hidup, di mana Roh Kudus berdiam, memampukan kita untuk mencintai seperti yang Dia lakukan.
Bayangkan bagaimana dunia akan berubah jika setiap komunitas iman menjalani panggilan ini dengan sungguh-sungguh. Ketika kita membagikan kasih Allah, menjembatani perpecahan dan menghapus stigma, kita menunjukkan bahwa di dalam Kristus, ada ruang bagi semua orang. Dalam setiap interaksi, kita berpeluang untuk menciptakan dampak positif, tidak hanya bagi diri kita sendiri, tetapi bagi masyarakat yang lebih luas.
David Bosch, dalam Transforming Mission: Paradigm Shifts in Theology of Mission (1991), menjelaskan bahwa panggilan para rasul (dari Kristus) mengindikasikan aspek pemuridan yang tidak terpisahkan dari misi itu sendiri. Setiap rasul dipanggil untuk misi yang khas, yaitu mewartakan Kerajaan Allah melalui tindakan nyata yang menyentuh dan mengubah kehidupan banyak orang.
Kesimpulannya, refleksi ini mengajak kita merenungkan dua hal penting: identitas kita sebagai bagian dari keluarga Allah dan panggilan kita untuk melayani dengan doa sebagai fondasi. Ketika mengakui bahwa kita adalah bagian dari bangunan yang lebih besar, kita akan mengerti bahwa setiap individu di sekitar, tidak peduli dari mana asalnya, memiliki tempat yang berharga dalam rencana Allah.
Mari kita berkomitmen untuk melangkah dalam persatuan, dipenuhi dengan kasih dan doa, menjadi alat di tangan Tuhan yang membawa terang di tengah kegelapan dunia. Kita adalah umat yang hidup, tempat Allah berdiam, dan setiap hari adalah kesempatan untuk mencerminkan kasih-Nya kepada sesama.
Daftar Pustaka
- Barth, Karl. Church Dogmatics. Volume I. Translated by G. W. Bromiley. Edinburgh: T&T Clark, 1932.
- Bonhoeffer, Dietrich. Life Together: The Classic Exploration of Christian Community. New York: Harper & Row, 1954.
- Bosch, David J. Transforming Mission: Paradigm Shifts in Theology of Mission. New York: Orbis Books, 1991.
- Merton, Thomas. New Seeds of Contemplation. New York: New Directions, 1961.
- Nouwen, Henri J. M. The Way of the Heart: The Spirituality of Life in the Modern World. New York: Harper & Row, 1981.
- Paul, Apostle. The Letter to the Ephesians. In The New Testament. Various translators.
- Paul, Apostle. The Gospel According to Luke. In The New Testament. Various translators.